Bab 16

166 38 4
                                    

   

       Jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul tujuh pagi. Kantor masih terlihat sepi. Hanya ada beberapa orang OB dan cleaning servis yang baru hadir. Itu pun mereka masih pada berkumpul di pantry. Tengah bersiap-siap untuk memulai hari mereka.

"Bu Aira, tumben pagi sekali?" sapa Rina. Salah seorang OB yang biasa bertugas di ruangan para karyawan.

"Iya," sahutku sembari mengurai senyum. Masih sambil jalan.

Kedatanganku sepagi ini memang disengaja. Mungkin ini akan menjadi hari terakhir aku menginjakkan kaki di perusahaan yang telah menjadi sumber penghasilan selama dua tahun terakhir.

Aku langsung menuju ruangan kepala bagian.

Setelah menarik napas berkali-kali, jemari tanganku meraih gagang pintu ruangan dan memutarnya perlahan. Aku mempercepat langkah menuju satu-satunya meja kerja yang ada di ruangan itu. Debar ini membuat tanganku sedikit gemetar saat meletakkan amplop pengunduran diri di sana.

Menyusup ke ruangan pribadi seseorang tanpa pemiliknya tahu, mendadak aku merasa jadi seperti maling.

Cepat aku berbalik dan kembali menuju pintu keluar. Menarik napas lega saat akhirnya kaki menginjak ruangan sendiri.

Membenahi apa yang kemarin tanpa sengaja terlupakan, lagi-lagi aku termangu. Sejujurnya keputusan ini sesuatu yang berat. Meninggalkan apa yang selama ini telah aku perjuangkan.

Tapi mau bagaimana lagi?

Sikap Ardian benar-benar membuatku tidak nyaman.

Setelah merasa tidak ada lagi yang tertinggal, sekali lagi aku mengedarkan pandang. Memory di kepala merekam setiap inchi ruangan yang pasti sewaktu-waktu aku rindukan. Setelahnya dengan langkah cepat aku meninggalkan tempat itu.

Lega.

Namun juga sedih datang secara bersamaan.

Semoga ini menjadi keputusan terbaik.

***

     Aku meletakkan tas tangan di meja rias. Lalu kemudikan bergegas menuju ranjang. Baru saja merebahkan diri, ponsel yang masih terletak dalam tas yang tadi aku bawa berdering.

Malas-malasan aku kembali bangkit. Merogoh tas dan meraih benda pipih itu.

Sesuai dugaan, Ardian.

Aku lupa. Seharusnya sebelum meninggalkan kantor tadi aku memblokir nomor WA nya terlebih dahulu.

Aku mengabaikan panggilan itu karena ia melakukan video call. Ponsel kembali aku letakkan. Di meja rias.

Sesaat aku hanya termangu di depan cermin.

Tung!

Satu notifikasi dari WA.

"Aira, plis." Pesan yang terlihat di layar meski belum dibuka aplikasinya.

Aku menghela napas panjang.

Apa lagi yang diinginkan laki-laki itu?

"Aira, kalo lo gak mau jawab, demi Tuhan gue akan samperin tempat tinggal lo."

Mataku membulat.

Apa-apaan nih orang?

"Lo mau apa lagi sih?" Akhirnya aku membalas chat itu.

"Siapa bilang gue nerima surat pengunduran diri?"

"Ya itu terserah lo. Gue dah lengkapi sesuai prosedur yang berlaku."

"Balik, Aira."

"Gak."

"Baik. Tunggu aja sampai satu jam ke depan."

DILEMA (Antara Cinta dan Persahabatan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang