Dimohon untuk membaca part sebelumnya (bagian terakhir aja), biar ingat apa yang terjadi sebelum baca part ini :v
__________
Jangan gunakan kekuatanmu, Kian Santang!
Suara bisikan hadir di telinganya saat itu juga. Energi panas tiba-tiba menjalar dengan cepat, menciptakan percikan api di kedua tangannya.
Trang !!
Kian Santang refleks melempar kedua pedang dari genggamannya sebelum senjata itu terbakar habis. Tubuhnya terhuyung ke belakang, akibat rasa sesak yang teramat menyiksa di dadanya.
"Rayi?!" Pekik Rara Santang seraya menangkap tubuh adiknya yang nyaris menyentuh tanah.
.
.
.Kelopak mata itu terbuka tak lama kemudian. Rara Santang dibuat bingung melihat perubahan wajah sang adik yang tak lagi pucat.
"..yunda, apa yang terjadi?" Tanyanya dengan suara pelan. Mata beriris cokelat itu mengerjap beberapa kali karena penglihatannya yang buram.
"Apa yang terjadi, katamu? Kau baru saja pingsan, bodoh!" Pekik Rara Santang dengan raut wajah kesal.
Kian Santang melepas dekapan yundanya lalu berdiri tegak sambil mengedarkan pandangan. Suasana di tempat latihan itu seketika riuh. Bagaimana tidak, para prajurit terkejut melihat pangeran mereka yang tiba-tiba pingsan.
"..hei ! Ada apa ini?"
Walangsungsang yang baru saja menerobos kerumunan spontan bertanya pada Kian Santang. Diikuti langkah Surawisesa tentunya.
"Apa kau sedang sakit, Rayi?" Tanyanya lagi yang hanya dijawab gelengan oleh sang adik.
"Tidak Raka, sungguh ..." jawabnya kikuk.
Iris mata cokelatnya beralih pandang ke arah tanah. Ia meneliti kedua pedang yang tak sengaja dihempaskannya tadi.
"Alhamdulillah, apinya tak menjalar."
Kurang lebih seperti itu lah yang terucap di batinnya. Ia sempat panik, sebab hulu pedang itu bermaterial kayu yang rentan terbakar api.
Kejadian itu.. Kembali terulang lagi hari ini.
Kejadian di mana ia kehilangan emosi dan kendali, hingga membakar habis seluruh benda yang disentuhnya. Ingat? Rumah-rumah para warga dan kebun milik sang yunda pernah menjadi korbannya.
Semua itu terjadi, ketika ia menyadari adanya energi yang memberontak dalam tubuhnya. Hal itu pula yang membuat kekuatannya selama ini sulit untuk dikendalikan.
Rara Santang berdehem pelan "Kau pasti berbohong. Sudahlah ... jangan memaksa diri jika memang kau sedang tak baik-baik saja."
"Sebaiknya kau istirahat, Rayi. Mari kuantar-" ujar Walangsungsang terpotong.
"Tak perlu, raka. Aku bisa sendiri." Sahut Kian Santang tak lupa menyunggingkan senyum kecilnya, lalu berjalan menjauh dari mereka.
"KALIAN SEMUA, KEMBALI BERLATIH !!" Surawisesa berteriak membubarkan para prajurit yang berkerumun. Ia pun mengajak kedua kakaknya untuk melanjutkan kegiatan mereka kembali.
Sebelum Rara Santang mengikuti Surawisesa, ia sempat mengawasi langkah sang adik yang berlari pergi. Tersirat sinar sendu di netranya pada saat itu juga.
***
"Tuan, bayaran ini tidak cukup untukku !!"
Seorang pria bertopeng menghempaskan kantung kecil berisi kepingan emas. Sedangkan lelaki berkumis yang berdiri di hadapannya hanya tersenyum tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
100 Days
Ficção HistóricaDiberi waktu hidup 100 hari untuk mendapat kebahagiaan, atau menjalani hari-hari penuh ancaman? note: cerita ini hanyalah sebuah karangan, tidak ada sangkut-pautnya dengan sejarah