BERKHIANAT PARALEL

29 10 16
                                    

Sembari memeluk sebuah foto, Kian berjalan menuju beranda kamar. Ia memilih duduk di dekat kaca pembatas usai mengitari meja.

Tatapannya kosong, rindu merundungnya tatkala wajah sang ayah kembali terbayang. Tetes demi tetes air mata mulai membasahi pipinya.

Untuk yang kedua kalinya ia merasakan kehilangan setelah kepergian ibunya.

Tangisnya buyar ketika sebuah suara menyapanya dari bawah. Karena penasaran, ia akhirnya bangkit, berdiri di tepi pembatas sambil menengok ke bawah.

(ㆁωㆁ)

"Lo ke mana aja, sih?" gerutu Kian, membuka pintu untuk Sena yang baru saja tiba.

"Berkhianat!" sahut Sena secara asal. Kakinya melangkah gontai melewati Kian.

"Gue serius, Sena." Kian mengekori sahabatnya menuju ruang tengah.

"Rumah lo keliatan sepi, ya," ucap Sena seraya mengamati sekelilingnya.

Di belakangnya, Kian menghela napas gusar. "Ya, beginilah keadaannya sejak bokap gue meninggal."

Sena menghempaskan tubuhnya ke sofa. "Kayak ada yang janggal sama kematian bokap lo. Lo nggak curiga?" Sebelah alisnya menukik, ia melirik Kian yang masih berdiri.

"Sen, lo ngomong apa, sih? Gue nggak paham." Kian memilih abai, lalu melenggang ke arah dapur.

Selang beberapa saat, ia kembali dengan nampan berisi camilan serta minuman.

"Nggak usah repot-repot, gue nggak lama, kok." Tak ayal, Sena tetap menikmati hidangan di depannya.

Kian menggeleng berulang melihat tingkah sahabatnya. "Akhir-akhir ini lo keliatan sibuk banget, ya. Ngapain aja, sih?" tanyanya, mengambil posisi duduk di samping Sena.

"Em, menyingkap sesuatu."

"Udah, deh. Jangan bikin gue bingung." Kian memutar mata jengah.  "Berkhianat, menyingkap. Maksudnya apa coba?"

"Hah." Sena mendesah sesudah meneguk minumannya hingga tandas.

"Udah waktunya," kata Sena, mengamati jam yang melingkari pergelangan tangannya.

"Udah waktunya apa?"

"Satu jam dari sekarang, lo harus ke cafe tempat kita biasa hangout."

"Buat?"

"Kian, nanti kalau lo liat gue berkhianat, itu artinya gue setia," ucap Sena, mengusap sekilas surai sahabatnya sebelum berlalu.

"Sena, Sena. Lo mau ke mana?" teriak Kian tanpa beranjak dari duduknya.

Tak mendapat sahutan apa pun, Kian memutuskan bangkit dan membawa nampan yang isinya sudah habis dilahap Sena.

Sekembalinya Kian dari dapur, sorotnya mengamati sekitar. Ia bergidik, seolah ada atmosfer mencekam yang melingkupinya. Berpaling ke arah lain, netranya menangkap pintu ruang kerja sang ayah yang tak dihuni seperti biasanya.

Seketika wajahnya berubah muram. Mengingat, di tempat itulah Kian terakhir kali melihat ayahnya yang terkulai mengenaskan. Diduga, lelaki baya itu meninggal karena bunuh diri.

Tak ingin tenggelam dalam ketakutan, Kian lekas memasuki kamarnya.

(≧▽≦)

Sesuai perintah Sena, Kian datang ke cafe tempat keduanya biasa menghabiskan waktu bersama.

Setelah menempati bangku di pojokan, ia memainkan ponsel sambil menunggu pesanannya tiba.

Sepuluh menit berlalu, Kian masih saja fokus pada ponselnya dan mengindahkan minuman yang sudah tersaji.

Puas dengan kesibukannya di dunia maya, Kian akhirnya mendonggak. Pandangannya menyapu sekitar dan terhenti pada satu titik. Ia mengernyit bingung melihat interaksi dua sejoli yang amat dikenalnya.

Dari kejauhan, Kian melihat Sena dan Alvi yang sedang menikmati sepiring kue. Bahkan sesekali keduanya saling melempar senyum.

Kian menunduk, terkekeh sumbang meratapi kemalangannya. Alvi, pacarnya yang amat ia percaya ternyata berselingkuh dengan Sena, sahabatnya.

'Terkadang, kematian disebabkan oleh orang terdekat kita.'

Kian tertegun setelah membaca pesan yang datang dari Sena. Sekelebat, air matanya mengucur. Ia tertawa dan menangis secara bersamaan.

"Papa ...," lirihnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 25, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PENGKHIANAT SESUNGGUHNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang