“Pada dasarnya aku hanyalah seorang bocah yang kesulitan mengatur emosiku sendiri.”
—Sean&Ega—
...
Ega berjalan dengan pelan menuju lapangan parkir sambil membopong Sean yang berjalan tertatih. Emosinya yang masih berada di puncak membuatnya tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Namun sebisa mungkin dirinya mengatur napas agar segera tenang demi membuat Sean tidak merasa tertekan dan menangis hebat.
Telinganya mendengar adanya suara derap langkah kaki yang terburu-buru. Perasaannya mengatakan bahwa dirinya sedang dikejar untuk kembali atau setidaknya menghadap pelatih Dan yang tadi sempat memanggilnya beberapa kali. Namun karena dia sudah malas, jadilah ia tidak peduli dan hanya ingin cepat pulang saja.
"Ega, tunggu! Pelatih Dan memintamu untuk menghadapnya sekarang!"
Batin Ega seketika menyahut, "Apa kataku." Lalu bibirnya terbuka untuk mengeluarkan suara. "Aku tidak peduli. Tidak sekarang."
Ega tetap pada niatnya, tetap melangkah sambil membopong Sean yang celingkungan. Sean yang merasa tidak enak membuat pergerakan yang terasa oleh Ega.
Orang yang mengejar adalah Brian. Dia tetap berteriak meski jalannya tidak secepat sebelumnya karena jarak yang semakin dekat, "Ga, Kak Avis akan marah besar kalau kamu pergi sekarang juga!"
Ega tetap mengabaikan dan membuat langkahnya semakin kuat untuk pergi menyebabkan Brian mau tak mau mendumel dan menarik bahu Ega sehingga berhadapan, "Ga, jangan keras kepala. Kamu tau akibatnya kalau pergi seperti ini."
Emosi Ega yang belum sepenuhnya reda kini kembali naik secara perlahan. Padahal saat ini dia dengan keras sedang mengatur napasnya agar tidak meledak. Dia tidak bisa melakukannya ketika dirinya berada tepat di samping kakaknya. Namun tetap saja, wajahnya tak bisa rileks sama sekali dan suaranya jadi berat dengan dipenuhi emosi yang ditahan.
"Sialan," geram Ega diakhiri dengan decihan yang memuakkan.
Tubuh Sean yang menempel pada bagian tubuh Ega jadi bisa merasakan emosi yang tertekan dengan kuat melalui napas dan geramannya yang tidak terdengar enak. Itu membuatnya was-was dan khawatir. Tanpa bisa ditahan tangannya menempel pada dada Ega dan maju untuk menghentikan perdebatan yang terasa akan berujung kematian ini.
"Itu ... Brian, Eganya terluka. Dia mungkin tidak bisa—"
Brian berdecak tanpa disengaja karena ucapan Sean yang terasa menyebalkan. Dia paling tidak suka jika sedang memiliki urusan dengan seseorang lalu orang lain ikut campur dan berusaha menghentikannya.
Napas Brian jadi berat, dadanya terasa panas namun sebisa mungkin untuk tidak mengucapkan kata-kata yang bisa memancing temannya menghajar wajah tampannya.
Sean yang dengan jelas mendengar decakan sebal Brian jadi terdiam. Dia dengan tidak sadar mengepalkan tangannya dan lalu balik badan dan menatap Ega dengan perasaan tersinggungnya.
"Dek, kamu balik lagi aja ke sana. Kakak akan pulang sendirian."
Sean berkata dengan wajahnya yang tidak senang. Dia memaksakan diri pergi dengan salah satu kakinya yang terasa sakit. Tidak peduli dengan jawaban Ega ataupun respon dari Brian yang tidak menyukainya. Dia juga tidak suka balik.
Ega melihat punggung Sean menjauh dan pupilnya ia alihkan dengan tajam kepada Brian. Dia tidak bergerak sedikit pun namun tubuhnya dengan jelas menolak lewat mimik wajah dan suaranya yang marah. “Persetan dengan konsekuensi. Aku balik dan sampaikan maafku kepada semua.”
Brian menggeram dan mengacak rambutnya dengan frustasi. “Aaahh terserahmu lah. Pulang sana pulang."
Bukannya Ega yang meninggalkan Brian, melainkan Brian yang meninggalkan Ega dengan emosi. Ega hanya melihat kepergian Brian selama beberapa detik dan dia mengejar Sean yang sudah tak terlihat oleh pandangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY DISLEKSIA BROTHER | Brothersip Project✓
Teen FictionWelcome to my universe 🔰 "It looks simple, but it is more deep and complicated inside." -Alzena Ainsley, the author of wonderful story. °°° Ega Asherxen itu laki-laki yang cukup baik. Baik dalam ketampanan dan dalam kepintaran. Tapi kurang baiknya...