Bab 8

2 0 0
                                    

Sesuatu ... Secepat Itu?


Pulang ke rumah dengan super lelah. Ya, itulah aku sekarang. Melakukan pekerjaan yang merupakan hobi dan kita sukai dengan sebaliknya yang semacam kerja rodi, sangat berbeda efeknya. Aku mengalami letih, kelelahan dan kepala berat juga saat jadwal catwalk padat merayap. Belum lagi, persaingan-persaingan tak kasat mata. It means, pekerjaanku itu memiliki tekanan juga. Namun setidaknya, karena aku suka, bisa dibawa enjoy.

Sementara, ini … hmmm, harus kudefinisikan bagaimana rasa lelah ini? Terlampau banyak hal yang tidak kumengerti, akan tetapi kupaksakan untuk mengerti. Sebalnya lagi, meski itu hanya kantor cabang, dan Dad tak ada di sana, aku tetap merasa terintimidasi dengan kehadirannya. Aku tahu ada beberapa pegawai yang Dad titipi untuk mengawasiku selama di sana. Ada juga yang agaknya tidak suka dengan keberadaanku. Seolah aku adalah ancaman untuk posisinya. Seolah dia tahu, untuk apa seorang Cliff Nalendra sampai repot-repot ada di kantor cabang. Bagaimana aku punya pemikiran semua itu? Instuisi yang berkata demikian. Ya, tentu saja semuanya bisa terlihat dari gelagat.

Aku hanya tidak ingin membuat Mom kecewa. Juga merasa sedih dan patah hati. Terutama dengan ancaman Dad. Ah, semestinya kalau memang ada sesuatu atau masalah di kantor cabang, Dad bisa ajak aku bicara. Bicara yang serius tapi tetap santai. Bicara dari hati ke hati, layaknya seorang ayah dengan anak lelakinya. Bukan malah membuat ancaman pada Mom, bahwa dia akan kembali ke tanah kelahirannya. Jika perihal ini, dirunut dengan panjang, jauh dan jauh ke masa-masa dahulu, seketika aku ingin membentak-bentak Dad.
Menganggap aku seperti bocah balita yang tidak tahu apa-apa, memangnya itu membantu? Logikanya, jika dia pulang tanpa berencana kembali, memangnya bisa semudah membalikkan telapak tangan? Satu contoh saja, untuk apa dulu sekali dia mengubah status kewarganegaraan? Kalau bukan demi Mom? Untuk apa puluhan tahun ada di sini, bahkan hingga anak-anaknya tumbuh dewasa di sini? Dad ternyata tidak cukup cerdas membuat alasan.

Lupakan sejenak masalah-masalah itu. Aku ingin menghilangkan penat di kepala. Menyegarkan tubuh dan pastinya mengisi perut yang terutama.

“Jadi, kau sudah menemukan apa saja sekian hari ini?”

Mom, seperti biasa mulai menata makanan di atas meja. Setelah semua siap, kami santap makan malam bersama. Dengan obrolan yang hampir sama. Sekali-kali berbelok ke pembahasan lain. Gosip seputar artis. Rumor tentang para pesohor. Khas ibu-ibu.

“Masih seperti puzzle besar, Mom. Aku belum punya bayangan. Jadi, sementara ini, aku hanya mencari, menambah dann memasukkan segala jenis info, ilmu, pengetahuan ke kepalaku ini. Otakku masih proses input data.” Jawabku setelah menelan makanan, lalu mendorongnya dengan air minum.

“Omong-omong, dengan temanmu yang kemarin sudah ketemu lagi?”

Mom beralih topik. Seperti biasa dengan cepat. Aku cuma menjawab dengan gelengan kepala. Teringat, usai pertemuan di dalam bus trans, aku sempat mencoba menghubunginya. Maksudku ingin bertanya apa dia sibuk misal aku memintanya bertemu di satu tempat? Panggilan masuk, tetapi tak ada respons. Tentu saja, aku mesti tahu diri. Jangan sampai dia mengira aku yang ngebet banget ingin bertemu dengannya. So, aku belum melakukan apa-apa lagi.

Mom tampak seperti kecewa. Menggerakkan kepalanya dengan bibir yang mengerucut.

“Memangnya kenapa, Mom? Kok, malah Mom seperti nge-fan dadakan sama dia?”

Aku mencoba menggoda Mom. Dan dia malah malah menganjur napas dengan berat.

“Lusa—” Mom membuat jeda, “mungkin kamu bakal sendirian lagi. Mom mau pulang.”

“Serius? Akhirnya. Yeaaay!” Aku mengepalkan tangan, meninju udara.

“Kamu sesenang itu? Serius?” Mom menatapku, tanpa berkedip, dengan bola mata yang diperbesar. “Ahh, sedihnya. Mom jauh-jauh ke sini kepikiran kamu, lho, Cliff. Eh, kamu selega itu kalau Mom pulang.”

Sebelum TelanjurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang