Prolog

2 1 0
                                    

☘️
☘️
☘️


"Kamu kuat, karena kamu anak mamah, jangan biarin pendapat orang lain mempengaruhi mimpi kamu ya Mer, kamu pasti bisa lanjutin itu semua sama nenek". Nasehat kecil dengan suara lirih yang menggenggam tangan anak gadisnya itu.

Anak gadis itu menghantarkan ibunya ke tempat peristirahatan yang kekal di dalam tanah itu. Karena sejatinya seluruh manusia akan kembali ke tanah dan menemui penciptanya. Dengan penuh air mata ia memandangi nisan ibunya dan mencoba berdamai dengan perasaanya.
"Mah, Merta merasa kehilangan dunia Merta mah, sekejap mata hilang, berhenti, dan hitam-putih, Merta gak tau apa yang harus Merta lakuin tanpa mamah sama papah". Suara hati kecil remaja berusia 14 tahun.

Amerta Samudera, tinggal dengan neneknya yang sudah tua dan rapuh, Merta merasa bahwa neneknya lah yang bisa menjaganya kini, dan ia juga yang bisa menjaga neneknya untuk saar ini.

5 Tahun Kemudian

Amerta sudah memasuki masa kuliah, semester 3 sudah menunggu kehadirannya. Di mana masa-masa penuh dengan perjuangan, kurasan keringat dan air mata yang ditumpahkan di semester ini. segala bentuk daya dan upaya untuk mempertahankan IP, hanya bullshit semata. Sebenarnya mereka tidak mendapatkan apa-apa tapi hanya formalitas agar di cap sebagai mahasiswa bertalenta.

Amerta merasa dirinya kurang tepat berada di jurusan ini, semua harus dikerjakan dengan melihat keadaan, di tuangi dengan rasa kasih sayang dan cinta, agar semua yang memandang dapat merasakan apa yang kita ciptakan. Tak kala pekerjaan yang nantinya didapatkan dari jurusan ini mengandung unsur perbudakan dan pengalihan nama pencipta, "halah" desah batin Amerta yang sedari tadi berbicara dengan dirinya.

Lagi-lagi ia memandangi langit yang tak akan pernah bisa berbicara dengannya,

Lagi-lagi ia memandangi langit yang tak akan pernah bisa berbicara dengannya,

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Amerta kau ini bodoh sekali, benar-benar bodohh... mah, pah kalian gak marah kan Amerta ngeluh terus? Bener kali ini Amerta merasa salah jalan". Resahnya yang tak kunjung selesai, dengan menatap langit yang kejam. Matanya mulai merasa panas dan tetesan air mata yang terdeteksi olehnya, dihapusnya segera oleh Merta, dan ia berdiri dari tempatnya itu.

Esoknya, ia pergi mengunjungi makam. Bukan makam orang tuanya, tetapi kekasih hatinya, teman seperjalanan dan tempat bersandarnya.

"Nek, Amer kangen banget sama nenek. Maaf Amer baru ngunjungin nenek, eheheheh habis Amer lagi dikerjain nek, sama tugas kuliah, Amer harap nenek bisa ngerti dan terima kasih sudah menahan rindu Amer sama nenek"

"Lain waktu Amer pasti dateng lagi kok nek". Amer mencium nisan neneknya dan pergi dengan mata yang murung.

Saat menuju keluar pemakaman ponsel Amer berbunyi, dari seorang cenayang, tulisnya di kontak ponselnya.

"Duh kenapa nih telepon, tumben amat"

"Mer, gawat-gawat lo mending cepet ke kampus, sumpah gawat bangettt aselii gak boong, demi inimahh, udah gua tunggu di kampus". Cenayang itu berbicara terburu-buru, dan segera mematikan teleponnya.

"Awas aja kalo gak jelas, duh kenapa hidup gua di tambah beban si, ya Allah beri aku keringanan untuk menghadapinya, Aamiin," seraya berdoa seperti anak kecil yang meminta pertolongan.

Sesampainnya di kampus Amer bertemu dengan sahabat cenayangnya itu, ditunjukannya seseorang yang membuatnya ingin lari dan terus pergi untuk menghindar, ia tak ingin masa suramnya itu menghampirinya, cukup. Amer tak ingin melihatnya.

"Kenapa lo manggil gue kalo gak jelas kayak gini, lo tau selama ini penderitaan gue Nggi, kenapa lo masih terus ungkit itu, dan sekarang apa?! Lo bawa gua ke masa sulit itu lagi!" amarahnya yang sudah tak bisa ia tahan kepada sahabatnya itu.

"Mer, gue gak maksud gitu, lo dengerin dulu penjelasan gue Mer, iya okee, gue salah, gue minta maaf, tapi please dengan sangat, gue mohon sama lo, jangan lari Mer, mau sampe kapan lo ngumpet kayak pembunuh berantai hah?! Emang lo yang bunuh? Atau lo kaki tangannya? Semua perasaan yang jatuh dan hancur berkeping-keping itu bukan lo penyebabnya, tapi dia Mer, diaa!" dengan menghadap ke Amer dan menunjuk lelaki yang sedang berdiri jauh di belakngnya.

Merasa ada tapi mati. Merasa hidup namun sulit untuk bernapas. Merasa kuat tapi lemah untuk bertahan. Merasa kokoh tapi tak sanggup untuk menopang. Semua itu perjalanan dengan banyak belokan yang dilalui Amer, ia seperti rumah yang tak memiliki tiang dan cat dinding yang tak berwarna. Hidupnya dipenuhi hitam-putih dan terjebak dalam kesepian. Ia terjatuh dan menangis sejadi-jadinya, saat melihat laki-laki itu rasanya ia ingin lari dan menghilang, bahkan menampar pipi lelaki itu. Anggi yang melihatnya langsung berlari dan memeluknya.

"Lo gak salah Mer, gua di sini, gua selalu di samping lo, kita lalui bareng-bareng". Tak terasa Anggia pun ikut menangis, ia tak tega melihat temannya itu mengeluarkan air matanya lagi. Anggi memeluknya erat dan mengelus punggung temannya itu.

Petemuan yang ditentukan Sang Kuasa terkadang bukan jawaban yang pasti, jawaban yang kita dapatkan bukanlah sepenuhnya, sehingga mencari maksud dari pertemuan itu menjadi tugas dasar untuk Amer.

Kisah ini dimulai dari seorang gadis kecil, Amerta Samudera, seperti kapal yang meraungi lautan tanpa nakhoda dan terdampar di pulau tak bernyawa.

Lanjut? next part yashh, aku harap kalian memberikan dukungan pada ku ini 😉🤗, menantikan komen, vote dan views dari kalian, selamat berkelana 🤸

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 14, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Amerta SamuderaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang