8. Hal-hal di Luar Kendali

1.3K 187 33
                                    

"Kita tidak bisa menuntut orang lain menjadi baik, tapi kita bisa merubahnya jika bersungguh-sungguh."

***

Bening

Pada akhirnya, perasaan takutku terhapuskan, lalu terganti oleh sesuatu yang dinamakan cinta.

Aku menerima Jay. Aku menerima semua kekurangannya. Terkadang, di dalam hidup ini kita harus menerima perbedaan, termasuk kejahatan yang dilakukan oleh orang lain. Kita tidak bisa menuntut orang lain untuk berbuat baik pada kita, tapi kita bisa merubahnya jika kita bersungguh-sungguh.

Dan, itulah yang menjadi alasan aku menerima Jay. Aku ingin memperbaiki sikap keras kepalanya. Aku ingin Jay menjadi cowok baik sebagaimana dia sebelum kacau seperti ini. Aku juga ingin masuk lebih dalam ke kehidupannya yang sepi, sekedar untuk menggenggam jemarinya yang kedinginan.

Aku memeluk tubuh Jay selama di atas motor. Sampai sekarang aku masih belum percaya bahwa aku berada satu langkah lebih depan dari penggemar Jay yang lain. Aku bahkan telah memiliki ruangan khusus di hati cowok yang dulu hanya bisa kukagumi dari jauh. Untuk saat ini, aku menikmati semuanya-bagaimana Jay memperlakukanku, senyum tulusnya yang hanya dia beri padaku, dan setiap sentuhan jemari kurusnya di tubuhku. Walaupun, aku mulai cemas karena cepat atau lambat aku akan menjadi seorang ibu seutuhnya.

Tidak masalah sama sekali, asal Jay selalu berada di sisiku setiap waktu.

"Bokap lo suka makanan apa?"

"Eh?" Aku yakin Jay pasti akan membelikan makanan untuk Papa. Bukan apa-apa, masalahnya Jay sudah banyak mentraktirku belanjaan hari ini. Ketika sepulang dari I Scream, Jay langsung mengajakku ke mal untuk makan. Hal yang tak terduga sama sekali, Jay menarik tanganku ke Miniso dan menyuruhku beli apa yang aku mau.

"Ini sebagai hadiah maaf dan terima kasih dari gue. Maaf karena gue nggak sadar malam itu dan terima kasih udah memperjelas semuanya." Jay tersenyum hangat saat kami sudah memborong belanjaan dari Miniso. Dia bahkan menarik pinggangku di depan umum, tanpa takut sama sekali jika hal yang dia lakukan akan menimbulkan kontroversi.

"Ning?" Jay menepuk pahaku, menyadarkanku dari lamunan. Dia tertawa kecil. "Kenapa bengong?"

"Papa suka sate madura, Jay." Jawabanku tidak salah, karena aku ingat saat-saat Mama masih hidup. Setiap bulan, ketika Papa gajian, Mama akan membuat sate madura dengan porsi sangat banyak yang dipadukan dengan lontong lalu dibagikan ke para tetangga dekat rumah. Sebenarnya itu bukan ide Mama, karena Mama lebih suka makanan manis dan lebih sering membuat makanan penutup.

Tidak lama kemudian Jay berhenti di salah satu kedai sate madura pinggir jalan. Jay seperti sudah hafal setiap sudut tempat makanan di kota ini.

"Lo juga mau?"

Aku menggeleng. "Aku udah kenyang."

"Mau ikut ke dalam nggak?"

Banyak cowok di kedai itu, membuatku sontak menggeleng. "Aku nunggu di sini aja."

Jay mengangguk. Dia pergi ke kedai sendiri. Aku mengamati pergerakannya. Bagaimana Jay berinteraksi dengan orang lain sambil tersenyum ramah, dan juga bagaimana tawa yang muncul dari mulut lawan bicaranya, membuatku menyimpulkan bahwa Jay memiliki banyak kelebihan di samping dia suka berbuat rusuh dan menjadi anak yang dibenci oleh ayahnya sendiri.

Matahari Sebelum Pagi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang