Part 1

23 0 0
                                    

Kriiiiiiiiiing

Suara jam weker berbentuk toko kartun Pikachu berbunyi, bermaksud membangunkan gadis yang saat ini sedang bergelung dibawah selimut. Levina Aprillia, jangan salah walaupun namanya mengandung kata April tapi ia lahir bulan Desember sebelum kembang api meluncur, entah apa motivasi orang tuanya memberikan kata itu dinamanya, saat salah satu sahabat Levi, Lirna menanyakannya Pak Bayu selaku orang tua Levi,ia hanya mengatakan nama itu bagus.

Kembali ke kamar yang masih diisi suara weker yang belum reda, sementara sang putri masih bergelung dibawah selimutnya. Ada sedikit pergerakan dari bawah selimut, Levi berusaha mengembalikan kesadarannya yang dari tadi malam tertidur.

“Aaah” lenguhnya, sembari meregangkan kaki dan tangan sembari meraih jam weker untuk dimatikan.

Masih setengah linglung, Levi beranjak ke kamar mandi, bukan untuk mandi hanya menyikat gigi dan membersihkan wajahnya dengan sabun pencuci wajah. Cuaca diluar yang sedang hujan dan udara dingin membuatnya malas berlama-lama dengan senyawa yang disebut air ini. Setelah mengenakan pakaian dan menyemprotkan sedikit parfum ia sudah siap berangkat bekerja. Kemeja kebesaran dan jeans berwarna pudar menjadi fashion andalannya, ditambah dengan sepatu kets berwarna hijau tua senada dengan kemejanya. Jangan berfikir gadis ini akan berdandan sebelum keluar itu hanya ada dalam khayalan kalian, satu-satunya item kecantikan yang dia miliki hanyalah bedak tabur yang bergambar bayi lucu.

Di umurnya yang ke 23 tahun tidak membuat sosok ini memikirkan kecantikan, yang biasanya dia fikirkan apa yang akan dia makan besok, bagaimana membayar kamar kos yang ia sewa, itu saja yang dia pikirkan. Diumurnya yang 3 tahun, ia telah kehilangan sang Ibu dan diasuh oleh sang Ayah untuk menjadi perempuan tangguh, diumurnya ke 18 tahun saat ia lulus masuk disalah satu pengguruan tinggi, ia kehilangan Ayah sekaligus mimpinya secara bersamaan. Kedua orang tuanya memiliki cukup harta yang mereka tinggalkan tapi itu semua diambil oleh saudara orang tuanya, mereka berebut harta itu tanpa mengingat bahwa ada anak yang lebih berhak dan membutuhkan harta itu. Tapi sosok Levi adalah sosok yang kuat atas didikan sang Ayah, ia juga memiliki sifat hampir sama dengan sang Ayah menghindari pertengkaran dan sesuatu yang ribet, baginya jika memang mereka tidak mau memberikannya maka ia akan berusaha sendiri.

Hidup di kota besar seperti Jakarta bukan perkara muda, apalagi bagi anak umur 18 tahun yang hanya memiliki ijazah SMA, maka tabungan yang ia miliki, Levi memilih kekota yang terkenal akan suhu dinginnya ini, Bandung menjadi pilihannya, karena selain Jakarta kota inilah yang sering ia datangi bersama sang Ayah dulu, saat memiliki waktu luang.

Levi berdiam didepan pintu gerbang kosnya, melihat kelangit, hujan sudah reda namun masih sedikit mendung, mungkin hujan akan datang lagi, tapi semoga saja saat ia sudah sampai di Cafe. Cafe yang dia maksud adalah Cafe milik sahabatnya -Lirna- dimana ia bekerja, ini juga salah satu alasan ia memilih ke Bandung, karena Lirna berada di Bandung, sahabatnya yang saat Ayahnya meninggal menjadi sosok yang menangis bersamanya, Lirna juga yang menawarkan ia untuk ke Bandung dan bekerja di cafenya saat mendengar mengenai saudara Ayah Levi. Lirna dan Levi bersahabat sejak mereka kecil, kedua ayah mereka bersahabat, mereka berpisah saat di bangku SMP, Lirna mengikuti orang tuanya yang dipindah tugaskan keluar kota. Namun, mereka selalu bertemu jika Levi ke Bandung atau Lirna ke Jakarta.

Levi menuju cafe dengan berjalan kaki, jarak cafe dengan kosnya yang lumayan dekat membuatnya dapat menghemat ongkos. Hanya butuh dua puluh menit berjalan kaki ia sudah sampai, terlihat di dalam cafe sudah ada Joko, yang bertugas membersihkan cafe sebelum buka dan sebelum tutup. Untuk Levi sendiri ia bertuga di depan kasir, dan jika ramai ia akan membantu di bagian pelayan. Cafe ini tidak terlalu besar, cafe yang lebih diperuntukan untuk anak muda, Lirna sendiri menjalankan cafe ini sejak umur 17 tahun, sebelumnya cafe ini milik Ibunya, keluarga Lirna bukan keluarga pebisnis, ayahnya merupakan perwira TNI sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga, namun karena saat itu ibunya bosan berdiam diri dirumah tidak ada kegiatan, akhirnya ia mendirikan cafe ini.

“Pagi joko!” sapa Levi ke Joko yang sedang mengelap meja.

“Eh, pagi kak!, Jangan panggil Joko napa kak, kan kedengarannya aneh, panggil Jack aja,” ucap Joko dengan senyum jumawanya.

“Idih, nama tuh harus disyukuri ko, kan pemberian orang tuamu,” jelas Levi

Joko menghembuskan napas kecewa jika sudah membawa-bawa orang tua dia tidak punya kuasa untuk melawan. Levi melihat sekitar, ternyata hanya Joko manusia di cafe ini sang pemilik sekaligus koki dan satu pelayan belum datang. Iya, cafe ini hanya memiliki 4 pekerja, 1 pemilik sekaligus koki, 1 tukang bersih merangkap pelayan jika dibutuhkan, 1 kasir merangkap pelayan jika dibutuhkan, dan 1 pelayan sekaligus membantu didapur.

Lirna datang dengan napas terengah-engah, Joko dan Levi yang melihat itu bingung, ada apa dengan pemilik cafe tempat mereka bekerja, kenapa terkesan seperti gembel.

“Napa neng, kemana penampilanmu yang on point itu, heels ditenteng, rambut udah kayak singa,” nilai Levi

“Bentarhh tarikh nafash dukuh,” Lirna berbicara terengah-engah, setalah menarik nafas, ia kembali tenang melihat ke Joko, “Jack, tolong ambilin air dong”. Joko bergegas ke belakang counter untuk mengambil air.

“Gila ya, tuh anjing gak ada akhlak banget....” Ucapannya yang penuh kekesalan terpotong “eh neng, sembarangan orang dikatain anjing, didengar Bunda, sisa nama kamu,” tegur Levi memotong perkataan Lirna.

“Eh Ibu, siapa yang ngatain orang anjing, ini anjing beneran, ngejar aku, padahal udah dandan cantik, siapa tahu dijalan ketemu cogan, eh ini dikejar anjing,” Kesal Lirna.

Lirna melihat sekeliling menghitung manusia yang terdapat didalam cafe, wajah yang awalnya bingung berubah jadi kesal, “si kutu kupret belum datang?” teriaknya.

Levi mengusap telinga mendengar teriakan gadis sebayanya ini. Kutu kupret yang dimaksud adalah Meggi atau lebih tepatnya Mamat si pelayan cafe yang hobinya menggunakan bando merah jambu dengan aksen bunga sementara memiliki jakun dilehernya. Entah hobi atau apa ia pun sering terlambat, jika bukan karena ia juga merupakan sahabat Lirna sudah lama ia ditenadang dari cafe ini, kinerjanya bagus dan dia juga baik, kekurangannya cuman itu telat.

Ketika Levi berbalik kearah pintu masuk,  “astahgfirullah!” ia terperanjat kaget. Sosok menakutkan berbando pink dengan kemeja bunga2 dan Celana pendek putih serta stocking merah muda sedang menempel didinding dengan wajah menghadap kedalam, jika tidak mengingat sosok itu adalah orang yang ia kenal, dia akan menganggapnya hantu taman Lawang.

“Mamat, ngapain kamu nemplok kayak cicak disitu?” mendengar panggilan itu si Maggie, meninggalkan singgasana sandarannya berjalan masuk dengan ala anggun yang sedikit meleyot.

“hah...hah...hah” dengan nafas terengah-engah, Maggie menghampiri Levi dan Lirna yang sedang melipat tangannya di dada.

Sebelumnya berbicara Maggie menarik nafas “Aku bisa jelasin kenapa aku telat datang, aku udah bangun tepat waktu, tapi ini karena kamu” Maggie menunjuk Lirna, Lirna yang ditunjuk bingung “kok aku?”

“Iya situ, karena situ larinya cepat banget alhasil tuh anjing berbalik arah dan menemukan aku sebagai mangsa barunya. So, diriku tidak punya kuasa selain berlari tak tentu arah, eh ternyata aku lari kearah sebaliknya”

Lirna mengerti “okey, kali ini kamu, kumaafkan tapi lain kali, kugetok kepalamu pakai palang didepan!”

Maggie memberi hormat, dan beranjak kebelakang untuk mengganti baju, begitu pun dengan Levi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 20, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The ParalelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang