Note: vote dan komen di part ini dong ಡ ͜ ʖ ಡ makasih!
-
Gue mengajak Ning ke rumah setelah selesai belanja dari minimarket. Seperti apa yang gue bilang di sekolah, gue harus ngasih nutrisi dan memantau makanan yang akan dikonsumsi cewek gue. Alhasil ada banyak kotak susu ibu hamil dan berbagai macam multivitamin di kantong belanjaan yang masih tersangkut di motor. Dari luar, mobil Langga nggak kelihatan, tapi pintu terbuka menandakan ada Surya yang mungkin lagi baca buku atau komik—kebiasaannya kalau lagi sendirian. Sebenarnya, alasan gue ngajak Ning karena gue pengin mengenalkannya pada Langga kalau dia pacar gue sekaligus berterus-terang kalau gue udah menanam benih di rahim cewek imut ini. Semarah apa pun Langga, gue akan bertahan dengan prinsip gue.
Gue takut, tapi gue nggak peduli. Toh, gue udah pernah berada di posisi yang paling dibenci Langga. Kalau emang gue bakal dibuang Langga, gue udah siap. Gue bisa hidup sendirian. Gue bakal cari kerja. Gue bakal menafkahi Ning. Neuron di otak gue cuma bisa menstimulasi kalau gue harus bertanggungjawab.
"Gue udah transfer lo dua juta, bangsat! Ngapain lo nagih lagi?! Ya gue bilang bakal ngasih lebih kalau tuh cowok mampus di rumah sakit! Tapi dia masih aman-aman aja sampe sekarang! Langga anjing jadi lebih peduli ke dia! Berhenti ganggu gue lagi, bajingan!" seru Surya dengan kemarahan.
Gue menahan Ning untuk nggak bersuara ketika berada di belakang pintu. Surya lagi menelepon orang dan tanpa harus menebak, gue udah paham arti percakapan Surya dengan yang meneleponnya.
Ternyata Surya yang udah cepuin gue ke Langga dengan membayar Abenk untuk menangkap gambar kami yang lagi ngelukis di dinding gubuk Adi CS.
Ning membekap mulutnya sendiri. Dia kayaknya juga tahu maksud yang dikatakan Surya. Gue cuma mendengus sambil memiringkan kepala, nggak kaget sama sekali. Santai, gue juga nggak bakal marah karena masalah itu juga udah selesai.
Gue mengetuk pintu beberapa kali. Saat Surya muncul dari dalam, dia tersentak kaget. Matanya membola, apalagi ada Ning di sebelah gue.
"Hai," sapa Ning dengan senyum canggung. "Kamu kok nggak bilang-bilang kalau tinggal di sini?"
"Ngapain segala bilang ke lo, Ning? Dia aja nggak ngabarin sama sekali ke gue. Dia juga nggak butuh siapa-siapa juga buat cerita, kan?" Sengaja gue nyindir dia sambil nubruk setengah dadanya. "Yok masuk, Ning. Tunggu gue mandi dulu."
"Hari pertama kelas akselerasi dan lo nggak masuk," kata Surya secara mendadak. "Kalau dua kali lagi lo nggak masuk, lo bakal tereliminasi."
Gue membuka lemari es, mengambil botol cola lalu meminumnya sembari duduk di sofa. "Gue punya kesibukan lain. Lo nggak punya hak ngatur hidup gue."
Surya yang wajahnya memucat—entah karena dia ketakutan kami dengar percakapannya tadi atau karena dia ngerasa ciut kalau ucapan gue tentang dia yang nggak punya teman itu benar—berjalan kaku dan duduk lagi di atas kursi makan. Beberapa buku tebal ada di atas meja.
"Om Langga nggak suka kalau lo nggak pernah serius dengan ucapan lo. Dia bilang lo bakal berubah, bakal jadi anak yang dia kenal beberapa tahun silam, tapi ternyata lo bolos. Dia marah, katanya ucapan lo nggak bisa dipertanggungjawabkan." Surya melirik gue dengan cepat. "Gue... takut kalau lo kenapa-kenapa."
Ning cuma melempar pandang ke arah kami. Sejenak, gue terpaku. Ucapan Surya kayak tulus, dia khawatir sama gue. Gue kenal banget mimik wajahnya kalau lagi cemas.
"Langkah awal gue bahkan udah hancur sejak lo ada di sini." Gue menjawab jujur. Gue benar-benar nggak mood dia ada di sini. Dia mengubah suasana rumah yang awalnya mulai terang kembali mendung dengan gerimis yang nyaris turun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari Sebelum Pagi
Teen Fiction🔞(YOUNGADULT - ROMANCE) Jatuh cinta padamu adalah harap yang selama ini kudamba; berada di dasar hati; diselimuti oleh imajinasi liar yang semakin membara. Kita tahu, seharusnya kita saling mencinta dalam diam saja, tapi ternyata kita tak semudah...