Chapter DCCLXX

1.3K 426 20
                                    

Aku berjalan menyusuri lorong istana, lalu berhenti setelah bertemu dengan sosok Danurdara yang tengah berjalan sambil berbincang bersama beberapa laki-laki di sekitarnya. Aku membungkukkan sedikit tubuhku sesaat rombongan mereka menghentikan langkah di depanku, “Raja, apa aku bisa merundingkan sesuatu denganmu?” tuturku setelah kembali beranjak.

Danurdara mengangkat tangan kanannya hingga beberapa laki-laki di belakangnya membungkuk lalu berjalan pergi. “A-apa ya-yang i-ingin ka-kau di-diskusikan, Sa-Sachi?” Dia balas bertanya sambil berjalan semakin mendekatiku.

Aku melirik ke ujung mata, berusaha untuk memastikan keadaan. “Dari dulu, aku selalu ingin menanyakan hal ini kepadamu, Danur,” ungkapku sembari melangkah mendekati pagar batu dengan tinggi hanya sepinggang di samping kami lalu mendudukinya.

“Kenapa kau melakukannya? Maksudku, kau dapat berbicara seperti biasa seperti kami, bukan?” tuturku kembali, dia terlihat sedikit terkejut disaat aku mengatakannya sambil menjatuhkan lirikan kepadanya.

“A-apa ya-yang ka-kau ma-maksudkan, Sa-Sachi?”

Aku menoleh ke belakang, menatap langit yang ada di sana, “pertama kali kita bertemu, bukankah kau mengucapkan semua kata-kata tanpa terbata-bata seperti sekarang? Apa yang aku katakan ini salah?” tukasku seraya menjatuhkan lagi pandangan kepadanya.

“Apakah ini berhubungan dengan Kakakmu, Adinata? Aku akan sangat bahagia jika kau memercayaiku, Danur.”

Danurdara hanya terdiam setelah kata-kataku selesai. Dia menunduk dengan sangat lama sebelum menghela napas dan kembali menatapku, “aku hanya tidak ingin bersaing dengan Kakakku. Dulu, saat kami masih kecil … Aku selalu dijauhi dan tidak dianggap sebagai Pangeran karena kebiasaanku yang suka tiba-tiba ketakutan oleh kutukan-kutukan yang kurasakan di sekitar.”

“Hanya Kakakku, yang menerima keadaanku saat itu … Karena itulah, aku menghormatinya. Aku tidak ingin membuatnya beranggapan kalau aku adalah saingannya, sebisa mungkin aku akan membuat semua orang hanya melihat kekuaranganku saja,” ucapnya yang turut berjalan lalu duduk di pagar yang sama.

“Apa kau bahagia melakukannya?”

Dia tersenyum sambil menunduk menatapi kedua tangannya yang saling ia genggam, “rasanya sulit. Walau aku Raja, mereka semua meremehkanku karena aku berbicara dengan terbata-bata seperti itu, terlebih setelah aku mengeksekusi Bangsawan-bangsawan yang ada,” ucapnya yang kali ini kembali mengangkat wajahnya.

“Kalian memberikanku kekuasaan ini, tapi sampai sekarang … Aku masih belum bisa memenuhi harapan kalian. Aku masih belum bisa membuat mereka mengakuiku sebagai Raja.”

Danurdara menoleh ke arahku setelah tepukan keras kuberikan ke punggungnya, “kakakku memberikan Il, karena dia percaya dengan kemampuanmu. Dia berkata, Danur hanya terbiasa hidup di balik bayang-bayang Adinata, jika saja dia berusaha lebih keras … Dia akan menjadi Raja yang mumpuni. Lagi pun Danur, jika kau merasa kesulitan. Cobalah untuk meminta pertolongan dari temanmu!” ungkapku yang dengan cepat dibalas senyuman olehnya.

“Bantu aku!”

Aku membuang lirikan menghindarinya sambil tersenyum kecil, “aku tidak memiliki pilihan, kalau kau memintaku seperti itu,” sahutku dengan kembali menoleh padanya.

____________.

Aku duduk sambil menatapi Bernice dan juga Sabra yang tengah belajar dengan seorang laki-laki yang ditunjuk Danurdara sebagai guru mereka. Sudah lewat beberapa bulan sejak aku memutuskan untuk berdiam di Kerajaan Il … Kondisi Kerajaan kian membaik, bahkan Danurdara terlihat semakin disegani setelah dia memutuskan untuk berhenti berbicara gagap.

Aku beranjak lalu berjalan meninggalkan mereka. Kedua kakiku terus lanjut melangkah memasuki kamar yang dipersiapkan untukku. Aku memilih untuk berdiri di depan meja rias setelah menutup kembali pintu. Kulirik bayangan Lux yang terpantul di cermin, aku terus saja melirik kepadanya yang terbang keluar dari balik rambutku.

Aku terpaku menatap wajahku yang terlihat pucat hari demi hari, “Lux, apa kau tidak merasa kalau aku bertambah gemuk?” tukasku sambil memiringkan tubuh memandang seksama tubuh, terlebih lagi perutku.

“Akhir-akhir ini, aku merasa mudah sekali kelelahan-”

“Menurutmu?” sahut Lux ketika dia kembali terbang lalu hinggap di meja rias memandangku.

Aku dan Lux saling bertatap dengan cukup lama, “itu tidak mungkin, walau aku sadar bahwasanya aku sudah tidak teratur dalam beberapa bulan terakhir,” ucapku duduk dengan tangan menyentuh kening.

“Kau tahu, Sachi, semenjak kita melakukan kontrak … Aku sekilas merasakan kehidupan lain di tubuhmu, karena itulah saat di Kuil aku memintamu untuk beristirahat. Aku pikir kau sudah menyadarinya, karena itu aku hanya diam,” ungkap Lux yang membuatku semakin termangu.

“Terakhir kali kami melakukannya, itu ialah saat kita masih berada di Balawijaya. Itu sekitar empat atau lima bulan yang lalu, bukan?”

“Aku terlalu fokus berkerja … Aku benar-benar tidak merasakan tanda-tanda apa pun.”

“Aku tidak menyalahkanmu. Saat kau hamil Huri, kondisimu jauh menyedihkan dari sekarang … Bisa dikatakan, jika kondisimu saat ini terlihat baik-baik saja.”

“Itu karena dulu, Kou sengaja memberikan darahnya lalu Uki juga menyusul untuk memberikan darahnya. Kondisiku saat itu, didasarkan oleh perbuatan mereka,” sahutku membalas ucapan Lux.

“Kau mengirim surat pada Zeki tempo dulu, kan? Apa balasan darinya?”

“Kami kehilangan jejak dari Leshy yang kuperintahkan untuk mengirim surat … Leshy tersebut bukanlah pemimpin yang dikontrak paksa oleh Kou, jadi kami sama sekali tidak bisa melacak keberadaannya.”

“Sesuatu pasti terjadi di sana, kan? Aku selalu mencoba untuk menyakinkan diri bahwa di sana baik-baik saja. Aku selalu mencoba untuk berpikir, mungkin saja Leshy tersebut diserang sebelum sampai ke Yadgar."

"Aku memang memutuskan untuk mengunjungi Yadgar setelah urusanku di sini selesai. Tapi,” ucapku terpotong dikala rasa gusar dengan tiba-tiba menyelimuti tubuhku.

“Tenanglah dahulu! Bagaimana dengan Tama dan juga Shin?”

Aku kembali menoleh pada Lux yang menyahutku, “terlalu jauh.” Tubuhku dengan cepat beranjak lalu berlari meninggalkan kamar, “Elf pasti bisa. Kakek atau Bibi, pasti bisa mengetahui apa yang terjadi di sana,” ungkapku dengan terus berlari mendekati sebuah pohon yang lumayan jauh dari ruang lingkup Istana.

Aku berhenti berlari, napasku kuatur sekuat mungkin sambil tangan kananku terangkat menyentuh pohon di hadapan. “Kakek, apa Kakek mendengarku? Jika iya, aku ingin bertemu,” ungkapku dengan meneguk ludahku sendiri.

Aku berjalan mundur seraya menarik tangan. Bibirku terdiam menatapi pohon yang ada di depanku itu terbelah menjadi dua, “Lux tetaplah di sini dan jelaskan apa yang terjadi kepada Bernice berserta Sabra. Aku akan segera kembali,” sambungku sambil berjalan memasuki pohon yang terbelah itu.

“Sachi!”

Langkahku berhenti diikuti tubuhku yang menoleh ke belakang, ke arah Lux yang terbang menatapku dari sisi yang lain, “aku tahu bahwa kau sedang bingung saat ini. Namun, kupinta untuk tenangkan dirimu!” seru Lux disusul menutupnya gerbang yang membatasi kami.

Aku berdiri terdiam sambil terus menatapi gerbang sebelumnya yang telah berubah menjadi hamparan rumput. “Sachi!” spontan aku menoleh ke arah suara yang memanggil namaku.

Aku memandangnya dengan cukup lama lalu berjalan dan memeluk erat tubuhnya, “Kakek!” bisikku lemah di pelukannya. Kepalaku semakin terbenam di dadanya, disaat Beliau mengusap pelan rambutku.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang