OFFLINE

36 1 0
                                    


Kata orang, jaman sekarang kebutuhan utama bukan hanya sandang, pangan dan papan, tapi juga internet. Tidak bisa kami sangkal, walaupun kami tinggal di desa yang jauh dari kota, internet perlahan mulai menjadi kebutuhan kami semua, mulai dari bapak, ibu, terlebih lagi kami pekerja kantoran dan pelajar, aku dan adik-adikku.

Mimi, adik bungsuku, harus mengirimkan jawaban dari soal yang dia kerjakan seharian lewat grup WhatsApp yang berisi guru-guru dan teman sekelasnya. Mimi bersekolah di ibukota kecamatan dan biasanya hanya pulang tiap akhir pekan. Tapi karena sebentar lagi akan diadakan pemilihan kepala desa, dia memilih di desa saja.

"Lebih ramai disini, Bang... Di kota, Bibi hanya Tiktokan terus..." tukas Mimi.

Ada lagi Yoyo, adik keduaku. Dia baru lulus SMP dan sudah diterima di salah satu SMA di Ibukota kabupaten. Sebelum dia berangkat kesana dan tinggal di kost, dia harus mengikuti masa pengenalan lingkungan sekolah secara daring. Aku melihat dia sedang berlatih dengan panduan yang diberikan dari sekolah. Ia mengembangkan sendiri kata-katanya, bergumam, mendesah risau karena lupa beberapa kata, lalu melatih tersenyum di depan kamera. Ia harus membuat video dan mengunggahnya ke akun pribadi media sosialnya.

Bang Musi, kerabat kami yang sedang tinggal bersama kami, juga membutuhkan internet. Dia sedang merintis usaha dan sedang mengurus perijinan. Setelah berminggu-minggu meminta audiensi dengan calon investor, akhirnya mereka setuju untuk mewawancarai Bang Musi hari ini via Zoom.

Lain lagi denganku. Aku perlu mengirim laporan harian ke kantor apa saja yang kukerjakan selama WFH di desa. Ya, alasanku hampir-hampir sama dengan alasan Mimi. Hanya saya, aku bukan mencari ramainya hari pemilihan kepala desa. Aku ada di usia pemilih, dan aku mau mendukung kandidat pilihanku—

"Has..." Ibu memecahkan lamunanku. "tolong ibu belanja ya ke kios. Mau masak untuk ibu-ibu mau pertemuan di rumah Bibi Ati nanti malam..."

"Aok..."anggukku. Aku mengambil daftar belanjaan tapi menolak uang yang ibu sodorkan dan bergegas keluar rumah dengan uang yang ada di dompetku.

Desa Digori. Meski jauh di tengah hutan, dan akses darat yang masih rusak, desa ini sepertinya tidak mau tertinggal dengan dunia, dari perkembangan angka covid hingga piala Eropa—semua orang Digori tahu perkembangan dan berita terbaru.

Aku berjalan turun dari rumahku yang berada di punggung bukit kecil—bukan bukit malah, lebih seperti gundukan tanah yang membuat rumahku cukup lebih tinggi dari rumah-rumah lain di desa ini. Aku berjalan lurus dan melihat Bale Batomu berdiri tegas di sebelah kananku, tempat yang selama ini dijadikan Balai Desa oleh masyarakat Digori. Beberapa langkah kemudian ada Poskesdes, tempat warga desa berobat jika mengalami sakit yang ringan. Di bawah rimbun pepohonan ada jembatan pendek yang memisahkan desa Digori bagian sini dengan bagian sana, tepian sungai Kelawi. Setelah menyeberangi jembatan itu aku berjalan sedikit lalu belok ke kiri.

"Kak Desi," panggilku dari luar kios. Kak Desi menyahut dari dalam dan memintaku menunggu. Ia sedang memandikan anaknya, Selo.

"Bang Has mau beli apa?" Kak Desi bertanya, aku mengulurkan daftar belanja yang sudah Ibu tulis.

"Aok.." Kak Desi dengan sigap mengambil barang-barang yang sudah ditulis ibuku dan memasukkannya dalam kantong plastik. "eniwei," ujar Kak Desi sambil menghitung kembalian, "Kamu lagi balik ke desa, Has?"

"Iya kak... untuk Pilkades..." aku menerima kembalian dari tangan Kak Desi.

"Aok, aok... iya lah. Eh nanti malam kakak ke rumah kamu ya Has. Mau cari sinyal..."

"Oh boleh kak. Ada apa emangnya kak?"

"Ah biasalah. Mau nonton Drakor." Kak Desi tersipu. Aku mengangguk sambil tersenyum mengingat bagaimana kemarin beberapa anak gadis desa berjalan kesana kemari di halaman rumah kami untuk mencari sinyal agar bisa menonton drakor juga. Beberapa dari mereka menangis bukan karena jalan cerita filmnya, tapi karena tidak kunjung menemukan sinyal.

OFFLINETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang