Pesugihan Sate Keong

1 0 0
                                    

Setiap insan memiliki takdirnya masing-masing. Kesuksesan dan kegagalan seperti roda yang terus berjalan beriringan. Seperti halnya Tirta, pemuda desa yang hanya mengecap bangku SMU. Tidak mudah bersaing di megahnya metropolitan. Bisnis kuliner yang sempat dia tekuni macet dan tak berjalan sesuai harapan. Modalnya kini ludes, meninggalkan utang yang cukup besar.

Rentenir yang dulu terlihat seperti malaikat tanpa sayap, telah menjelma sebagai iblis pengisap darah. Buaian kata saat angsuran lancar begitu merdu. Namun, ketika macet, semuanya berubah bagai pekikan maut. Cacian dan hinaan pun menjadi makanan sehari-hari.

Tak hanya itu, rumah hasil jerih payah pun kini lepas sebagai pengganti angsuran yang kian membengkak, layaknya borok tak terobati. Bahkan untuk makan pun, terkadang Tirta dan istrinya rela mengikat kencang pinggang demi sang buah hati agar tak kelaparan. Sementara, keluarga dan sahabat hilang entah ke mana. Mereka seakan-akan lenyap tanpa kabar begitu mengetahui Tirta yang tengah di ambang kehancuran. Entah ke mana mereka yang dulunya menjilat saat butuh. Sekarang, semua ikut menggigit.

"Tirta, keluar kamu!" teriak seseorang dari luar kontrakan.

Tirta yang mendengar suara penuh emosi itu tersentak. Dia tersadar dari lamunan, tapi enggan bangkit. Wajah kusut itu bukan pura-pura tuli. Hanya saja, uang untuk membayar angsuran yang sudah jatuh tempo belum ada sama sekali. Berbagai usaha telah dilakukan. Tirta bahkan nekat meminjam ke orang-orang yang dikenal. Alih-alih mendapat bantuan, malah berakhir dengan kalimat buruk yang membuatnya makin terpuruk.

Tirta mengintip dari balik tirai lusuh. Tampak seorang pria paruh baya berkacak pinggang. Di belakangnya, berdiri dua orang tinggi tegap dengan wajah menyeramkan. Sekali hantam, dipastikan lawannya langsung tumbang. Ludah yang tertelan seakan-akan tersangkut di tenggorokan. Sementara, istri dan anaknya meringkuk di sudut rumah, pasrah menunggu nasib.

Tirta berbalik, teriris melihat istri dan anaknya. Umpatan dari luar makin menyesakkan, sedangkan dia tak mampu berbuat apa-apa. Dengan rasa takut yang menguasai, perlahan dia membuka pintu. Bait-bait doa dilirihkan dalam hati, berharap Yang Kuasa memberi pertolongan dan perlindungan untuk keluarganya, dari kebiadaban rentenir jahanam.

Seringai licik dan menakutkan jelas tergambar dari wajah rentenir saat pintu terbuka. Rasa kuasa layaknya di atas angin telah membuat mereka seakan-akan bebas melakukan apa saja kepada yang berutang. Pandangan tajam mengintimidasi, seperti serigala yang siap memangsa. Sesaat kemudian, tangannya ditarik dan memberi kode.

Tirta tergugup mencerna maksud dari pergerakan itu. Refleks, dia maju dan memeluk kaki sang rentenir sambil memelas, berharap diberikan sedikit tenggang waktu.

"Kamu sudah mengerti resiko berhutang denganku, iya, kan?" hardiknya menghentakkan kaki.

Tirta yang memeluk tungkai itu terdorong dan terjerembab ke belakang. Belum bangkit dari posisi itu, dua orang berpakaian hitam mencengkeram tubuh dan memaksanya berdiri. Rasa sakit melilit perut setelah pukulan mendarat dan membuatnya meringis berkali-kali.

Tirta memaksa bangkit saat rambut sang istri dijambak. Hati serta-merta terbakar, ketika sang rentenir memberikan tamparan kepada wanita yang dia cintai, hingga tersungkur dan darah mengalir dari celah bibir. Matanya menatap nyalang penuh emosi. Tirta tak terima. Sakit yang dia rasakan tak sebanding dengan panas dalam dada. Tangannya terkepal kuat hingga kuku seakan-akan menusuk daging.

Namun, sang rentenir makin berulah. Dengan seringai iblis, mereka berbalik menampar Tirta tanpa ampun. Pandangan menantang sang rentenir yang makin pongah dan senyum culas, kembali menghantam perutnya. Lelaki itu tersungkur dan memuntahkan darah segar.

****

Di sinilah Tirta sekarang. Di sebuah gubuk reot yang hampir termakan zaman. Takdir yang mengacaukan hidup membuatnya memilih jalan pintas. Sakit hati atas sikap rentenir, lantas membulatkan tekad menerima saran dari salah satu temannya. Pesugihan sate keong.

Pemuda kusut dengan pakaian lusuh bersedekap di depan laki-laki sepuh. Aroma pedupaan menyengat mengisi ruangan. Tekadnya sudah bulat. Tanpa banyak tanya, dia mengiyakan semua syarat dari juru kunci pesugihan.

“Nanti malam kita adakan ritualnya, ingat apa pun yang mbah katakan tadi?” jelas laki-laki dengan guratan keriput di hampir seluruh wajah. Sambil komat-kamit, tangannya begitu lincah di atas tungku memantrai nampan yang tertutup kain hitam.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 16, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cerpen HororTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang