Bab Enam

5 2 0
                                    

"Ash-shalaatu khairum minan-nauum."

Panggilan subuh menggema. Membangunkan setiap insan bertakwa dari pembaringan untuk memenuhi kewajiban pembuka hari. Meninggalkan nyenyak dan nyamannya belaian alam mimpi yang melenakan.

Rara membuka mata dengan malas, melenguh dan merenggangkan badan, lalu bangkit sambil menguap. Senyumnya mengembang ketika mendengar suara muadzin yang akrab di telinganya. Bukan Faiz si tetangga baru dengan lantunan yang mampu menyentuh hati, melainkan Iqbal, anak laki-laki yang masih terbilang sepupu jauhnya itu, yang sudah dikenal di lingkungan mereka selalu melantunkan azan di waktu subuh.

Tarikan napas dalam mengiringi langkah Rara menuju kamar mandi. Gemericik air wudu terdengar bersamaan dengan kumandang azan. Setelah mengenakan mukena dan merapikan diri, dia berjalan keluar rumah dan terus melangkah menuju masjid. Rara sedikit tergesa dengan ayunan kaki yang rapat. Dia berharap masih ada waktu yang cukup untuk salat qabliyah subuh. Salat sunnah yang ganjarannya lebih besar jika dibandingkan dengan dunia dan seisinya.

Salat berjamaah subuh memang selalu terasa berbeda dari waktu lainnya. Hening dan sunyi yang tercipta mampu menenangkan hati dalam beribadah kepada-Nya. Setelah iqamah dilantunkan, para jamaah mengatur shaf. Hanya ada suara sang imam yang membaca ayat suci dengan indah, membuat jamaah semakin larut dalam suasana teduh dan syahdunya waktu subuh.

Setelah kewajiban ditunaikan, satu per satu jamaah meninggalkan masjid. Tersisa sang imam masjid yang tampak masih khusyuk bersimpuh di tempatnya. Mengikuti arus jamaah yang melangkah pulang, Rara turut berjalan santai sambil menunduk menatap langkah kakinya sendiri. Gerakan Rara terhenti saat sebuah tangan mungil terulur menghalangi pandangannya ke tanah.

"Lama baru ketemu, Kak. Iqbal jadi kangen," ucap si Pemilik Tangan.

Rara mencebik lalu menjabat tangan mungil itu. Senyumnya merekah melihat Iqbal mencium punggung tangannya. "Kamu yang ke mana aja? Sudah jarang main ke rumah Kakak lagi."

Iqbal memamerkan giginya. "Sekarang, kan, Iqbal belajar di pondok tahfidz. Pulang sekolah langsung ke sana."

"Wah ... hebat, ya, Iqbal." Rara menatap kagum. "Sudah sampe mana hafalannya?"

Iqbal menggeleng cepat. Tangan kanannya terangkat menarik garis di depan mulutnya yang terkatup, seolah ada resleting yang menutup di sana.

Rara terkekeh. "Ya, sudah kalo nggak mau bilang," ucap Rara dengan ekspresi sedih yang berlebihan. "Salam sama Ummi, ya," lanjutnya sebelum mereka berpisah di persimpangan lorong.

"Siap," ucap Iqbal dengan gestur memberi hormat yang membuat Rara terkekeh dan mengelus gemas puncak kepalanya.

***

Bel istirahat sudah berbunyi sekitar lima menit sebelumnya. Namun, Rara masih betah duduk di kursinya dengan tatapan lurus ke arah layar laptop di depannya. Jari telunjuknnya mengetuk meja dengan irama beraturan. Dia masih terus berusaha untuk menemukan jurusan yang cocok dengan minat dan bakatnya.

"Lagi cari apa?"

Rara mengangkat wajah, mengulas senyum pada Salsya yang mengambil tempat di sampingnya dan meletakkan minuman dingin untuk Rara di atas meja. "Masih tentang jurusan nanti" jawab Rara.

"Oh ...." Salsya mengangguk lalu menyeruput minumannya sendiri. "Eh, tadi di kantin saya ketemu Mariyam, katanya kepanitiaan kegiatan mendatang sudah disusun. Nanti juga bakal dia kasih laporan langsung digrup kalau sudah dikukuhkan."

Rara mengangguk lalu mengacungkan jempolnya. Matanya tetap fokus membaca artikel yang ditampilkan layar laptopnya.

"Memangnya kegiatan apa, Ra?"

Rara menggeser duduknya, senyumnya merekah sesaat ketika ingatan tentang pertemuan yang tidak terduga dengan Faiz kembali terulang. Dengan semangat dia menceritakan rencana dan pola kegiatan yang sudah dibahas sebelumnya.

Salsya menyimak penuh perhatian. Bukan hanya tentang penjelasan yang diberikan sahabat baiknya, tapi juga pada cara Rara bercerita yang penuh semangat.

"... menarik, kan, Sya?" tanya Rara mengakhiri penjelasannya.

"Tapi, kayanya ada yang lebih menarik dari diskusi kegiatan yang penuh manfaat itu," tebak Salsya dengan tatapan menyelidik.

Tawa Rara pecah. "You know me so well, Sya," akunya, "Kemarin ada Faiz juga yang jadi perwakilan sekolahnya."

Helaan napas Salsya terdengar. Gadis itu mencebik sambil menggeleng. "Kamu ini, kalau sudah tertarik sama seseorang, tanah yang pernah dipijak sama orang itu juga bakal jadi amat sangat menarik buat kamu."

Rara hanya bisa mengulum senyum dan memamerkan ekspresi salah tingkahnya. "Apa, sih, yang bisa kusembunyikan dari kamu, Sya? Kayaknya semua hal tentangku sudah kamu khatamkan deh."

Salsya hanya bisa terkekeh mendengar celotehan sahabatnya. "Kita ini sudah seperti dua manusia yang berbagi satu otak. Nggak ada lagi rahasia antara kita berdua."

Rara mencebik lalu mengambil minumannya. "Nggak, Sya," ucapnya setelah meneguk hampir setengah gelas vanilla latte miliknya. "Kamu itu belum pernah tegas bilang ya atau tidak perkara rasa sukamu sama Kak Hafiz."

Helaan napas Salsya terdengar. Dia merapatkan punggungnya pada sandaran kursi. "Itu nggak penting, Ra. Mengakui atau menyangkal perasaan itu bukan perkara yang mendesak. Kamu tahu, kan, kalau saya nggak tertarik buat bahas perkara semacam ini."

Mengatupkan bibir, Rara hanya bisa melemparkan tatapan bersalah. "Maaf, Sya," lirihnya.

Salsa hanya mengulum senyum. "Nggak apa-apa kok," ucapnya, "betewe nanti kita nggak bisa pulang bareng, ya. Saya dijemput ummi mau ke rumah kerabat."

"Sip, lah," ucap Rara dengan ibu jari yang diacungkan.

***

Untuk kesekian kalinya setelah momen pertemuan dengan Faiz, langit-langit kamar berwarna putih miliknya kini layaknya layar bioskop yang mengulang segala peristiwa terkait dengan tetangga baru itu. Rara hanya bisa menghela napas saat menyadari diri terus saja memikirkan hal terkait Faiz.

Nada notifikasi dari ponsel membuyarkan lamunan Rara. Dia bergerak meraih gawainya dan otomatis tersenyum melihat pesan yang masuk. Sejujurnya, dia sudah menunggu sejak tadi ruang obrolan tersebut aktif.

"Assalamualaikum ... sedikit update untuk kakak2 sekalian. Alhamdulillah kepanitiaan acara bersama nanti sudah terbentuk dan dikukuhkan langsung oleh Pak Camat. Mohon doa dan dukungannya agar kegiatan nanti berlangsung dengan baik sesuai rencana."

"Waalaikumsalam. Alhamdulillah. Sukses terus ya adek2 sekalian. Semoga berkah kegiatannya."

"Aamiin."

"Aamiin. Semangat kalian."

"Oh, ya, tadi Pak Camat sempat nyariin Kak Faiz loh. Katanya Kreator acara ini setidaknya harus memberi sambutan. Hihihi."

Rara hanya menatap ruang obrolan dengan senyum terkulum. Dia merasa bingung untuk menambahkan komentar seperti apa. Terlebih setelah nama Faiz disebut.

Faiz : Sedikit klarifikasi, kegiatan itu bukan cuma inisiatif saya seorang. Ada pembina dan panitia lain yang juga berhak untuk mendapat sorotan. Hehehe.

"Kak Faiz merendah nih."

Faiz : Memang begitu, kok. J

"Btw Rara, kok, nggak ada komentar, ya? Padahal dari tadi juga udah online"

Rara meringis pelan. Menyesalkan pilihannya untuk memantau obrolan yang terjadi. Kecanggihan pengaturan aplikasi nyatanya membuat anggota grup mampu mengetahui kehadirannya meski hanya sekadar membaca setiap pesan yang masuk.

Rara : Yang mau saya ucapkan sudah diwakilkan sama yang lain. hehehe ...

Satu pesan lain masuk sesaat setelah Rara mengirim pesan itu. Gerakannya yang hendak meletakkan ponsel pada nakas terhenti. Jantungnya tiba-tiba berpacu membaca nama pengirim pesan. Rara menelan ludah demi membaca kembali nama yang tampil pada gawai miliknya. Faizan Musyaffa.

***

Jejak Suara AzanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang