Pada larik puisiku dipucuk bulan Juli, di tubuh koyakku, dinadiku yang rasanya hampir berhenti menyaksikan sekeliling dengan cepatnya berubah, dijiwa lelahku yang ku paksa tabah.
Juli kesayanganku,
Aku titip satu raga yang ku rawat dengan cinta, yang tak habisnya mengisi ruang kosong di palung jiwa. Yang ku tepikan luka demi mengalirkan bahagia yang selama ini dahaga.Akhir-akhir ini ku perhatikan senyumnya tak lagi untuk ku, bibirnya tak lagi selera untuk menghabiskan kosa kata denganku, dia lebih suka diam, dan pandangannya tak lagi menetap diwajahku.
Juli, sayangku.
Aku mencintainya sudah sempurna yang aku bisa. Tapi, bila akhirnya harus aku yang berjalan mundur. Aku tidak apa, karena semesta sudah sangat mahir mengajariku tentang kasih sayang yang tak selalu jadi pemilik.Juli, sayangku.
Segala upaya untuk mempertahankan rumah yang kita bangun sama-sama sudah aku lakukan.
Berat sekali menahan diri untuk tidak peduli, tidak ada bagian yang tidak penting dari dirinya yang lenyap dalam pikirku. Dia seperti putaran waktu yang tak pernah berhenti berdetak. Dan aku, si pungguk yang setia menanti rembulan hadir dalam bola matanya. Melelapkanku pada malam yang senyap dan sesak, menidurkan perasaanku yang kalang kabut, dan jiwaku yang kerap tersulut.Juli, kesayanganku.
Kau tau di sini aku dilahirkan. Seorang perempuan dengan mata sendu yang kelabu. Yang menyukai birunya langit dan berharap esok dapati sepasang sayap.Kelak, jika aku harus selesai dalam ceritaku. Aku harap aku bisa menjadi bagian yang indah untuk bisa di ulang-ulang. Untuk di kenang, untuk tidak sampai usang dimakan waktu.
Kepada Juli, jika diharuskan aku pulang. Aku akan pulang membawa sisa-sisa harapanku. Dengan balutan keikhlasan yang menutupi robek hatiku, dan bola mataku yang harus tabah menyaksikan bahagianya yang bukan lagi aku. Meskipun selalu kau tahu, kalau aku cuma mau dia untuk jadi titik terbaik dari cerita kehidupanku.