"Num, Hanum. Apa kamu yakin dengan keputusanmu ini?" tanya Mbk Nasti, Kakakku satu-satunya.
"Yakin Mbak, kalau Mbak yang kerja. Lantas siapa yang mengurus Harfan dan Hasnah juga Bapak? Biar Hanum saja yang kerja, aku janji akan kirim setiap bulan untuk kebutuhan kalian semua." Jawabku sembari menata beberapa baju kedalam tas ransel karena esok akan aku akan berangkat ke Jakarta untuk mengadu nasib disana.
Keesokan harinya sebuah tervel telah terparkir di depan rumah, menungguku yang masih sibuk berpamitan kepada keluarga kecilku. Bulir bening tak henti-hentinya membasahi raut wajah senja Bapak, karena inilah pertama kalinya aku akan pergi jauh darinya.
"Jaga diri baik-baik ya, Nduk, jangan lupakan salat dan ngaji." ucap Bapak, tangannya mengusap pucuk kepalaku.
"Iya, Pak. Doa'kan Hanum ya, Pak," kucium tangannya yang telah dibasahi air mata. Ah seberat inikah rasanya akan jauh meninggalkan keluarga? aku tidak boleh mengeluh, ini sudah menjadi jalan yang kupilih.
Kulangkahkan kaki ini memasuki travel yang akan segera berangkat, netraku terasa panas sekali. Menahan sesuatu yang terasa akan meledak disertai rasa ngilu yang menghujam di dalam hati.
Mobil besar ini perlahan bergerak meninggalkan pekarangan rumahku, tatapanku masih lurus menatap kearah Bapak yang duduk didepan pintu ditemani Mbak Nasti dan kedua anaknya. 'Hanum janji, akan bekerja keras untuk kebahagiaan kalian' monologku dalam hati.
........
Setelah melewati sepanjang malam di dalam travel, akhirnya pukul 04:30 aku tiba di alamat rumah yang diberikan Pak De Sigit orang yang memberikan info tentang sebuah keluarga yang membutuhkan Asisten rumah tangga.
Suasana masih nampak sepi, benar saja ini baru memasuki waktu subuh. Pasti penghuni rumah ini masihlah terlelap dalam mimpinya.
Aku celingukan mencari bel, karena selain gerbang ini terlalu besar dan tebal. Ukuran tubuhku yang kecil ini juga semakin mempersulit untuk meraih bel yang ternyata letaknya cukup tinggi dan sulit untuk digapai.
Tiba-tiba saja aku merasakan sebuah tangan menyentuh bahuku membuat jantung ini terasa akan terlepas dari tempatnya.
"Mbak," suara seseorang menyapa, saat aku menoleh telihat seorang pria bertubuh tinggi tegap tengah berdiri di belakangku. Wajahnya pucat pasi dihiasi pandangan netranya yang begitu tajam terlihat jelas tersorot oleh lampu penerangan jalan komplek. membuat bulu kudukku sedikit meremang saat memandangnya.
"Eh, I-iya Mas, maaf saya kaget. Tadi gak liat pas Mas e dateng,"jawabku berbata-bata.
"Mau pecet bel, ya?" tanyanya dengan nada datar.
"Iya, tapi gak sampai,"jawabku.
Tangan kekarnya bergerak memencet bel sebanyak dua kali dan beberapa saat kemudian ada seorang satpam yang membuka pintu kecil yang terletak tepat di sudut samping gerbang.
"Ma ---" ucapaku yang hendak mengucapkan terima kasih terpotong, lantaran sosok pria yang tadi berdiri di belakangku kini telah hilang dari pandangan, pergi kemana dia? kenapa aku tak mendengar langkahnya?
"Mbak cari siapa?" tanya satpam yang berjaga, membuyarkan lamunanku.
"Saya Hanum, Pak, saya yang akan bekerja disini." Jawabku seraya memperkenalkan diri.
"Oh, asistennya barunya Bu Risa, ya. Silahkan masuk Mbak," ucapnya sembari memberiku jalan untuk memasuki gerbang besar itu.
Ternyata rumah ini tak hanya memiliki satu gerbang, melainkan tiga gerbang dan hanya berjarak oleh taman-taman dan kolam yang dihiasi bunga di sekitarnya. Satu gerbang paling belakang yang menjadi gerbang terakhir terbuat dari pintu kayu dan di apit oleh dua pohon beringin berukuran sedang di bagian kanan dan kirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumbal Perawan
HorrorTentang Hanum, seorang gadis desa yang mencoba mengadu nasib demi perekonomian keluarganya dengan cara bekerja di Ibu Kota. Sebuah cerita merubah jalan hidupnya, saat ia tahu bahwa ia telah dijual sebagai tumbal kepada majikannya. Mampukah Hanum se...