Chapter DCCLXIX

1.4K 395 13
                                    

Hujan di luar masih berlanjut, begitu juga dengan gemuruh yang saling bersahut memecah kesunyian. Mataku berpaling kepada Sabra yang telah kembali duduk setelah menyalakan beberapa obor di dalam ruangan, “apa kalian menemukan sesuatu yang penting di sana?” tanyaku sambil memandang Bernice dan juga Lux yang tengah fokus membaca.

Bernice menguap lalu mengangkat tangan kirinya, menggaruk rambut ikalnya, “kalau yang kau maksudkan itu, nama-nama seseorang dan asal mereka. Aku sudah menemukannya … Banyak sekali,” ungkapnya dengan memundurkan sedikit punggungnya bersandar pada kursi yang ia duduki.

“Bagaimana denganmu Lux?”

Lux menggeleng sembari membaringkan tubuhnya ke atas buku yang sedang ia baca, “aku sudah memeriksa beberapa buku. Semuanya sama, hanya berisi nama, usia, dan asal kerajaan … Beberapa dari buku itu juga terdapat alasan kenapa para perempuan itu berakhir dieksekusi,” sahut Lux bersambung dengan helaan napas.

“Buku-buku yang aku baca pun juga sama. Sepertinya, kita tidak akan menemukan sesuatu di sini,” tuturku yang juga ikut menyandarkan punggung ke kursi.

“Aku lelah dan juga lapar! Aku akan beristirahat terlebih dahulu … Kita akan bergantian untuk berjaga malam ini!” perintahku yang dibalas anggukan oleh mereka secara bergantian.

______________.

Aku menghela napas sambil menatap ke luar jendela. Hujan telah berakhir, dan pagi pun menjemput. “Sachi!” Suara Sabra membuatku harus menoleh kepadanya.

Dia berdiri dengan menjulurkan sebuah buku bersampul cokelat ke arahku, “saat kau tidur. Aku menemukan buku ini, di dalamnya bertuliskan nama-nama Pendeta yang tersebar di beberapa tempat,” ungkapnya tanpa berkedip menatapku.

Aku meraih buku tersebut lalu membukanya, “aku pikir kau hanya mengerti Bahasa Kami … Aku tidak menyangka, jika kau juga bisa membacanya Sabra,” sahutku setelah membaca beberapa baris kalimat yang ada di buku tadi.

“Kakekku, seorang Kesatria yang pernah melayani Kaisar. Nenekku pernah menceritakannya kepadamu dulu.”

Bibirku sedikit terbuka, “aku baru mengingatnya kembali,” ucapku sambil menutup buku itu lagi.

Aku menunduk, membuka tas lalu memasukkan buku tadi ke dalamnya, “ini sangat berguna untukku. Kerja bagus, Sabra,” sambungku sembari turut melemparkan senyum kepadanya.

Mataku berpaling kepada Bernice yang berdiri tertunduk, “apa kalian telah selesai bersiap?” tanyaku hingga membuatnya menoleh.

“Dia akhirnya mati. Kemarin sore dia masih bernapas. Apa kita akan membiarkannya membusuk di sini?” tukas Bernice seraya menunjuk ke arah kakinya.

“Apa kau ingin menguburnya? Seharusnya kau mengobatinya saja semalam, dibanding membiarkannya mati jika saja kau ingin menolongnya.”

“Hah!” Bernice menyergah ucapanku diikuti kedua kakinya yang juga turut berjalan menyusulku keluar dari ruangan itu.

“Kita akan pergi ke Kerajaan Il setelah ini. Ada temanku di sana dan aku ingin bertemu dengannya,” ungkapku dengan terus berjalan menuruni tangga.

__________.

Perjalanan kami kembali berlanjut … Satu pekan lebih sudah kami pergi dengan menumpang di tubuh Kou, walau sekali-sekali kami akan berhenti hanya untuk sekedar mengisi perut dan melakukan hal yang lain. Ekor Kou yang melingkar di bawah dadaku, menurunkan tubuhku dengan sangat pelan dari punggungnya.

Aku berdiri dengan tangan kanan bersandar di tubuhnya. Mataku kurang bisa menatap apa saja yang ada di depan kami … Gelapnya malam, membuat pandanganku menjadi terbatas. ”Setelah kau menurunkan mereka. Kau boleh kembali untuk beristirahat! Aku tahu, kau lelah karena sudah berkerja tanpa henti memenuhi perintahku … Terima kasih,” ungkapku sambil mengusap kulitnya yang sedikit bersinar oleh pantulan sinar bulan.

“Seseorang datang!”

Peringatan singkat dari Lux, membuatku meningkatkan kewaspadaan. Aku masih terdiam, disaat sebuah titik cahaya berjalan mendekat dan semakin mendekat hingga cahaya tadi membesar. “Sa-Sachi!” Panggilan dari suara yang sudah begitu kukenal itu, menjadikanku bernapas lega.

Seorang laki-laki berdiri mematung dengan sebuah obor menyala di tangannya. “Danur, apa aku boleh singgah ke sini?” tanyaku kepadanya yang terlihat sedang mengatur napas.

Dia menoleh ke arah Kou lalu mengangguk setelah memandangnya, “te-tentu. A-aku, a-akan me-menyiapkan se-semuanya,” sahutnya sambil mengangkat tangan kanannya.

“Terima kasih,” jawabku singkat sebelum berjalan melewatinya.

Kami berjalan secara beriringan, dengan Bernice dan juga Sabra yang mengikuti di belakang, “kau terlihat semakin dewasa setelah lama tidak bertemu, Danur,” ucapku memecah kesunyian.

“Ka-kau pun sa-sama, Sa-Sachi,” tuturnya membalas ucapanku.

__________.

Aku menoleh ke arah pintu, memerhatikan Sabra yang tengah berdiri membuka pintu tersebut. Kuletakkan sisir di tanganku itu ke meja rias setelah seorang laki-laki berjalan masuk, “Yang Mulia, memanggil Putri untuk menghadiri santap malam,” ucap pelayan laki-laki yang diperintah Danurdara untuk melayani kami.

“Baiklah. Aku akan segera ke sana,” ungkapku hingga membuat pelayan tadi berjalan mundur meninggalkan kamar.

Aku kembali berbalik memandangi cermin di meja rias. Kurapikan rambutku hingga menutupi pundak yang sedikit terlihat oleh gaun yang kukenakan. Aku beranjak meninggalkan meja rias tadi setelah melakukannya, “sudah lama sekali rasanya. Aku tidak merasakan kemewahan,” gumamku seraya terus melangkah melewati Sabra yang masih berdiri di dekat pintu.

Langkahku terus berlanjut, mengikuti pelayan tadi yang membawa kami ke sebuah ruangan tanpa pintu. Setelah memasuki ruangan tadi … Tampak terlihat sebuah meja panjang penuh akan makanan, dengan Danurdara dan juga Wasfiah yang duduk menanti di sana.

“Sa-”

“Ti-tidak pe-perlu me-melakukannya, Sa-Sachi!” Perintah dari Danurdara, menghentikanku yang hendak memberikan hormat kepadanya.

“Du-duduklah!” Sambungnya kembali dengan kali ini mengangkat tangan kanannya.

Aku menoleh ke belakang lalu mengangguk ke arah Bernice berserta Sabra, sebelum akhirnya berjalan dan duduk seperti yang dipinta oleh Danurdara. “Teman-temanku, boleh ikut duduk bersamaku, kan?” tukasku memastikan, yang dengan cepat dibalas anggukan olehnya.

“Putri Sachi, suatu kehormatan kau mengunjungi kami kembali.”

Bibirku tersenyum menyambut keramahannya, “aku pun bahagia bisa bertemu denganmu lagi. Bagaimana keadaanmu Ratu Wasfiah?” tanyaku yang membuatnya salah tingkah.

“Wasfiah saja. Seperti dulu kau memanggilku, Putri. Kami baik-baik saja-”

“Hanya panggil aku Sachi kalau seperti itu. Syukurlah, aku senang mendengarnya,” ungkapku memotong ucapannya.

“Silakan, nikmati hidangannya,” tutur Wasfiah dengan kembali tersenyum menatapku.

Aku mengangguk sambil mencelupkan setengah jariku ke dalam mangkuk kecil berisi air yang ada di dekatku, “kalian tahu, aku selalu menyukai makanan yang disajikan di Balawijaya,” tuturku yang dibalas senyuman dari pasangan di hadapanku itu.

“Se-setelah Wa-Wasfiah me-mendengarmu ber-berkunjung. Di-dia la-langsung ber-bersemangat me-mendatangi da-dapur ke-kerajaan,” ucap Danurdara sambil menoleh ke arah istrinya.

“Aku sangat tersanjung setelah mendengarnya. Apa aku boleh memakannya sekarang? Perutku benar-benar lapar setelah melakukan perjalanan yang panjang.”

“Tentu. Silakan dinikmati! Kalian berdua juga … Silakan dinikmati,” ujar Wasfiah menimpali ucapanku.

“Kalian juga, ikut makan bersama kami!” Aku mengoyak potongan daging di piring, lalu menyantapnya dengan nasi yang kujumput, “lezat sekali,” ungkapku singkat sambil melakukan suapan kedua.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang