Hujan kembali mengguyur setiap sudut kota malam ini. Padahal, sekarang baru memasuki bulan November. Namun rintik air seolah tak ingin membuang waktu untuk menunggu Desember datang. Ia ingin tetap menjalani apa yang harus dijalani, tanpa ingin berlama-lama menunggu apa yang tidak perlu.
Hujan lagi. Untuk beberapa alasan, Danta mulai membenci hujan. Setidaknya untuk sekarang. Dulu sekali, laki-laki itu sangat menyukai hujan. Ia suka bagaimana ribuan tetes Air yang jatuh dari langit itu menyejukkan kepalanya yang panas, ia suka saat air hujan menyingkirkan udara udara pekat di sekelilingnya, ia suka aroma tanah dan jalanan yang tersapu basah oleh airnya, ia suka suara hujan yang menyamarkan bisingnya suara dari dalam dirinya, dan ia juga suka bagaimana perempuan yang dicintainya mengomel setiap kali ia kembali dalam keadaan basah kuyup.
Namun kini, Danta hampir selalu mengutuk langit setiap kali ia menggelap dan berakhir menjatuhkan ribuan rintik air dari sana. Danta ingin sekali berlari ke tengah hujan seperti dahulu, tapi laki-laki itu terlalu membenci kenyataan bahwa tidak akan ada yang mengomelinya lagi sekarang.
Danta akan selalu ingat bagaimana perempuan itu melangkah dengan terburu-buru, mencari sosoknya ketika hujan mulai turun. Perempuan itu kemudian akan memeluknya dengan erat karena takut dengan suara gemuruh petir. Dan Danta tidak akan pernah lupa bagaimana perempuan itu memukul dadanya dengan mata yang nyalang ketika ia mengatakan bahwa suara hujan adalah penenang yang baik. Anehnya, pemandangan itu justru membuat Danta tergeletak gemas.
Perempuan itu, ia tak suka hujan, ia tak suka suasana di sekitarnya menjadi lembab dan dingin karena hal tersebut dapat membuatnya kesulitan bernapas. Iya, dia mengidap alergi dingin. Perempuan itu juga benci dengan kilat cahaya serta petir. Ia takut dengan suara air hujan yang menghujam permukaan bumi tanpa ampun. Dia benci basah. Dia benci hujan. Dan mungkin sekarang, perempuan itu pun membencinya.
Malam ini, di sebuah pekarangan rumah sakit, Danta termenung menatap setiap tetes air hujan yang jatuh dari atap gazebo yang menaunginya. Sama halnya dengan air hujan tersebut, semangat Danta untuk bertahan setiap harinya mulai jatuh, terjun bebas dari dalam dirinya dan berakhir menjadi debu keputusan yang terbang dan hilang begitu saja terbawa angin.
Laki-laki itu mengusap surainya kasar. Beberapa kali terdengar helaan napas berat keluar dari bibirnya. Ia tak tahu harus berbuat apa dan harus bagaimana setelah beberapa jam yang lalu menemukan tubuh sang ibu terkuai lemas di atas sajadah lengkap dengan menggunakan mukenanya. Wajahnya pucat pasi. Jantung Danta seperti berhenti berdetak sepersekian detik saat memeriksa keadaan sang ibu yang ternyata memang sedang tidak sadarkan diri.
"Mas?" Suara yang sudah sangat akrab di indra pendengaran Danta itu tiba-tiba menyusup masuk kedalam kepalanya dan berhasil mengalihkan seluruh atensinya.
"Kenapa keluar, Nad?" tanya Danta kepada seorang gadis yang kini berdiri tak jauh dari tempatnya berteduh dari hujan malam itu. "Sini! Jangan hujan-hujanan!"
Nadia, gadis cantik yang saat ini berstatus sebagai tunangan Danta itu tersenyum hangat sebelum akhirnya berjalan mendekat kemudian mendudukkan diri di sebelahnya.
"Ngapain sih, disini?" gadis itu merengut saat mendapati Danta yang kembali termenung menatap hujan. Perempuan itu sangat tahu bahwa Danta memikirkan sang ibu, namun ia kurang suka melihat orang sakit. Karena itulah Nadia di sini, menemaninya dan calon ibu mertuanya.
"Ayo masuk, Mas. Dingin tau. Kamu apa gamau lihat ibuk? dari tadi kamu nggak nengok ibu sama sekali lho," ucap Nadia lembut. Danta menoleh, mendapati wajah teduh wanitanya yang tengah tersenyum kepadanya, namun di matanya juga tersirat kekhawatiran dengan jelas.
Ardanta menarik pelan lengan Nadia, membawa tubuh kecil wanita itu kedalam dekapannya. Ia butuh ketenangan. Setidaknya sebuah pelukan kecil itulah yang selama 5 tahun ini menjadi penenangnya. Menggantikan pelukan yang sebelumnya diisi oleh orang lain. Orang lain dengan segala kehangatan dalam dirinya. Bahkan Danta masih sangat ingat bagaimana rasanya pelukan itu. Pelukan yang damai, pelukan yang menghilangkan peliknya, pelukan yang selalu ada di masa-masa indah remajanya.
Mungkin terkesan jahat, apalagi kini Danta sudah memiliki seorang wanita yang tak kalah baik dalam hidupnya. Namun entah mengapa bayangan masa lalu itu masih saja memenuhi rongga kepalanya. Masalalu yang tidak terlalu indah, namun mampu membuat Danta menangis hampir setiap kali ia merindukan sosoknya. Sosok yang baginya tidak akan pernah ada duanya. Sosok yang baginya tidak akan ada gantinya.
Memang benar, kesan pertama adalah hal yang paling sulit untuk dilupakan. Sedangkan Danta dengan hidupnya yang abu-abu mulai berwarna bersama dengan gadis berzodiak libra itu. Satu persatu, Perempuan itu mulai menyisipkan warna dalam dirinya, dalam harinya, dalam hidupnya.
Dia bukan perempuan pertama di hidup Danta, namun banyak hal yang pertama kali Danta lakukan bersama perempuan itu. Dia adalah perempuan yang cantiknya biasa saja, bahkan Danta berani bilang bahwa Nadia lebih cantik darinya. Dia juga bukan perempuan yang selalu berbuat baik dalam hidupnya, namun ia selalu menjadi sosok yang baik dalam hidup orang lain. Dia perempuan yang selalu merasa dirinya kurang, perempuan yang sangat pencemburu, perempuan dengan pemikiran dan hati yang sangat sensitif. Namun anehnya, Danta jatuh sejatuh jatuhnya pada perempuan itu.
November, selalu menjadi bulan yang paling Danta rindukan. Meski begitu, tidak memungkiri bahwa November juga merupakan luka yang menimbulkan lubang besar dalam hatinya yang sampai saat ini masih belum tertutup rapat.
Dan malam ini, dalam dekapan Nadia, Danta berjanji bahwa ia akan menjatuhkan seluruh kenangannya bersamaan dengan air hujan. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menyembuhkan luka di hatinya. Ia ingin memberikan tempat yang layak untuk Nadia di sana. Ia ingin bahagia lagi meski tanpa Gauri Farralingga disisinya. Setidaknya Danta berusaha. Entah pada akhirnya akan berhasil atau tidak, Danta serahkan semuanya pada takdir dan Yang Maha Kuasa.
.
"Kami, dua orang yang saling melengkapi. Dia adalah orang yang payah dalam mengingat, sedangkan aku adalah orang yang payah dalam melupakan." -Ardanta Naratama
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandika | Suara Batin
Romance❝Sampai kapan kamu akan terus bersembunyi dibalik kata "Trauma" atau "Mati Rasa"? Katakan saja bahwa cintamu memang sudah habis di orang yang lama.❞ ©dearlyfiaa 2022 | Senandika