9 - Lara yang Serupa Tapi Tak Sama

208 27 8
                                    

...

"Dalam satu dekapan itu, suara dua hati terdengar berdetak seirama sama-sama. Sama-sama luka, sama-sama lara, meski penyebabnya adalah seorang yang berbeda."

...

"Dhy, you okay?"

Seperginya Shandy, Rinaldy mengusap wajahnya kasar. Dia lalu mendudukkan diri di sofa dengan kepala menengadah ke langit-langit ruang sambil memejam. Ragu-ragu gue mendekat, lalu mengambil duduk di sebelahnya.

"Dhy?"

"Dhis ...," Rinaldy memanggil pelan, nyaris berbisik. Tapi gue masih bisa mendengarnya. "can you hug me?"

Gue diam sejenak. Mengamati sosok Rinaldy yang tampak rapuh. Meski agak ragu, gue bergeser mendekat. Lalu mengangkat tangan untuk mengelus lembut bahu Rinaldy sebelum merengkuhnya dalam pelukan. Dalam dekapan ini, gue merasa seperti tengah menikmati lara yang sama.

Punggung dan bahu yang biasa tampil kokoh ini, sekarang tampak dipaksa melemah oleh cinta. Dan gue, si anak sulung yang katanya harus punya hati seluas samudra, kini juga payah karena sebuah urusan pelik bernama asmara.

I feel him. Gue tahu bagaimana rasanya ketika sudah membuat dua utas tali yang disimpul mati, tapi di sisi lain justru tali itu diputus paksa tanpa mengurai simpulnya. Sudah pasti ada ketidakrelaan yang begitu menyesakkan dan menyakitkan.

Gue lihat itu di wajah Rinaldy. Dia tampak begitu tersiksa harus berpisah dengan gadis berperangai lembut bernama Shandy.

Dalam dekapan gue, tak ada sepatah kata yang terlontar dari Rinaldy. Hanya desah napasnya saja yang terdengar begitu berat ketika dihela dan diembuskan. Gue tahu, dia sedang menahan tangis saat ini.

"It's okay if you need to cry. Gue akan pura-pura nggak lihat kalo jagoannya Ayah Jaya lagi nangis," kata gue asal-asalan. Sekarang yang gue rasakan, dia begitu tersiksa sebab emosi yang tertahan.

Dia menarik satu sudut bibir. Singkat. Permukaan kulit bahu gue bisa merasakan itu. Lalu dia berkata, "Thanks."

Setelahnya, Rinaldy menarik diri seolah menunjukkan jika dia enggak selemah itu untuk menangis. Dia lalu menunduk, tidak mau-atau belum mau-berkontak mata dengan gue. Tapi gue masih bisa merasakan jika sorot matanya yang kelam semakin kelam.

"Menurut kamu ... apa hubunganku sama Shandy benar-benar sudah berakhir?" tanyanya masih dengan menunduk, seolah karpet di ruang tamu lebih menarik dipandang daripada wanita cantik di depannya ini.

Gue terdiam sebentar. Mengulang kembali pertanyaan Rinaldy dalam otak seraya menyusun aksara untuk menjawabnya.

"Ng ... jujur, gue nggak tahu kepastiannya kayak gimana karena perspektif orang beda-beda. Tapi menurut gue pribadi, melihat dia yang lebih milih pergi melepas lo atas kemauan dia itu udah nggak ada yang bisa diharapkan. Meskipun dia memilih pergi juga karena lo, artinya dia masih belum bisa atau enggak bisa menerima lo seutuhnya, apa adanya." Gue berujar pelan, berharap Rinaldy menangkap inti jawaban gue dari sisi negatif.

"Tapi, kalau berpikir positif, keputusan dia juga demi lo. Rasa sayangnya yang nggak rela kalau lo nantinya dipandang buruk jika masih berhubungan sama dia, sementara status lo saat ini adalah pria beristri, Dhy," ujar gue selanjutnya.

Dia diam sejenak. Napasnya sudah terdengar teratur, enggak berat seperti tadi. "Begitu, ya? Dia nggak terima apa adanya."

Gue menghela napas panjang. Jadi, dia mengambil pendapat gue yang negatif.

The Freaky WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang