What The Devil Is Called

409 56 8
                                    

Aku sudah menunggu hari ini dengan perasaan yang campur aduk. Tapi ketika hari ini tiba, yang terus aku pikirkan sebelum membuka pintu adalah: apakah aku berpakaian cukup untuk hari yang penting ini? Bagaimana kalau seandainya Gema berubah pikiran? Tapi alih-alih, pertanyaan pertama yang keluar dari mulut kecilnya adalah apakah aku mencukur janggut dan kumisku. 

Untunglah.

Memang benar aku yang mengajukan kalau kita tak gegabah, dan anggap saja ini sebagai masa percobaan. Aku tak mau memaksakan perasaanku pada orang lain. Hal seperti itu tak pernah berakhir baik. Tapi memikirkannya meninggalkanku, padahal kami belum secara resmi bersama, membuatku mual. 

Gema merapikan pakaiannya di depan cermin. Dia mengenakan kemeja lengan pendek berwarna biru navy dengan celana hitam dan sepatu pantofel. Rambutnya diatur sedemikian rupa sampai terlihat kaku.

Apa yang dia lakukan? Padahal aku lebih suka kalau dia tampil apa adanya. Dia tak perlu berusaha keras seperti ini di depanku.

"Sini, biar aku bantu." Aku melemaskan rambutnya sedikit dengan jari-jariku. Dia agak marah tapi bibirnya yang kerucut cemberut malah membuatku gemas. Aku rapikan juga kerah bajunya. Berapa tahun anak ini, kenapa begitu ceroboh?

"There you go." Aku tersenyum puas. Dia juga tersenyum. Look at him, look at his precious face. Do i deserve him? Will I be right by him?  

"Kenapa?" Tanyanya tiba-tiba. Aku melirik wajahku di cermin, mataku terlihat sudah berair tanpa aku sadari. 

"Ah bukan apa-apa." Aku pura-pura berjalan ke luar sambil menghapus air mataku. Ayo Luca, jangan bodoh... Jangan hancurkan hari penting ini...

Aku menuruni tangga dengan penuh kegugupan, dan aku usahakan untuk tetap berjalan tegak. Aku tak mau Gema melihat kegetiran langkah-langkahku. Sudah seminggu ini aku berkata pada diriku sendiri bahwa ketika hari itu datang aku harus menggandeng tangannya, bukan.. bukan harus... Aku ingin menggandeng tangannya. Sepanjang hari. Maka, ketika kedua kakiku terayun keluar aku berbalik dan ku serahkan tanganku yang terbuka padanya, dengan seluruh cinta yang aku rasakan untuknya yang mungkin tak bisa ia lihat. Gema berdiri di hadapanku dalam diam. Dalam hati aku terus mengucapkan mantra itu... Raih tanganku, genggam aku, pilihlah aku... Aku tau orang sepertiku tak pantas untukmu tapi tolong, genggam tanganku.

Gema meraihnya dan tersenyum. Aku dirasuki rasa hangat. A warmth sensation that made me explode, killing the devil that slept inside of me slowly. 

The devil called insecurity. 

***********************************************************************************************

Keesokan harinya sinar matahari menyengatku tepat di wajah, membangunkanku. Gema tidur meringkuk di sisiku dengan kepala di dadaku dan lengan kanan yang merangkul pinggulku erat. Aku tak mau membangunkannya, jadi aku membatu dalam posisi itu sambil mengingat-ingat apa yang terjadi kemarin.

Aku berniat mendekapnya dan menciumnya di sana, di bawah bintang dan sinar rembulan.Tapi satpam sialan itu muncul dan merusak semuanya. Aku meminta maaf pada Gema sepanjang malam, tapi dia malah terkikih geli dan katanya itu malah menjadi kencan pertama terbaik menurutnya. Aku lega mendengarnya.

Gema masih tertidur dengan wajah damai. Aku memandangi lekuk hidungnya, bibir ranumnya. Aku sudah menahan diriku hampir setahun... Haruskan aku melewatai garis itu sekarang? Aku mendekatkan hidungku ke rambutnya, mencium bau mint yang khas dari shampoonya. Ujung hidungku menggores keningnya, menyusuri batang hidungnya yang seperti lembah. Ujung hidungku berhenti di ujung hidungnya. Haruskah ku lakukan?

"Lakuin," bisiknya. Aku terperanjat dan menarik wajahku dari wajahnya.

"Apa?" Tanyaku pura-pura tak tau apa yang dia maksud lalu berdeham.

KintsukuroiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang