Begini awal mulanya

29.3K 1.5K 19
                                    

Sudut Pandang Gia Anggita

Kastara Abian Putra

Namanya langsung menggema seantero kantor. Bagaimana tidak, seluruh warga kantor langsung menyebut-nyebut namanya ketika Pak Wilham selaku direktur utama mengundurkan diri dan meminta anaknya untuk mengantikan dirinya.

Kastara Abian Putra. Satu-satunya keturunan dari keluarga Abian, langsung mengambil alih perusahaan padahal dia baru saja menyelesaikan gelar S2-nya di Amerika. Desas-desusnya begitu yang aku dengar dari teman-teman satu divisiku.

"Gia!" ucap Mira seraya memanggilku,  "kita berdiri di sini aja. Bentar lagi Pak Kastara datang. Semuanya harus ngasih sambutan kedatangannya," ucap Mira lagi. Aku berjalan berdiri di dekat Mira.

Ish, ribet banget. Datang ya tinggal datang masa harus menjejerkan seluruh pekerjanya di lobby utama. Sok paling penting aja dia. Emang penting sih, tapi menurutku enggak perlu sampai segitunya.

Beberapa saat kemudian, mobil mewah pria itu memasuki pelataran. Kastara Abian Putra masuk ke dalam gedung kantor dengan wajah datarnya, tidak ada senyum segaris pun. Padahal semua pekerja di sini memberikan senyum termanis mereka.

Alamat direktur rese nih.

Pak Kastara diam sebentar kemudian tangannya mencolek dinding kaca. "Kotor," dia menoleh ke arah jejeran para pekerja, "siapa penanggungjawab kebersihan?" tanyanya tegas.

"Saya, Pak," ucap seseorang dari belakangku yang aku tebak pasti Fina.

"Lain kali tolong benar-benar diperhatikan ya. Kebersihan nomor satu bagi saya."

"Baik, Pak," jawab Lina dengan suara gemetar.

Pak Kastara melanjutkan langkahnya. "Direktur, direksi, seluruh manager, dan kepala divisi tolong ikut saya ke ruang pertemuan," ucapnya lalu melenggang pergi.

Aku menatap Mira di sebelahku. Perempuan itu terdiam dengan tatapan kosongnya. "Seram banget dia. Gue jadi takut."

"Udah sana Mir. Nanti Pak Kastara marah, jangan nambah masalah."

Mira adalah kepala divisi pemasaran, sedangkan aku bawahannya. Jadi, ketika Pak Kastara meminta seluruh kepala divisi berkumpul, secara tidak langsung Mira terpanggil.

"Yaudah gue ke sana dulu ya." Aku mengangguk lalu dia pergi dari hadapanku.

Selepas kepergiannya aku berjalan mendekati lift, tetapi tiba-tiba langkahku terhenti. Aku baru teringat flashdisk strategi marketing yang telah aku buat ada di Mira. Aku harus membuka filenya dan memgeceknya lagi, itu pekerjaanku hari ini. Kalau tidak ada flashdisknya, aku tidak bisa bekerja. File tentang strategiku ada di laptop yang aku tinggal di rumah.

Aku memutar langkahku menuju ruang pertemuan. Aku menelpon Mira, tetapi panggilanku tidak kunjung diangkat. "Jangan menghalangi jalan," suara asing tiba-tiba terdengar. Aku menoleh dan langsung terkejut saat Pak Kastara berdiri di belakangku. Sebenarnya aku enggak menghalangi jalan, aku hanya berjalan dengan pelan.

"Maaf, Pak," ucapku lalu meminggirkan diriku. Mempersilahkan dia jalan lebih dahulu, tetapi dia malah menyamakan langkahnya denganku. Aku terdiam sambil menunduk.

Sesampainya di depan ruangan pertemuan, aku berhenti di sebelah pintu. Tanganku masih menelepon Mira berharap dia keluar dari ruangan itu lalu memberikan flashdisk milikku.

"Langsung masuk ke dalam. Menunggu apa kamu di luar?" suara Pak Kastara kembali terdengar.

"Anu, Pak. Saya bukan kepala divisi. Saya cuma anggota divisi. Saya di sini menunggu kepala divisi saya."

Pak Kastara mengangguk. Dia melipat kedua tangannya di dada. "Divisi apa?"

"Divisi pemasaran."

"Namamu siapa?"

"Gia, Pak," Pak Kastara masih terdiam, "Gia Anggita," lanjutku. Pak Kastara hanya berdeham lalu masuk ke dalam ruangan.

Kalau dibalas dengan dehaman doang, seharusnya enggak perlu kepo nanya-nanya.

Bersambung

Mr. Controller and MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang