Delapan.

2 2 0
                                    

"Yaraaaaa!!!! Kok lo bisa kek gini sih, baru juga gue tinggal," suara Kyra memenuhi satu ruanganku.

"Sssttttt!!!" sahut kami yang ada dalam ruangan.

"Maap maap, hehe," dasar Kyra, dia pikir ini rumahnya. Seenakjidatnya berteriak, untung aku di kamar sendiri, coba ada pasien dengan penyakit jantung, mungkin Kyra bisa menjadi penyebab kematian pasien itu.

"Hei kenapa? Kok jadi gini?" tanya Kyra dengan suara yang lebih pelan. "Lo ditolak? Sampe masuk rumah sakit? Atau lo dihajar ama ceweknya?" pertanyaan yang beruntun itu membuatku pusing.

"Gak Kyr, tapi bisa dibilang ini karena putus cinta mungkin," sahutku lirih. Kyra melihatku dengan intens seakan tak yakin dengan jawabanku. Aku mengangkat alisku, memberi isyarat pertanyaan kenapa.

"Oke ceritain kronologinya ke gue cepet, gak pake lama, lengkap dan detail, apa yang terjadi sama penembakan lo ke pangeran lo, Raga," desak Kyra. sudah kuduga, ia takkan puas dengan jawaban singkatku itu.

"Jadi..." aku memulai ceritaku. 

"Jadi apaan, bambank!?" Kyra geram seakan ingin menerkamku.

"Jadi, tadi waktu aku mau ngehampirin Raga, ceweknya dateng, dan mereka sempet mesra-mesraan dan gak merhatiin kalo ada aku di sekitar mereka. Terus mereka pergi keluar dari sekolah bareng, bahkan Raga diajak ke rumahnya Griz. Normalnya ak bakal sakit hati, ya aku sakit hati pake banget, secara ini cinta pertama, dan aku ditolak sebelum nembak," berhenti sejenak mengambil napas pelan. "Habis itu hujan, gak tau kenapa rasanya pengen nerobos, akhirnya aku nekat nerobos hujan, padahal itu cukup deres, sampe pas ak berhenti gitu semua kerasa gelap, gitu deh," akhirku.

"Ahhh, sini sini gue kasih pelukan mancjaahh," Kyra berusaha memelukku erat, aku sedikit geli dengan kata-katanya tapi aku tidak menolak pelukannya. Tanpa aku sadari air mataku mengalir lagi, seakan rasa sakit yang sempat terpendam muncul lagi di permukaan. Sakit sekali tapi ada kelegaan yang juga menyelimuti hatiku.

"Cup cup, tenang aja kalo jodoh pasti bakal ada jalannya, gak usah sedih sayangkuu," ucap Kyra sambil menepuk-nepuk bahuku yang bergetar. Aku semakin terisak, aku tahu ini semua sia-sia Raga juga tak akan menoleh padaku meski aku menangis bombai seperti ini. Terlebih seorang Griz yang ramah, periang, dan selalu memiliki aura positif. Sedangkan aku hanya remahan kulit kacang, bagaimana mungkin mendapatkan sosok Raga dengan segala kesempurnaannya.

"Udah ih, gak usah nangis, jadi jelek ntar, mau gue beliin apa? Es krim? Coklat? Boba? Raga?" Kyra mengusap air mataku pelan. Pertanyaannya membuatku tertawa kecil.

"Huss, mana bisa, beliin Raga, hiks, dia bukan barang, hiks," sahutku masih dengan senggukanku tapi juga diselingi tawa kecil. Kyra juga tertawa melihatku tertawa.

"Nah gitu, ketawa, kan cantik, sayangku gak boleh sedih, oke?" aku mengangguk pelan, masih dengan tawaku. Setelah itu kami mulai bercanda lagi. Ya semudah itu Kyra mengubah moodku. Itulah arti seorang sahabat yang sebenarnya.

"Taukan, gimana wajah kolotnya si Beno, anjir, lawak banget sumpah," ucap Kyra, aku tertawa membayangkan bagaimana wajah temanku Beno yang kesal karena dijahili Dodo.

"Lagian Dono jail banget sih, tapi persahabatan mereka tu gemesh banget gak sih," ucapku.

"Iya woy, gemesh deh ya ga-"

Kriingg!! Suara ponselku terdengar daru meja di sebelah kasurku. Suara telepon, tapi nomer tak dikenal, siapa?

"Halo?"

"Benar ini dengan putra dari Bapak Julian dan Ibu Saras?"

"Ya, benar saya sendiri, ini siapa ya?"

"Kami dari kepolisian mengabarkan bahwa Bapak Julian dan Ibu Saras mengalami kecelakaan, dan kini sedang dibawa ke Rumah Sakit Umum," bahuku lemas mendengar setiap kata yang terdengar dari seberang telepon.

"Halo? Apa masih ditempat?" dari seberang terdengar lagi suara. Bahkan suaraku enggan untuk muncul.

"Siapa?" Kyra menanyakan tanpa bersuara. Karena aku tidak menjawabnya, ia segera mengambil ponselku. Entah apa yang mereka bicarakan. Pikiranku melayang, menghadapi kenyataan ini, bahkan tadi ayah dan bunda masih tersenyum saat pamitan pulang untuk mengambil baju ganti lagi ke rumah.

"Yara, lo pasti kuat, oke? Kita susul ayah sama bunda di UGD ya, tadi gue juga udah nanya sama perawat di luar," aku hanya mengangguk pelan dan mulai berjalan bersama Kyra keluar dari ruanganku.

Sampainya di sana, aku dan Kyra duduk di depan ruang UGD sambil menunggu. Aku hanya diam tak bersuara, Kyra juga diam tapi dia mengelus bahuku pelan, menenangkan.

Setengah jam berlalu, dan tampak dokter keluar dari ruang UGD.

"Bagaimana dok? Ayah sama bunda gak kenapa-napa kan?" tanyaku runtut, entah kenapa perasaanku mulai tidak menentu. Terlebih saat wajah sang dokter tampak lesu dan penuh sesal.

"Maaf, kami tidak bisa menyelamatkannya, Bapak Julian Gunawan dan Ibu Saras Amartyasari meninggal pada Selasa, 8 Desember 2020, tepatnya 16.45 WIB."

Tbc~
Akhirnya gaes, up lagi. Udah ngefeel belum? Jujur aku belum terlalu mahir bikin orang ngefeel, masih belajar. Enjoy ajalah yaa.
Alfynjm.

DibisukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang