14

3.4K 277 7
                                    

Lohaaaa!!!

Fuaaaaah....!!! Akhirnya update jg! Hehe... Sori ya kalo lama. Habis bikin cerita ini ternyata lebih susah daripada bikin cerita fantasy. Kenapa? Karena Chi ngerasa lebih bebas aja di fantasy. Buat Chi loh ya, coz tiap orang kan beda2.

Wokelah, nggak usah banyak cing to the cong, 'met baca aja n thank you for all readers, terutama buat vomment- nya. Bikin Chi semangat buat nerusin meskipun seloooouwwhh update, tehee...

Happy reading! *pemanasan sebelum "perang"*

***===***


Jhon mengendap- endap masuk gedung tua tempatnya menyendiri jika dia sedang sedih, bimbang, atau membutuhkan ketenangan meski hanya sejenak. Masalah yang dihadapinya sekarang semakin serius. Dia tidak menyangka pekerjaannya sebagai bodyguard Max Dirgaputra merupakan jalan yang cukup cepat untuk menguak kasus kematian ayahnya. James ternyata memiliki alasan lain merekrutnya dan Mocha. Bukan hanya karena rekomendasi Tuan Ester.

James tersenyum mendengar suara ringtone ponselnya. Ringtone khusus untuk gadis kecilnya. Stephanie Harlista.

"Halo, Stef?"

"Sudah lama kau tidak menemuiku, Jhon. Kau sangat sibuk, ya?" suara lembut dan kekanakan- karena Stephanie memang masih anak- anak- membuat Jhon semakin merindukan gadis kecilnya itu.

"Untuk sementara aku tidak bisa menemuimu, Stef. Pekerjaanku kali ini sangat serius dan berbahaya. Aku tidak ingin kau kenapa- napa kalau mereka tahu hubungan kita."

"Jadi... jadi kita tidak akan bisa bertemu sampai pekerjaanmu selesai?" suaranya terdengar kecewa.

"Ya. Maaf, Stef. Aku hanya tidak ingin terjadi hal buruk padamu. Aku sangat menyayangimu, Stef."

"Ya... baiklah. Tidak apa- apa. Tapi, kau tidak akan meninggalkanku, kan?"

Jhon mengangguk, meski dia tahu gadisnya tidak bisa melihat anggukannya. "Ya. Aku tidak akan meninggalkanmu, Sayang. " Semoga, tambahnya dalam hati. Dadanya terasa sesak dan nyeri. Dia tahu tidak seharusnya menjanjikan sesuatu yang belum tentu bisa dipenuhi, tapi dia juga tidak ingin membuat gadis itu terlalu mencemaskannya.

"Aku... ekhem...."

Jhon tersenyum lebar membayangkan wajah Stephanie yang tersipu dan salah tingkah di seberang sana. "Aku menyayangimu, Stef."

"A- aku juga. Sampai jumpa... kapan- kapan?"

Jhon terkekeh. "Ya, sampai jumpa... kapan- kapan."

Setelahnya, Jhon hanya diam memandangi foto- foto Stephanie di galeri ponselnya.

Pedofil? Meskipun kesal, Jhon sepertinya harus setuju dengan ejekan Mocha itu. Dia memang sudah gila karena jatuh hati pada seorang anak- anak! Mungkin karena sifat dan sikap Stephanie jauh lebih dewasa dibandingkan anak-anak seusianya? Atau karena paras rupawan gadis itu yang sudah membius dan menjerat Jhon dalam pesonanya? Sekali lihat saja orang-orang pasti akan setuju mengatakan betapa cantiknya gadis kecil itu. Kulitnya yang putih dan mulus seperti porselen, bibirnya yang mungil dan merah alami, tubuhnya yang lebih tinggi dibanding anak seusianya karena dia memiliki darah campuran beberapa negara Eropa yang memang masih sangat kental dalam keluarganya yang rata- rata berbadan tinggi.

Ya, ampuuun!!! Jhon benar- benar merasa dirinya sudah gila! Jatuh hati pada seorang bocah? Yang benar saja! Tapi, dia sama sekali tidak menyesal dan merasa itu wajar- wajar saja. Oke, tidak apa- apa kan menghibur diri sendiri?

***

Bermain catur dengan Max sama saja menunjukkan betapa bodohnya dirimu. Pemuda itu hanya butuh waktu kurang dari tiga detik untuk menggerakkan bidaknya setelah kau mengambil langkah bidakmu. Permainan tak akan bertahan sampai lebih dari lima menit, kecuali karena kau terlalu lama berpikir dan membuang waktu, karena sudah dipastikan Max mengalahkanmu.

My MochaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang