Prolog

464 123 106
                                    

Happy Reading

***

Hujan deras menimpa tubuh gadis malang itu. Baginya, dingin yang merasuk hingga tulangnya tidak lebih menyakitkan daripada luka dihatinya. Biarlah air hujan yang menutup semua tangisnya.

Jalanan begitu ramai dengan kendaraan yang lalu lalang. Dia bisa saja mengakhiri hidupnya dengan sembarang menyeberang agar dirinya tersambar kendaraan yang melintas. Tapi dia masih ingat, bunuh diri itu dosa besar.

"Aaaaarrrgghhhhh!" teriakan itu membuat banyak orang di jalanan heran.

"Cabut nyawaku sekarang, Ya Allah! Lebih baik aku mati!" gadis itu tak henti-hentinya menangis.

"Kenapa semua orang benci sama gue? Gue punya salah apa sama mereka? Apa gue enggak pantas bahagia selamanya?"

Orang-orang yang melihat gadis itu tak satupun yang berani mendekatinya. Mereka pikir, ia adalah orang gila.

Gadis itu berjalan lesu, menangis, tubuhnya lemas dan terus menggigil. Matanya mulai kabur karena terlalu sering diterpa hujan. Kakinya tersandung tiang listrik dan membuatnya tersungkur di trotoar.

"Aaaarrggghhhh! Brengsek!"

Seorang laki-laki datang mengampiri gadis itu dengan napas yang tersengal sebab terlalu jauh berlari. Tidak salah lagi, itu adalah Arsa. Arsa memberikan payung untuk gadis itu, namun ia menolaknya.

"Ngapain lo ke sini? Enggak usah sok peduli sama gue," Maura melempar payung itu.

"Lo pikir dengan lo kayak gini, semua masalah bakal selesai?" bentak laki-laki itu.

"Apa pedulinya lo sama gue?"

"Karena gue sayang sama lo," bicaranya dalam hati. "Masih banyak orang yang sayang sama lo! Jangan pernah lo berpikir kalau lo itu cuma sendirian di dunia ini," serunya.

"Enggak! Enggak ada yang sayang dan peduli sama gue, semua orang cuma bisa merendahkan gue! Nyakitin gue! Nggak bisa ngertiin perasaan gue!"

"Itu menurut lo sendiri, tapi tanpa lo sadari, banyak orang yang peduli."

"Terserah lo mau bilang apapun! Lebih baik gue mati!"

Gadis itu berusaha berdiri meskipun tubuhnya sudah begitu lemah. Ia berlari sekuat tenaga dan Arsa mengejarnya. Namun beberapa meter setelah gadis itu berlari, ia merasa tubuhnya semakin lemas. Matanya tidak bisa melihat dengan benar, hanya ada kabur, gelap, dan kepalanya terasa pusing. Tubuh gadis itu akhirnya tersungkur lagi di trotoar.

"Maura!"

Laki-laki itu berlari menghampiri tubuh gadis itu dan meletakkan kepalanya di pangkuannya.

"Bangun Ra! Buka mata lo!"

Beberapa kendaraan yang lalu lalang akhirnya menghentikan kendaraan dan mengerumuni kejadian itu. Ambulan datang beberapa menit setelah salah seorang pengendara menghubungi rumah sakit terdekat.

***

Terima kasih sudah membaca.

Setelah sekian lama aku mempersiapkan novel ini, akhirnya aku memutuskan untuk mempublishnya. Cerita ini aku tulis untuk mewakili suara para perempuan yang sering insecure karena perkataan orang lain. Dan juga, ada banyak pesan yang akan aku sampaikan melalui novel ini.

Aku sangat berharap kalian dapat mendukungku untuk kesuksesan novel ini. Satu vote dari kalian begitu berarti bagiku. 

I Can't : Rumah Yang Tak Utuh [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang