00: Us, and Our Creator

418 56 8
                                    

Tatkala pagi menyongsong selagi arunika merengkuh bumantara, sudah semestinya para insan yang telah terjaga bersiap menyambut hari yang akan segera bergulir. Masing-masing akan terbuai dengan motivasi sendiri-sendiri, atau paling tidak, menempatkan diri pada situasi konsisten yang barangkali telah mendarah daging.

Seharusnya semua berjalan dengan baik. Pagi yang tenang, damai, dan menyegarkan. Akan tetapi, sepertinya hal ini tidak berlaku pada sebuah kantin yang agaknya sudah dirundung sial padahal hari baru dimulai.

Siapapun akan percaya kalau ada yang mengatakan baru saja terjadi badai topan di tempat itu. Bagaimana tidak? Kursi dan meja kantin yang berserakan, ibu petugas kantin yang meringkuk ketakutan di pojok gerai, dan beberapa orang berseragam tergeletak babak belur di tengah lantai dingin. Keadaan yang sudah lebih dari cukup untuk mengundang perhatian para siswa yang baru tiba di sekolah.

Namun hal yang lebih menarik perhatian ialah empat pemuda yang berdiri dengan tenang, mengabaikan penampilan kacau mereka. Salah satu personel pemuda berambut merah, berdiri berhadapan dengan pemuda lain berambut salju yang memaparkan mimik tegas.

"Sakatan," panggil pemuda salju itu serius, "bisa kau jelaskan apa yang terjadi di sini?"

Pemuda berambut merah yang disebut 'Sakatan' itu menyengih, kemudian dengan santai menanggapi, "Bersih-bersih sampah di pagi hari, lah. Kok, kamu marah-marah begitu, Mafu?"

Reaksi yang diberikan pemuda berasma Mafumafu itu cukup menyetrum tengkuk; tenang, namun sorot matanya memancar ketegasan. "Kita memang sahabat, tapi bukan berarti aku akan diam saja melihatmu berbuat seenaknya seperti ini. Setidaknya—"

Bugh!!

Satu pukulan yang membuat Mafu terhuyung itu sukses menghebohkan para penonton. "Dia memukul Ketua OSIS!" adalah kalimat yang terelukan pada kondisi seperti itu. Tak sedikit pula yang mengutuk tindakan nekat si surai merah. Tentu Sakata hanya diam. Berlagak mengorek telinga, bersikap tak acuh pada kalimat makian yang ditujukan padanya.

"Bisanya ngomong saja. Yang berani maju, dong, sini!"

Tentu saja kalimat itu mendapat respon oposisi. Seketika riuh ramai menjadi senyap. Bukan perkara yang pelik kalau tak seorangpun berani menantang sang pembangkang.

Asin, sepertinya bagian dalam mulutnya berdarah. Mafu mengusap pipi yang memar akibat bogem sang sahabat selagi kembali berdiri. Saat itulah sepasang manik mereka yang sama-sama semerah delima bertemu. Tetapi itu tak lama, karena tatap sinis Sakata memutus kontak visual mereka yang intens.

"Ah, sudahlah," pemuda itu melenggang pergi, "ayo, Ura-san, Maashi, Senra. Moodku jadi jelek pagi-pagi begini."

Dan dengan perkataan itu, tinggalah si albino berdiri disana. Empat pemuda yang baru saja memporak-porandakan kantin tak membutuhkan waktu lama untuk menghilang dari tempat kejadian perkara. Tentunya, tanpa membereskan masalah yang baru saja mereka perbuat.

Para siswa yang simpati segera menghampiri sang ketua OSIS untuk sekadar menanyakan apakah ia baik-baik saja atau butuh diantar ke UKS. Dengan baiknya Mafumafu hanya terkekeh kecil, mengumumkan bahwa dirinya baik-baik saja dan segera mengajak beberapa orang untuk membereskan kekacauan di kantin itu.

"Ngga nyangka banget, ya, grup empat orang itu bertindak kayak gini."

"Parah banget nggak, sih? Mereka bahkan lebih parah dari preman-preman sekolah!"

"Eh, kau ngga tahu? Katanya grup preman sekolah kita udah dibabat sama mereka, jadi sekarang preman sekolah pun takut sama mereka!"

"Hih, seram, ya!"

"Kasihan ketua OSIS... padahal kalau tidak salah, yang bernama Sakata itu sahabat Ketua OSIS sejak kecil. Urata juga mantan teman satu SMP-nya Wakil Ketua OSIS, kan? Ini 'mah, namanya air susu dibalas air tuba!"

The Phantomic Theatre [USSS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang