Dua gadis duduk berdampingan. Qipao merah dan kebaya pink. Di sebuah gang sempit yang tersembunyi dari lalu-lalang para pengguna jalan.
Gadis yang bergaun nuansa merah bagai habis lari dari kejaran setan. Eyeliner di bingkai matanya meleleh akibat air mata yang masih bercucuran hingga detik ini. Di tangannya, sekaleng kopi dingin menganggur hingga tak lagi bisa disebut kopi dingin.
Di sampingnya, seorang gadis berkebaya pink curi-curi pandang. Rok kebayanya yang menjulang hingga menyentuh tanah dibiarkan begitu saja, tak peduli jika kain yang harganya nyaris jutaan itu terkena bercak hitam yang sulit hilang. Padahal ia tahu ibunya akan naik pitam jika melihat itu terjadi.
Tidak, ibunya mungkin akan lebih dahulu memarahinya karena telah lari dari acara penting pagi hari itu.
"Sudah lebih tenang?" tanya gadis pink. Kali ini, ia sengaja menunduk agar bisa melihat ekspresi gadis di sampingnya yang masih sesegukan.
Gadis berambut biru indigo yang disanggul bagai bakpao tak lantas membalas. Malahan, tangisnya yang nyaris reda kembali pecah setelah pertanyaan itu dilontarkan.
"Hwaaa! Aku tidak tahu harus bagaimana!"
Gadis berkebaya pink kelabakan; botol teh hijau diletakkan di atas bangku batu agar ia bisa menepuk pundak gadis ber-qipao merah. Ia sendiri tak yakin apakah terjebak berdua di gang sempit ini merupakan kabar baik atau buruk. Baiknya, orang-orang tak akan mencari mereka hingga ke sana. Buruknya, kalau para pejalan kaki di luar mendengar tangisan gadis di sampingnya, pelarian mereka akan jadi sia-sia.
Uh, lari dari apa, sih? Tak yakin, gadis berkebaya pink menilik ke dalam kilas balik kejadian pagi itu.
Langkahnya terhenti di depan sebuah gang sempit yang terlindung dari sinar mentari. Semua pasang mata yang hadir di jalanan di depannya bagai busur tajam yang diempaskan ke arahnya. Bagaimana tidak, dengan kebaya pink berlapiskan renda-renda putih, lengkap dengan kerudung yang ujungnya terhubung dengan tudung sepanjang badan. Tak ingin lama-lama berdiri dalam suasana canggung itu, ia menyelip ke dalam gang sempit yang sejak tadi mengundang rasa penasarannya.
Napas terhenti, begitu juga dengan langkah berlapis hak rendah warna merah jambu.
Qipao merah adalah hal yang pertama menarik fokusnya dari segala hal lain di sekitar. Warna cerah itu begitu kontras dengan warna kusam gang kecil yang penuh dengan barang rongsok berkarat.
Di hadapannya, seorang gadis tertunduk, memeluk lutut. Suara tangisnya teredam, tetapi ia masih bisa mendengarnya. Diperhatikan dari napas sang gadis yang menderu, sepertinya sudah cukup lama ia menangis tanpa seorangpun berniat mendekatinya.
Merasakan kehadiran asing dari luar, gadis itu mengangkat kepala. Menampakkan wajah yang berantakan dari lelehan maskara dan eyeliner hitam, adalah sepasang aquamarine yang berlinang air.
Untuk sesaat, tangis itu reda.
Untuk sesaat, keduanya yang lari dari kejaran takdir, tak lagi sendiri.
Dia ingat.
Gadis berkerudung itu menghela napas. Ia baru saja bertemu dengan gadis ini di sebuah gang sempit gelap dengan keadaan sama-sama berantakan. Berusaha menenangkannya, ia membelikan minuman dari sebuah vending machine yang terletak tak jauh dari gang. Meskipun ia harus repot-repot mengangkat rok panjangnya untuk mengambil uang cadangan di kantong celana. Sayangnya, kopi dingin yang ia belikan berakhir menganggur hingga suhu udara yang panas mendominasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin yang Ditukar (YaYi & BoiFang)
FanfictionTwo brides. Two grooms. Two arranged marriages. Four runaways. Yaya yang menemukan Ying di sebuah gang sempit penuh rongsokan. Boboiboy yang menemukan Fang di sebuah taman dengan danau yang hening. Semua masih lengkap dengan pakaian pernikahan masin...