Bagaimana rasanya jatuh cinta pada seseorang selama hampir enam tahun, tanpa ada satupun interaksi yang cukup memungkinkan buat saling mengenal satu sama lain?
Takut. Rasanya takut.
Dari dulu, aku selalu terpikir apakah sosok Bagas yang selama ini tersusun rapi dalam bayanganku adalah sebenar-benarnya Novem Bagaskara? Bagaimana jika bayanganku selama ini cuma ekspektasi yang kususun sendiri karena tak punya cukup banyak kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh?
Sebab selama ini, Bagas yang kutau adalah seorang laki-laki eksentrik dengan berbagai macam perilakunya. Bagas yang lebih memilih untuk keluar dari angkutan kota menuju sekolah di tengah hujan daripada diam menunggu macet mereda. Bagas yang selalu punya alasan aneh untuk absen ke sekolah setidaknya dua kali dalam seminggu. Bagas dengan atribut ember dan kain pel yang tak pernah melewatkan jadwal piketnya di hari Kamis. Bagas yang selalu terlihat masa bodoh dari luar, tapi diam-diam menyimpan banyak kepedulian.
Ada banyak hal tentang Bagas yang bisa kuceritakan. Ada banyak pembicaraan tentangnya yang tak pernah bosan kutuangkan. Tapi masalahnya, posisiku kurang valid. Siapa aku berani banyak omong tentang seseorang yang bahkan baru satu kali kuajak bicara? Pengamat? Cuma pengamat. Kesalahan dan bias bahkan bisa terjadi dalam penelitian yang dilakukan oleh para ahli sekalipun. Lantas apa kabarnya aku yang cuma bisa jadi pengamat?
Sialnya, meski tahu persis resikonya mencintai seseorang sebagai pengamat, aku tetap melakukannya selama bertahun-tahun. Bahkan dengan keyakinan bahwa suatu saat nanti, akan ada saat di mana aku mengenal Bagas sebagai sebenar-benarnya Novem Bagaskara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bagaskara: A Summary
Fiksi RemajaSekumpulan catatan kecil dari Runi yang dialamatkan hanya pada satu nama, Bagaskara.