Bab 18

120 26 9
                                    

Aku memarkirkan motorku memasuki halaman kosan Ara. Hal yang belum pernah aku lakukan sebelumnya. Biasanya aku hanya mengantar sampai depan gerbang, tapi hari ini? Aku akan masuk ke kamar anak perempuan. Membayangkannya saja sudah membuat hatiku berbebar.

Ara menyewa sebuah kamar kos di lantai dua yang terletak disebuah gang. Dari luar, aku hanya bisa melihat jendelanya yang bertirai, tertutup karena ada gerbang tinggi yang membatasi parkiran kosan dengan jalan gang. Selama ini aku tak pernah masuk karena kukira bahkan parkiran tidak menerima anak lai-laki.

Aku berjalan pelan di belakang Ara.

"Kakak tunggu disini sebentar!"

"Oke." Aku menunggu Ara tepat di bawah tangga.

Tak lama gadis itu muncul membawa sebuah tas besar.

Aku agak kebingungan karena alih-alih menaiki tangga, gadis itu justru berjalan menuju pintu yang ada di depan tempat parkir. Sebuah pintu ruangan sempit.

Gadis itu merogoh saku hoodie, mengeluarkan sebuah kunci dengan gantungan beruang putih. Begitu pintu dibuka, terpampanglah ruangan sangat kecil beralas karpet tebal. Di dalamnya sangat kososng. Hanya ada sebuah meja pendek dengan kipas angin besar di pojok. Saking kecilnya aku jadi teringat kamar Harry potter yang ada di bawah tangga.

Hal yang menarik perhatianku adalah banyaknya peredam suara yang ditempel memenuhi tembok. Realita menyadarkan fikiranku yang sudah lancang memikirkan kamar anak perempuan saat ini.

"Kak!"Ara, yang sudah masuk ke dalam ruangan kecilnya menatapku yang masih berdiri di depan pintu dengan heran. "Sini masuk, sepatunya dilepas."

Aku tersentak, tersadar dari lamunan. Segera aku berjongkok melepas sepatu lalu meletakannya disebelah sepatu Ara.

Aku duduk bersila di dekat pintu yang dibuka lebar-lebar sementara Ara duduk bersila di depan meja kecil dan mulai menyalakan kipas. Gadis itu mengeluarkan barang-barang dari tas besarnya. Laptop, headphone, microfon, speaker, kabel rol, dan sound card dan merakitnya dengan terampil. Semuanya dia letakan di atas meja. "Keliatannya emang nggak meyakinkan, tapi biasanya aku rekam lagu disini. Repot sih harus bongkar pasang cuma takut aja kalau ditinggal semua disini"

"Bukannya kamu biasa bikin lagu di rumah Jimmy?"

"Disana cuma bisa rekam suara keayboard sama ngedit. "jawab Ara tanpa memandangku. "Kalau rekam suaraku diganguin mulu."

"Ini beneran nggak papa kita rekaman disini?"aku menekankan kata kita. Aku hanya takut Ara terkena masalah karena membawa anak laki-laki malam-malam agak tak wajar untuk anak SMA.

"Nggak papa kok. Dulu ruangan dipake sama tetangga kamarku buat belajar. Tapi anaknya udah lulus."Ara merendahkan suaranya. "Harusnya nggak boleh bawa cowok karena takut... ya gitulah. Tapi nggak papa soalnya yang lain masih pada diluar juga."

Aku menelan ludah. Dengan ruangan sekecil ini, aku bisa membayangkan apa yang bisa terjadi. Daripada memperhatikan Ara yang sedang menyiapkan berbagai peralatan, aku memilih menatap ponselku untuk mengalihkan fikiran yang mulai kemana-mana.

Sepuluh menit berlalu sampai "Oke udah siap."seruan Ara mengagetkanku.

Setelah itu aku tak punya waktu untuk gugup atau berfikiran aneh-aneh. Ara segera menjelaskan bagian mana yang menurutnya kurang. Ternyata ada beberapa part yang berbeda dengan kemauan Ara. Inilah resiko rekaman tanpa produser lagu. Interpretasi kami bisa saja berbeda.

Aku berlatih beberapa kali sampai akhirnya Ara yang dari awal mengamatiku mengangguk siap.

"Hpnya di silent dulu Kak."ujar Ara yang melihat Hpku di atas karpet. Aku menurut lalu memasukkan benda itu ke dalam tas.

Ara menutup pintu, lalu kembali duduk di depan laptop. Mikrofon dia serahkan padaku. Aku bergeser duduk di sampingnya, menerima microfon lalu memakai headphone yang tergeletak di atas meja.

Gadis itu terlihat serius saat memberi intruksi padaku, dan saat mengutak-atik suara yang baru saja aku rekam.

*

Aku sudah selesai rekaman. Hasilnya sudah diperdengarkan Ara dengan speaker dan kedengaran lebih baik. Ternyata perubahan kecil bisa berpengaruh kepada mood lagu.

Headphone sudah kulepas dan mic sudah aku letakan di atas meja. Meski sudah selesai, tapi Ara masih sibuk dengan laptonya. Tersadar dengan keberadaanku yang canggung, dia menatapku. "Oh, kalau kakak mau pulang nggak papa."

"Udah nggak ada yang bisa aku bantu?"

"Ini tinggal aku dengerin beberapa kali lagi terus di mix down."Ara menunjuk laptopnya. "Makasih ya Kak udah mau direpotin."

Aku meraih tasku, lalu berdiri. Sebelum membuka pintu, aku menatap Ara yang kini memunggungiku. "Sama-sama Ra.""aku berdeham sebelum melanjutkan. "Besok ke markas ya Ra, kita latihan band lagi. Kalau ngerasa nggak nyaman sama Theo inget masih ada aku."

Ara hanya tersenyum canggung lalu kembali menatap laptopnya. Aku hanya bisa menghela nafas sebelum meninggalkan gadis itu sendirian.

Langkahku agak berat malam ini. Aku ingin sekali Ara bisa seperti biasa, tapi masih tak tahu bagaimana caranya. Ternyata sulit juga membuat orang lain terbuka dengan kita. Apalagi aku tahu sulitnya untuk menjadi terbuka.

Saat memundurkan motor aku merasakan getaran dari dalam tasku. Aku baru ingat poselku dalam mode getar. Ternyata sudah jam setengah sepuluh malam. Aku menggeser layer ke atas lalu makin menghela nafas saat melihat pesan dari ayahku. 'Jangan bolos les lagi, ibu sudah tahu'.

"Ck" Kalau begini ceritanya, aku tak bisa seenaknya lagi. Padahal di tahun ini untuk pertama kalinya aku tahu rasanya menjadi anak SMA sesungguhnya.

Aku hendak memasukkan ponsel ke dalam tas, tapi pesan lain muncul. Dari Ara. 'Besok aku ke basecamp. Tapi tolong habis itu kakak yang antar aku ke tempat les.'

To be continued

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To be continued ...

Selamat lebaran bersama keluarga dari aku yang kekurung sendirian di kamar kos 😢

ADAGIOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang