Tumbal Pertama

1K 81 0
                                    

(Beberapa puluh tahun yang lalu)

"Mirah .. di rumah gak?" suara seorang anak memanggilku dari depan rumah ,

"Iya Gas, kenapa?" Jawabku.

Itu Bagas satu-satunya teman seumuranku di kampung ini , Beberapa tahun setelah belanda meninggalkan kampung ini , banyak warga yang memilih untuk meninggalkan kampung, dan mencari kesejahteraan dari sebuah negara yang telah merdeka ini.

"Ke kebun karet yuk.. !" ajak Bagas.

"Ayuk-ayuk! " Jawabku dengan semangat.

"Buk , Aku main ke kebun karet dulu ya!" Pamitku pada ibu.

Tanpa menunggu balasan dari ibu , aku berlari menghampiri Bagas dan segera berlari menuju kebun karet.

Ini memang keseharianku , bermain di kebun karet dan kadang membantu ibu merawat kebun.

Sekolah? Haha... itu Cuma untuk anak-anak juragan yang punya uang, dan itu saja sangat jauh dari kampungku ini.

Untuk mencapai kebun karet , kami harus keluar perkampungan dan melewati hutan jati, barulah setelah itu kita mencapai perkebunan karet milik Pak Gumelar , seorang pengusaha asal kampung kami juga.

Rumput yang pendek dan sekumpulan pohon karet yang tersusun rapi selalu bisa memukauku , selain aku bisa berlari-lari sepuasnya , kadang aku juga memainkan getah karet hasil sadapankun sendiri.

"Bagas , Mirah... hati-hati jangan sampai jatuh " ucap seorang pria mengingatkan kami.

Itu adalah Kang Wira , salah satu pekerja kebun ini.

"Iya Kang!" jawabku sambil meneruskan permainan.

..

..

"Aduh..!" suara Bagas memecah konsentrasiku.

"Mirah.. tolong!"

Aku berlari menghampiri Bagas dan mendapatkan dia terperosok di jurang kecil di pinggir perkebunan.

Segera aku mencari galah untuk membantu Bagas keluar dari jurang itu .Memang sedikit lama, tapi akhirnya Bagas bisa naik dengan selamat.

Tapi tanpa terasa langit mulai memerah menandakan sedikit lagi akan semakin gelap , Kamipun bersiap untuk pulang.

"Kamu sih gas, pake jatuh segala.... Kemaleman kan" Keluhku.

"Maaf Mirah , gak sengaja kok itu... tenang aja aku tetap hafal jalan kok walau gelap" Jawabnya.

Untuk pulang ke rumah , kami harus melewati hutan jati sejauh beberapa kilometer. Ini juga jalur yang digunakan oleh pekerja saat akan kembali ke kampung. Di tengah hutan itu juga telah disediakan rumah singgah untuk para pekerja, untuk sekedar istirahat atau menginap.

Hari semakin gelap, suasana tidak lagi menyenangkan seperti tadi siang.Suara hewan-hewan malam mulai terdengar dan membuatku ketakutan.

"Ggas , tungguin.. serem nih" Teriaku kepada Bagas.

"Tenang, habis dari sini ada pohon jati besar .. ga jauh dari situ nanti ada rumah singgah, disana pasti ramai" Cerita Bagas.

Aku menurut saja , semoga benar apa kata Bagas.

Kami semakin masuk ke tengah hutan , semak-semak tinggi mulai mengganggu jalan kami.

Namun perkataan Bagas benar , ada sebuah rumah disana.

1. Imah Leuweung - Rumah HutanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang