Hawar dalam Tiga Stanza

34 3 0
                                    

Selusin bulan sudah hawar restui gembok kawini gerbang sekolah
menggusur penghuninya pulang menenteng almamater
menyanderanya sebagai daging yang terpenjara dinding kamar.
Hawar memang pikun
sebelum ia wakafkan ruang kelas menjadi gubuk setan beranak bini
daging berbungkus almamater itu
telah keranjingan mengutil isi perut perpustakaan
dan kamar tidak lain rumah kaca tempat berbiak jarahan tadi
yang ranumnya kelak adalah roti perjamuan bagi otak
biar mengimani merdeka yang khusyuk berlipat ganda.
        
Hawar memang serdadu Romawi
keranjingan menyatroni biara demi biara
sementara kami adalah Hawariyyun yang kupingnya bercerai
dari bibir Al-Masih.
Atas hasut Yudas gendang telinga disekap
dalam sunyi berkepanjangan.
Tapi kuping tetaplah kuping
senyap menuntunnya kepada sabda Sang Guru
biar khusyuk mendaras ayat demi ayat.
Juga dua bola mata yang disandera gelap
sepasang kutubnya memantati ultimatum
agar bersedu-sedan hingga kerontang.
Gelap candu menginfak tenang yang menuntun
berstanza relik Al-Masih.
       
Bahkan bila seabad terpaksa sekasur dengan hawar
selama itu pula kami membendung air liur
yang bandangnya kelak menjadi ludah
bagi firman yang mendikte jemari menyerah
dan murtas dari tinta juga pena.
Tapi jemari tetaplah jemari
ia adalah jemaat yang rutin kembarai
lembar demi lembar manuskrip
memanen paragraf yang saripatinya adalah anggur perjamuan
memastikan tangan tetaplah tangan
yang berbaiat kepada kepalan
dan merdeka bernafas untuk menyingsing lengan baju
meski hawar menyabotase rumah
republik tetaplah republik
ia masih bayi dengan ikatan bedung merah putihnya
fardu dikuatkan
ia tetap balita yang rafalan Pancasilanya
mesti dibetulkan
oleh penjang barisan yang separuhnya
milik almamater kami.
         
         
        
       
        
       
        
21/7/2021

Manuskrip Rumah ApiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang