"Yang bener aja lo!" sahut Nadya tidak terkontrol. Setengah kaget dan setengah emosi. Perasaan yang dirasakan Nadya tidak menentu. Gadis berambut pirang itu bahkan sampai bangkit dari tempat duduknya saking terkejut dengan hal yang dikatakan sahabatnya itu.
"Sst! Nad, pelanin suara lo!" pinta Hanah sambil berbisik.
Nadya yang tersadar, menoleh ke kanan dan kirinya. Banyak tatapan yang didapatkannya gara-gara berteriak tadi. Nadya tersenyum salah tingkah, merasa malu. Akhirnya, dia duduk kembali di kursinya.
"Elo serius, Han?!" tanyanya. Kini dengan suara yang lebih pelan.
Hanah menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan Nadya. Seketika wajah Nadya terkejut, namun dia hanya diam. Lebih tepatnya tidak bisa berkata-kata. Terlalu syok mendengar kabar yang bagai petir di siang bolong itu.
"Siapa calonnya?" Setelah diam selama beberapa saat, akhirnya Nadya membuka suara lagi.
"Sam, sahabat masa kecil yang waktu itu pernah gue ceritain ke lo," jawab Hanah. Wajahnya menunjukkan ekspresi bersalah karena sahabatnya itu terlihat kesal.
"Oke, setidaknya bukan random man," ucap Nadya sambil menghela napasnya panjang. "Gue ya ngerasa lega karena dia sahabat masa kecil lo. Soalnya selama ini lo nggak ada dekat dengan siapapun kan."
"Tapi gue ngerasa lo nggak adil karena nggak cerita hal sepenting ini ke gue. Padahal kita uda temenan lama, nggak cuma berapa bulan doang lho," lanjut gadis berambut pirang itu lagi. Beginilah Nadya kalau dia merasa kesal. Omelannya bakal mengalir bagai air sungai yang deras.
Satu hal yang Hanah tahu, kalau Nadya mengomel panjang lebar, itu artinya dia peduli. Mau tak mau, gadis itu tersenyum lebar. Walau sedang dimarahi, tapi dia justru merasa senang. "Thanks, Nad. It means a lot."
Gadis berambut pirang itu menggeleng-gelengkan kepalanya menanggapi Hanah. Dia meminum es jeruk pesanannya yang baru saja datang. Sesudah menenangkan perasaannya, Nadya kembali buka suara.
"Nah, sekarang giliran lo. Tolong ceritain ke gue apa yang terjadi selama lo di rumah. Tadi lo bilang 'ada' sesuatu, kan?" tanya Nadya.
"Oh..." Sesaat Hanah terlihat bimbang dan enggan bercerita. Nadya diam sambil menunggu Hanah dengan sabar. Akhirnya, setelah mengumpulkan keberaniannya untuk cerita, Hanah membuka mulutnya kembali.
"Kakak tiri gue ternyata masih sama, Nad. Dia belum berubah sedikit pun..." Hanah berhenti sejenak untuk menarik napas. "...tiap kali dia dekat gue, dia selalu berusaha nyari kesempatan buat kontak fisik. Hal itu..."
Hanah menarik napasnya kembali. Kedua matanya terlihat berkaca-kaca. Lagi-lagi rasa mual mulai muncul dari perutnya. Dia menutup mulutnya dengan jari-jari tangan kanan. Diam untuk beberapa saat agar rasa mual dan jijik itu mereda.
Nadya maju dan merangkul pundak sahabatnya itu. Dia menepuk-nepuk punggung Hanah, berusaha menenangkannya. Kedua alisnya berkerut dalam. Dia jadi merasa menyesal telah menanyakan hal itu. "Lo nggak usah lanjutin, Han. Gue minta maaf udah maksa lo buat cerita," ucapnya pelan.
Gadis itu merasa marah karena Hanah harus mengalami ini semua. Sahabatnya itu layak mendapatkan yang terbaik. Tetapi, kakak tiri Hanah, Pram Setiabudi itu membuatnya merasa marah. Jika hal ini terbongkar, pihak yang menanggung kerugiannya adalah Hanah. Belum lagi, pasti keluarganya pun juga akan kena dampaknya. Entah reaksi seperti apa yang akan ditunjukkan papa dan mama Hanah.
Hanah menggelengkan kepalanya pelan. Wajahnya terlihat lelah. Air mata perlahan menetes dari sudut matanya. Dia cepat-cepat menarik tisu lalu mengelap air matanya itu. "Gue udah janji bakalan cerita dan elo yang paling tahu keadaan gue, Nad. Jadi... gue bakal terus cerita sama lo."
Nadya mengangguk. Dia mendengarkan dengan serius kata-kata Hanah. Tentang rasa jijik yang dia rasakan, tentang rasa sedih karena masalah ini membuatnya jauh dari kedua orang tuanya.
"...sampai satu titik, gue berpikir, saat Sam menawarkan ke gue pernikahan ini, di situ rasanya gue melihat tiket emas untuk keluar dari rumah keluarga, Nad," lanjut Hanah.
"Tunggu, berarti pernikahan antara lo dan Sam itu bukan atas dasar cinta, tetapi atas dasar kesepakatan bersama?" Nadya menyela tiba-tiba.
"Iya, dia dengan alasan supaya bisa ditunjuk menjadi penerus bisnis keluarga, sedangkan gue dengan alasan supaya bisa keluar dari rumah," jelas gadis berambut panjang sepunggung itu.
Nadya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Lo tahu, Han? Gue speechless! Ini sama aja dengan pernikahan kontrak dong!?" ujarnya. Entah harus senang atau sedih saat mendengarkan situasi Hanah, Nadya sudah tidak tahu lagi perasaan yang dia rasakan seperti apa!
"Ya, memang benar. Kami bahkan menandatangani perjanjian di atas kertas yang berisi syarat dari masing-masing pihak. Lalu perjanjian itu disaksikan pengacaranya," kata Hanah.
Sahabat Hanah itu hanya menghela napas panjang. Dia memutuskan buat memasukkan makanan ke dalam mulutnya supaya tidak mengeluarkan kata umpatan. Makanan di atas meja terasa agak dingin karena mereka terlalu asyik bercerita. Tapi, Nadya tidak mengomel apapun tentang hal itu. Saat ini pikirannya dipenuhi dengan penjelasan Hanah. Lebih tepatnya, dia masih berusaha mencerna hal ini secara perlahan.
Sesudah piring di atas meja kosong, Nadya baru merasa bisa berpikir. Oke, setidaknya, hal bagusnya adalah Hanah nggak perlu kembali ke rumah itu lagi. Dia juga masih bisa mengunjungi kedua orang tuanya. Yang jelas dia akan lebih jarang, bahkan tidak akan bersinggungan sendirian dengan Pram Setiabudi.
"Lalu, cerita tentang masa kecil lo dengan Sam, dia seperti apa?" Nadya menanyakan itu untuk mencari tahu tentang sikap Sam terhadap Hanah.
"Dia adalah orang yang pundaknya selalu gue pinjam, Nad. Elo tahu kan nyokap gue cerai dengan bokap kandung gue." Jawaban Hanah seketika membuat otot-otot tegang di wajah Nadya melonggar.
"Dulu sebelum perceraian terjadi, kami tinggal di sebuah kompleks perumahan. Nah, Sam adalah tetangga gue. Rumah kami persis sebelahan."
Hanah jadi teringat akan masa lalunya saat dia masih berusia tujuh tahun. Saat itu dia baru saja resmi menempati kamarnya sendiri di lantai dua. Kamarnya mempunyai balkon kecil. Lucunya, balkon itu jaraknya sangat dekat dengan balkon rumah tetangganya. Sesudah beberapa minggu, barulah dia sadar bahwa itu adalah balkon kamar Sam.
Dari cerita Hanah tentang masa kecilnya bersama Sam barusan, Nadya bisa menduga Sam adalah sosok yang mempedulikan Hanah. Walaupun mereka sempat berpisah sepuluh tahun, ia hanya bisa berharap laki-laki itu akan menjaga Hanah, setidaknya selama mereka dalam hubungan pernikahan. Kekhawatiran yang dia rasakan mulai menguap perlahan.
"Sam orangnya bisa dipercaya, kan?" tanya Nadya lagi.
"Gue merasa masih begitu. Interaksi beberapa kali dengan dia membuat gue banyak nostalgia masa kecil kami," jawab Hanah tanpa ragu.
"Lo juga udah cerita ke dia tentang keadaan rumah lo?" Nadya tidak bisa untuk tidak bertanya.
Butuh beberapa saat hingga akhirnya Hanah menjawab, "Nggak, dia belum tahu." Wajah gadis itu kembali murung. "Gue takut dia bakal merasa jijik sama gue, karena apa yang gue pernah alami, Nad."
Nadya paham maksud Hanah. Sebagai perempuan, dia bisa merasakan apa yang sahabatnya itu rasakan. "Sini gue mau peluk lo dulu." Nadya mengulurkan kedua tangannya lalu merengkuh tubuh sahabatnya itu dalam sebuah pelukan erat. "Yang bisa gue bilang sekarang hanyalah, congratulations buat pernikahan lo, Han! Gue harap lo bahagia apapun keputusan lo!"
Hanah merasakan tepukan pelan di punggungnya. Rasa hangat ini membuatnya bisa tersenyum kembali. Dia memejamkan kedua matanya perlahan. "Thank you so much, Nad. Gue bersyukur punya lo sebagai sahabat gue," ucapnya tulus.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Behind Marriage (Completed)
RomanceBagi Sam, Hanah adalah alat yang ia perlukan untuk membuat kakek memilihnya menjadi penerus bisnis keluarga. "Buktikan pada kakek bahwa kamu bisa membentuk sebuah keluarga. Dengan begitu, kakek akan membuat kamu menjadi penerus satu-satunya bisnis k...