Chapter 1

1.1K 102 248
                                    

Note : Not BL story and 'remember' its just fanfic.

.

.

.

"Today's moments are tomorrow's memories." -Unknown

.

.

.

"Uh...!" Rintihan piluh sesaat ia menahan sakit lututnya yang tergores keras aspal mulai menarik perhatian orang di dekatnya. Kernyitan dahi menjadi pengiring lelaki bersurai marun itu membantu temannya bangkit dari jatuh. "Jangan tumbang disini, Riku. Kau akan melewati waktu berharga." Ujar Touma, berusaha tegar, namun tubuhnya bereaksi lain. Tangannya dingin dan keringat terus mengalir tanpa henti. Bahkan lelaki yang kini dipapahnya masuk ke dalam gedung dapat merasakan kaku sentuhannya.

"M-Maaf... T-Touma-san." Riku menyeret setiap langkah yang diambilnya. Fokus mata mulai hilang ketika debaran jantungnya berpacu dengan ritme tidak normal. Nafas terengah, dan sesenggukan tersemat disetiap tarikannya.

Bulir air telah lama bertengger diujung matanya. Bersedia untuk meluncur turun membasahi kedua pipi jika Riku berkedip. Lutut yang terbalut kain celana itu berdenyut nyeri. Ia hanya dapat meringis sembari terus melangkah.

Setiap detiknya merupakan ajang kompetisi dengan maut.

Riku memukul dadanya sendiri untuk menghilangkan sesak yang mulai mencekat lehernya.

Ia tidak akan menyerah dengan penyakitnya saat ini.

Tidak ketika orang yang menjadi bagian hidupnya baru saja masuk ke dalam ruang operasi.

Ini mungkin kesempatan terakhir bagi mereka bertemu.

Touma merangkul pundak Riku sesaat ia melihat kumpulan orang yang sangat dikenalnya.

Sebagian dari mereka meringkuk dan menangis histeris, saling memeluk satu sama lain. Kalimat menguatkan diri bersahut tak henti. Menggelengkan kepala untuk menepis kenyataan pahit yang menerpa orang terdekat mereka.

Kejam.

Dunia,

Takdir,

Waktu,

...hembusan nafas dan detak jantung.

...adalah hal yang paling membuat Riku takut.

Manik Riku bergetar. Tangannya mencengkram kuat ujung baju Touma. Bibir membiru sesaat dirinya menolak untuk memasukan oksigen lebih ke dalam paru-paru.

Otaknya berteriak. Meminta tolong, memohon agar ia segera menghirup udara sekitar. Namun Riku masih enggan melakukannya. Mengganti ritme tarikan nafas bersamaan dengan sesenggukannya, yang hanya membuat dada lelaki bersurai merah itu semakin sakit.

Tidak.

Riku tidak ingin menghirup aroma di dalam gedung itu.

Bukan karena aroma obat yang biasa dikonsumsinya setiap saat sejak kecil.

Tetapi...

...aroma darah segar yang masih menguar di sekitar.

Menempel pekat, seperti sengaja dibalurkan ke dinding gedung.

Tentu saja.

Tubuh dua orang penuh 'sobekan' daging baru saja melewati lorong yang kini menjadi posisinya.

Choice ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang