3

58 15 13
                                    

Kerap kali kata pulang disandingkan pada rumah. Pada tempat yang kiranya jadi pemberhentian kala lelah, entah secara harfiah atau metafora.

Namun ucapan Satya yang kemarin malam sempat mengudara, ditolak mentah-mentah oleh Reyhan juga Azka. Bahkan Satya tak diizinkan berucap kembali barang sekata.

Definisi pulang bagi Satya ada dua hal, dan dua-duanya sama-sama buruk bagi mereka.

Kembali ke Amerika atau kembali pada Tuhan. Karena sejujurnya Satya lelah bermain petak umpet dengan orang yang Ia sayang. Karena sejujurnya Satya lelah, tampak baik-baik saja meski sebenarnya terluka.

Tapi lagi-lagi dua kawannya mengingatkan bahwa Ia masih punya satu hal yang pantas—bahkan harus—untuk diperjuangkan.

Entahlah, nanti Satya pikirkan lagi meski sebenarnya itu tujuan awalnya kembali ke Indonesia.

Jadi ketika matahari mulai menampakkan sinarnya, Satya juga kedua kawannya sudah bersiap. Hari ini mereka akan jalani rutinitas seperti biasa, kuliah lalu mengerjakan tugas.

Entah Satya sedang bersandiwara atau tulus adanya, yang penting bagi Reyhan dan Azka sekarang adalah, pagi ini Satya masih bersama mereka.

"What's the plan today? Gua mau rebahan aja kalo udah kelar jam kuliahnya."

Laci di kamar itu dibuka lebar, menampakkan puluhan kalung milik mereka bertiga. Dengan tangan sibuk memilah kalung yang akan digunakan hari ini, Satya mengedikkan bahu sebagai jawaban.

Reyhan pun sama, Ia sedang tak punya tenaga bahkan untuk menghadiri kelas pagi ini. Sayangnya jatah absen sudah habis, mau atau tidak Ia harus berangkat.

"Gua duluan ya?" Tak menunggu jawaban dari yang lain, Satya beranjak lebih dulu. Kelasnya mulai lebih awal dari yang sebelumnya sudah diberitahukan.

Dengan langkah yang hampir tak ada semangatnya, Ia keluar dari unit apartemen milik Azka lalu segera menuju mobil hitam miliknya. Masker hitam Ia gunakan, kebiasaannya agar tak ada yang mengenali.

Ngomong-ngomong, mereka tinggal bertiga di Indonesia. Sengaja, katanya ingin menjaga Satya sekalian agar tak kelewat batas pada dirinya sendiri seperti yang terakhir kali.

Satya hanya mengiyakan saja, toh di Indonesia Ia tak punya tempat tinggal. Jadi kesempatan menumpang pada apartemen Azka tidak akan Ia tolak.

Land Rover hitam melaju tenang membelah jalanan ibukota. Menyusuri Depok yang panasnya luar biasa dengan radio yang menyala berisi alunan musik juga sandiwara.

Diam-diam Satya mengukir senyum pada wajah tampannya. Udara ibukota memang tidak begitu bagus, tapi baginya tak ada yang lebih baik dari tanah kelahirannya sendiri.

Atensinya kini tak hanya berfokus pada jalanan saja, sesekali Ia menilik kanan kiri sembari menelisik bagaimana keadaan kota kelahirannya ketika Ia pergi.

Hingga netranya tangkap sosok yang tak asing dalam ingatan. Tengah berlari tanpa alasan yang jelas. Satya hanya sedang tak mampu melihat ke arah lain kala sosok itu mencuri hampir seluruh atensinya.

Mobil hitamnya Ia bawa menepi. Diparkirkan asal hingga yang terpenting Ia bisa lari menyusul laki-laki tadi.

"Woi woi!" teriaknya asal. Tak berani sebut nama karena sejujurnya Ia tak punya banyak nyawa untuk sekedar bertukar sapa dalam kurun waktu yang tiba-tiba.

Beruntung kakinya panjang, langkah kaki laki-laki itu berhasil terkejar.

Tanpa basa-basi lagi, Ia tarik tangan laki-laki itu hingga tubuhnya berbalik oleng. Telak menabrak tubuh tinggi milik Satya sebelum ditarik menjauh dari jalan menuju gang kecil di sekitar sana.

"Lo sapa anjing tarik tarik gua?!" gertak laki-laki tadi sembari menyentak kuat cengkeraman tangan Satya di lengannya sebelum mendongak marah.

Sejenak Satya rasa waktu tengah berhenti berputar kala netranya bersitatap dengan milik laki-laki dihadapannya. Ia tak salah lagi, ini Juju, adik kecilnya.

"Juju?" tanyanya ragu. Mencoba abai ekspresi marah yang adiknya tujukan padanya. Ia harus memastikan segera siapa laki-laki yang sedang berdiri dihadapannya ini.

Ada raut terkejut yang Satya tangkap pada wajah adik kecilnya itu. Namun hanya sebentar sebelum berganti menjadi tatapan marah dan galak seperti biasa.

"Kok tau nama gua? Penguntit ya lo? Aduh mas maaf banget ini mah, gua masih suka cewe."

Lolos sudah tawa milik Satya. Tubuhnya bergerak perlahan menutup jalan satu-satunya agar adiknya tak pergi dari sana. Tangannya naik tanpa aba-aba, menarik masker hitam itu hingga terlepas sepenuhnya.

Lain kali, jangan percaya jika Satya bilang Ia tak ada nyawa untuk bertemu dengan orang lain.

"Eh? KAK SATYA?"

Teriakan itu menggema memekakkan telinga. Juju beringsut mundur selangkah dua langkah. Ini semua karena otaknya berfungsi lebih cepat dari yang biasanya.

Entahlah, Juju hanya mengingat semua ucapan bibi dan paman di rumah. Mereka bilang berkali-kali bahwa kakaknya ada pembunuh. Kakaknya adalah alasan kenapa sang ibu kini mendekam di rumah sakit jiwa.

"Pergi lo, pembunuh."

Meski lirih, Satya tak bisa menampik fakta bahwa dirinya tangkap suara kecil dan binar mata ketakutan yang Juju berikan padanya.

Satya tak maju, Ia hanya membatu di tempat Ia berdiri. Menatap adik kecilnya yang semakin mundur dengan wajah ketakutan. Apa dirinya seperti monster?

Segera Ia kenakan lagi maskernya. Sunggingkan senyum hingga matanya berbentuk bulan sabit. Kiranya itu yang bisa Juju tangkap pada netranya kini.

"Kamu ngapain lari-lari?"

Satya yakin seratus persen bahwa nada suaranya terdengar bersahabat, tapi entah kenapa nada suara yang Juju berikan untuknya terdengar dingin dan asing.

"Buka urusan kakak. Pergi dari sini sebelum Juju teriak," ancam laki-laki itu sembari memeluk tubuh yang tak berarti apapun.

Satya mengangguk pelan. Ia buru-buru maju mendekat pada adiknya, memberi usapan lembut pada surai kelam itu sebelum sang empunya beringsut makin jauh.

"Jangan lupa makan ya? Jangan sampe sakit. Kakak pamit."

  ️️

  ️️
️️ ️️
️️

  ️️

  ️️

  ️️—

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Masih pada baca engga? Tbc ya!

80 Hari Tanpa Temu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang