Rion POV
Dia memang dewasa, modis dan juga yang jelas dia punya reputasi yang diakui selain dia terkenal. Para wanita jelas berebut menginginkannya. Apa yang bisa kumenangkan darinya?
Aku masih 18 tahun, aku merasa angka itu sudah cukup menggambarkan kedewasaan. Aku juga modis, hanya barang-barang yang kukenakan ngga semahal miliknya. Mobil yang dia pakai aja bisa membeli 2 buah rumah seperti yang kudiami sekarang. Dan dia seorang pengacara ternama yang juga jadi pengacara yang akan mengurus perceraian orang tuaku. Aku sudah mendengar sepak terjangnya dari mama. Sedangkan aku cuma anak SMA yang naik kelas juga masih untung.
Tapi aku masih punya wajah yang lebih unggul darinya. Aku tau itu karena aku punya cermin dan bisa melihatnya dengan jelas disana. Aku berani bersaing untuk itu dengan pria yang sekarang sedang berjalan dengan Rindy didepanku ini.
Walau Rindy berusaha melarangku mengintil dibelakangnya, aku tetap melakukannya. Jangan harap kalian bisa kencan dengan tenang sekarang. Sejak dari rumah, aku sudah mengikuti Rindy yang pergi dengan menumpang taksi dan menuju kantor Alan dan pergi bersama pria itu.
Aku masih heran, bagaimana caranya Rindy mengenal seorang Ardlan Prayudha? Apa dia sempat kenalan waktu pria itu datang ke rumah tempo hari?
Mereka memasuki kawasan Mekar Mas dan berjalan menyusuri toko-toko yang ada disana. Beberapa kali kulihat Alan mengajak Rindy mampir tapi cewek satu itu menolak. Aku tau apa yang sekarang ada diotaknya itu. Dia pasti sengaja mengulur waktu biar bisa lebih lama berduaan dengannya. Kulihat sekarang Rindy malah mengajak Alan mampir di kedai pancake yang biasa kami kunjungi bila sedang jalan di daerah ini. Wah, ini ngga bisa dibiarin. Tempat ini kan cuma aku dan Rindy yang boleh tau karena pancake di sini paling juara bagi kami. Aku harus mulai beraksi sekarang.
Begitu masuk, aku langsung mengambil tempat disebelah Rindy. Peduli setan lah kalo dia melotot dan menginjak sepatuku.
"Telinga lo ketinggalan di mana? Kan gue udah bilang jangan ngintilin gue. Ngga denger ya?" telingaku sudah kebal sama omelan Rindy. Bodo amat ah..
"Gue kan juga mau ketemu sama dia. Kan gue perlu konsultasi sama dia soal bokap nyokap." Alan terlihat lega waktu melihat kehadiranku didepan mereka. Dia pasti merasa aku ini penyelamatnya, sayangnya aku mulai menganggapnya pengganggu.
"Boleh....boleh.... apa yang mau kamu bicarakan sama saya?" tanyanya terdengar bersemangat. Aku ngga mau sebenarnya beramah tamah dengan dia sekarang. Ngga peduli dia pengacara mama atau bukan.
"Ngga usah ngomong sesopan itu sama gue. Ya?" dia mengangguk.
"Lo kan bisa ngomong sama dia nanti. Sekarang waktunya dia khusus buat gue."protes Rindy.
"Ngga papa. Lo bisa ngomongin apa aja yang mau lo omongin sama gue." aku mengangguk dengan puas pada Rindy yang cemberut padaku.
"Gue lapar. Boleh mesan duluan?"sebenarnya ngga ada yang mau kutanyakan pada Alan. Aku sudah ngga peduli sama hubungan kedua orang tuaku. Mereka sama-sama dewasa dan bisa menentukan jalan hidup mereka masing-masing. Walau pas lagi sendiri hal itu juga membutku sedih karena memikirkan hubungan harmonis mereka selama bertahun-tahun harus kandas juga.
Rindy merebut daftar menu dari tanganku masih dengan muka lipat dua belasnya. Dia memesan strawberry pancake untuknya dan memesankan choco mocca pancake untukku, menu favorit kami.
"Lo mau mesan apa?" dia menanyakan pesanan Alan padanya.
"Gue american black coffee aja." Rindy mengangguk dan menyebutkan pesanan Alan barusan pada pelayan.
"Fruity milkshake 2 ya mba," tambahnya. Aku ngga perlu menyebutkannya lagi, Rindy sudah mendahuluinya.
"Kalian kok bisa kenal sih?" rasanya aku sudah benar-benar ngga bisa menahan mulutku untuk menanyakan pertanyaan yang dari tadi mengusikku. Terserah siapa diantara mereka yang mau menjawabnya.
"Kami diperkenalkan oleh takdir." aku hampir mengutuk diriku sendiri waktu mendengar jawaban super ajaib dari bibir Rindy.
Apa yang membuatku sampai menyukai cewek ini?
Oke. Kuakui bahwa aku memang menyukainya entah sejak kapan. Perasaan suka ini terasa semakin hari semakin parah padanya. Aku pindah ke kota ini 5 tahun yang lalu dan menemukan cewek aneh anak tetangga sebagai teman pertamaku disini. Kami satu sekolah dan selalu bersama. Hingga kami mengenal satu sama lain seperti kami mengenal diri kami sendiri. Rindy bukan tipe cewek yang mudah disukai dengan segala sifatnya itu. Dia suka bertindak sesukanya tapi sangat patuh pada papinya. Rindy pintar dan kepintarannya itu kadang membuatnya bertingkah songong. Dia juga punya batas malu dibawah rata-rata, sangat berbanding terbalik dengan otaknya. Dan Rindy sangat menyukai benda bernama uang sejak beberapa tahun yang lalu. Dia hanya akan melakukan sesuatu bila ada iming-iming benda itu. Mungkin karena sudah lama mengenalnya, entah kenapa aku merasa semua itu terasa biasa bagiku. Aku bisa mengimbangi keanehannya itu dan selalu merasa cuma aku yang bisa melakukannya.
"Kita ketemu di toko boneka dan gue ngambil boneka pilihan dia. Dan selebihnya gue ngga tau gimana dia bisa nemuin gue." aku tau Alan sama sekali tidak tertarik pada Rindy, dia benar-benar terlihat cuek padanya dan lebih memilih bermain game di hapenya ketimbang mengobrol bersama kami. Mana mungkin dia mau berhubungan dengan anak belasan macam Rindy sementara dia bisa mendapatkan wanita manapun yang dia mau dengan segala yang dimilikinya. Aku bersyukur untuk itu walau terkesan aku jahat karena ngga mendukung sahabatku sendiri.
"Ngga penting deh gue tau informasi tentang lo dari mana." Rindy melambai-lambaikan tangannya didepan hidung kami. Hampir aja jari itu mengenai mukaku dan kalo sampai kena, kupastikan jari itu ada dalam gigitanku. Cewek ini memang kelakuannya kadang menyebalkan.
"Cepat habisin makan kalian, kita harus nemuin boneka pengganti itu dan urusan kita selesai." ngga ada kata selesai untuk Rindy sebelum dia mendapatkan apa yang sudah dia jadiin sebagai target, kecuali ada sesuatu yang memaksa dia buat menyerah. Aku tau hal itu dengan sangat jelas. Apalagi sekarang senyum diwajahnya itu jelas mengatakan bahwa dia akan semakin berusaha untuk mendapatkannya. Ada sedikit rasa sesak melihatnya begini, bagaimana dia terlihat benar-benar menyukai pria didepanku ini. Entah kukatakan apa perasaan ini. Cemburu mungkin?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Hate You, Can I? (Silver Moon series)
RomanceBagaimana rasanya bila kamu terus ditolak dan ditolak? Segala usaha sudah kamu lakukan untuk melunakkan hatinya. Dia mencintaimu dan kamu tahu itu. Tapi dia masih menolakmu. Apa aku harus menyerah? Aku berharap bisa membencimu...kamu tau itu? Arind...