Jennie dan Naya duduk di kamar milik Jennie. Naya mengintrogasi Jennie. Meminta penjelasan mengenai apa maksud dari peristiwa mengagetkan tadi.
"Serius, Nay. Gue ngga tau dia muncul dari mana. Tau tau udah tidur disamping gue, gue aja kaget." jelas Jennie berulang kali.
Naya mengacak rambutnya, "Ini tuh ngga masuk akal Jen."
"Iya tau, gue aja masih ngga percaya. Tapi mau gimana lagi itu yang terjadi, Nay."
Naya menatap Jennie, "Terus gimana selanjutnya?"
Jennie menggeleng, ia pun tak tau mau diapakan Alva setelah ini.
"Kita tinggal disini aja kali ya?" usul Jennie ngelantur.
Naya langsung memberikan geplakan dipaha Jennie. "Apasih Nay?" protes Jennie mengusap pahanya yang sakit.
"Yakali ditinggal disini."
"Terus gimana?"
Naya mengangkat bahunya tak tau juga. Jennie mengendus kemudian rebahan di ranjang menatap langit langit.
"Elah, kenapa jadi ribet banget sih?" erang Jennie kesal.
—
Sedangkan di luar villa Derrel dan Alva duduk di kursi tanpa saling bicara. Derrel membumbungkan asap rokok keudara. Alva menatap langit yang sedikit mendung hingga menimbulkan udara menjadi sejuk.
"Lo udah lama pacaran sama Jen?"
Alva menoleh melihat Derrel yang telah menginjak putung rokoknya. Alva mengangguk, "Lumayan."
Begitu kata Jennie jika ditanya lama mereka pacaran. Jennie sudah menjelaskan beberapa hal jika ada yang menanyai Alva nanti.
Derrel mengangguk, "Kenapa?"
"Apanya yang kenapa?" tanya Alva bingung.
"Kenapa pacaran sama Jen? Karena dia kaya, tenar, cantik?" Derrel menjeda ucapannya, ia menatap Alva, "Atau karena tubuhnya?"
Ekspresi Alva lalu berubah dingin, "Apa maksudmu?"
Derrel mengangkat bahunya acuh, "Siapa tau lo cuman mau main main sama Jen. Main ranjang misalnya."
Alva langsung berdiri dan mencengkram kerah kemeja putih Derrel. Rahangnya mengeras, tatapannya menajam bahkan cengkaramannya sangat kuat.
"Jaga ucapanmu." desis Alva tak terima.
Peraturan penting dalam hidupnya adalah tidak boleh ada yang menjelek jelekan Jennie. Siapapun itu, ia tidak akan melepaskannya dengan mudah.
Derrel tersenyum remeh melihat Alva. "Kenapa? Apa bener kal—arghh."
Satu bogeman mendarat di wajah tampan Derrel hingga tersungkur dilantai. Emosi Alva telah mencapai ubun ubun hingga tak bisa mengontrolnya lagi.
"Jaga ucapanmu."
Derrel menyeka ujung bibirnya yang berdarah. Ia berdecih kemudian bangkit untuk membalas Alva. Mereka terlibat pertengkaran yang membuat Jennie dan Naya buru buru keluar.
Jennie menatap tak percaya begitupun Naya. Segera Jennie memisahkan Alva dan Derrel dibantu Naya. Jennie menarik mundur Alva dengan cara mendekap tubuhnya dari belakang.
Ia juga takut kena pukulan nyasar dari dua laki laki ini. Jennie mengeluarkan seluruh tenaganya menarika mundur Alva yang tenaganya begitu besar. Ia membawa Alva untuk masuk kedalam, mengurungnya didalam kamar.
Jennie terengah menatap Alva yang menundukkan kepala tak ingin menatap matanya.
Jennie menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. Jennie mengambil p3k di dekat pintu dan membawanya duduk disebelah Alva.
Tanpa mengatakan apapun Jennie menarik tubuh Alva hingga membuatnya menghadapnya. Jennie mengambil kapas dan memberikan sedikit alcohol di atasnya. Ia membersihkan luka yang ada di wajah Alva.
Alva mendesis ketika kapas itu menyentuh luka lukanya yang terasa perih. Tapi Jennie tak perduli terus meneruskan kegiatannya tanpa bicara sepatah apapun. Alva merasa semakin bersalah.
Jennie kemudian mengoleskan salep luka. Tangan Jennie dihentikan Alva, "Jen." panggil Alva lirih.
Tak menjawab panggilan Alva, Jennie terus melanjutkan mengoleskan salep.
"Jen marah ya sama Alva?"
Gerakan Jennie berhenti menatap Alva. "Kenapa harus marah?" tanya Jennie tanpa berniat menjawab pertanyaan Alva.
Alva menunduk, "Karena Alva mukul temen Jen."
"Tapi dia dulu yang mulai Jen. Dia bicara yang nggak baik tentang Jen." lanjut Alva menahan emosinya agar tidak meledak lagi.
Jennie menyentuh tangan Alva yang mengepal kuat hingga perlahan tangan itu kembali rileks. "Derrel ngomong apa emangnya?"
Alva menoleh, "Dia bilang..."
Tidak, Alva tidak bisa mengatakannya. Ia tak ingin melihat wajah kecewa Jennie mendengar temannya sendiri mengatakan hal buruk padanya. Tidak, Alva tidak ingin itu terjadi.
"Bilang apa?" tanya Jennie karena Alva tak kunjung melanjutkan kalimatnya.
Alva menggeleng, "Pokoknya bilang yang bikin aku marah, Jen."
Alva langsung mesuk kedalam pelukan Jennie.
"Sembarang peluk aja sih."
—
Di depan villa Naya mengobati luka Derrel dengan hati hati. Ia menatap ngeri pada luka luka diwajah Derrel yang lumayan parah.
"Pelan pelan Nay." Derrel protes kerena lukanya ditekan oleh Naya.
Naya mengendus jengah. Sejak tadi ia sudah pelan pelan tapi Derrel masih saja protes. "Salah sendiri kenapa malah berantem sampe kaya gini."
Derrel menahan tangan Naya yang lagi lagi menekan lukanya. "Sakit Nay."
Naya menarik tangannya dari Derrel. "Lagian kenapa si kalian berantem. Kalian bukannya batu kenal kenapa kaya udah ada dendam pribadi si?" tanya Naya tak habis pikir.
Derrel tekekeh, "Urusan laki-laki Nay, kepo banget."
Naya merotasi bola matanya kesal. "Serah deh serah."
Naya memberesi kotak p3k yang baru saja ia gunakan. Ia menatap Derrel yang memegang sudut bibirnya yang sobek.
"Rel, mau pulang kapan?"
Derrel menoleh, "Ngusir secara ga langsung nih?"
"Bukan Rel, nggak git—"
"Gue tau, besok siangan lah."
Naya mengangguk paham. Ia berdiri berniat untuk masuk karena udara semakin dingin saja.
"Nay tunggu."
Naya menoleh melihat Derrel, "Kenapa?"
"Jennie udah lama pacaran?"
Naya mengangguk, "Lumayan sih, kenapa?"
Derrel menggeleng mentap Naya, "Nggak apa, lo masuk aja duluan."
Naya mengangguk berjalan kembali untuk masuk kedalam villa. Tapi tak lama kepalanya muncul di pintu mengintip.
"Jangan lama lama, makin dingin nanti bisa masuk angin."
KAMU SEDANG MEMBACA
but it's you
FanficCastil tua ditengah hutan yang ditemukan Jennie membuat segalanya berubah. Berawal dari liburan yang ia rencanakan secara mendadak tapi berakhir sangat menyebalkan. Entah dari mana datangnya laki laki tampan yang terus menempelinya bahkan pergi ke k...