8. Sekelas

40 9 0
                                    

"Sepertinya kita memang ditakdirkan bersama. Buktinya, di mana pun kamu ada, aku akan ada di sana pula."

****

Aku bersorak gembira karena ternyata aku satu kelas dengan Arka. X IPA 1. Dengan begini, aku jadi lebih mudah membuat Arka menyukaiku bukan sekadar seorang teman.

Aku duduk di depan Arka. Menarik dua sudut bibir terlengkung lebar membentuk senyuman sampai membuat mataku yang tinggal segaris.

"Apa? Kenapa?" tanya Arka bingung dengan ekspresiku. Aku mengganti senyumku dengan tawa kecil.

"Gue seneng kita sekelas."

"Ya, terus?"

"Yaaa gue jadi mikir aja. Kayaknya kita ditakdirkan bersama, deh. Buktinya di mana pun lo, gue pasti ada di sana. Jangan jauh-jauh ambil contoh, kayak lo nemuin gue di UKS meski pun pagi itu kita gak ketemu. Kayak sinyal cinta gak sih?" ucapku panjang lebar dengan perasaan yang menggebu-gebu.

Arka menggelengkan kepalanya, lalu melanjutkan kegiatan menulis jadwal pelajaran yang sedari tadi ia tulis dan sempat terjeda karena mendengar ucapanku barusan.

"Lo kebanyakan baca novel, Abii, sampe mikirnya begitu, cuma kebetulan, Bii," pungkas Arka tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas itu. Kebiasaan Arka.

"Ih, bukan karena begitu. Ini memang nyata gue rasain. Yah, mungkin lo belum rasain itu juga, karena mungkin ngerasa ini bukan apa-apa."

"Jadi? Apa yang bakal lo lakuin setelah berpikir kayak begitu?" Arka bertanya. Pulpennya ia lepas dan mengalihkan fokusnya padaku karena telah selesai menulis jadwal.

Mendapat pertanyaan seperti itu dari Arka, kok, malah membuat jantungku jedag-jedug? Pertanyaan Arka ambigu. Aku jadi merasa Arka sedang memancingku. Takutnya, aku malah kegeeran.

"Ya ... gue, emh." Aku menerawang ke segala arah, mencari kalimat yang tepat dengan situasi ini. "Gue bakal jadi istri lo! Lo udah janji pas tiga tahun lalu, lo lupa? Jadi, lo harus siap buat cinta sama gue. Gue gak mau ya pas nikah nanti lo gak ada perasaan sama gue dan malah cari selingkuhan!" Aku jadi ngada-ngada, tapi sedang jujur juga.

"Ahahah, gue bahkan lupa sama janji itu, Bii. Itu janji bocah kecil tiga tahun yang lalu karena dapat desakan dari orang yang minta janji."

"Hah? Jadi, lo mau lupain janji itu? Lo ingkar?!" Bola mataku langsung memancarkan kobaran api di sana. Dadaku naik turun karena kesal dengan ucapan Arka barusan.

"Lah, jadi gue yang salah?"

"Emang lo pikir gue yang salah? Lo berniat ingkar, jablay!"

"Eh, buset, dikatai jablay dong."

"Jangan alihin pembicaraan, Arka!" teriakku sambil menggeprak meja, menciptakan keheningan di kelas dan anak-anak lain memperhatikan kami berdua.

"Gue gak alihin pembicaraan, Abii. Lo kenapa, sih? Lagi PMS ya?"

"Tauk! Gue sebel sama lo. Bhay aja!"

Terlanjur kesal, aku pun memutuskan untuk pergi dengan perasaan berkecamuk. Bisa-bisanya Arka menganggap janji 3 tahun lalu adalah lelucon. Janji ya tetap janji. Meski pun itu desakan, selama kamu mengiyakan, berarti kamu sudah sanggu melakukannya kan? Dasar Arka gak guna!

𝐒𝐢𝐧𝐲𝐚𝐥 𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚 (𝓞𝓷 𝓖𝓸𝓲𝓷𝓰)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang