Putus? Bisa Move On, Gak?

914 22 9
                                    


Gadis bermata coklat tengah memandangi sang kekasih dengan tajam. Kedua tangannya sengaja ia silangkan di depan dada. Angin di sore hari membelai lembut rambut ikalnya, yang ia biarkan tergerai begitu saja.

''Kamu berhenti tatap aku kayak gitu dong. Aku jadi serem.'' ucap Pria tampan berperawakan tinggi menjulang ini.

''Kamu itu nyebelinnya tingkat dewa tau ga sih, Gas. Diem di situ! Gak usah gerak-gerak.'' Ananda Bagas Yudhika, kerap disapa Bagas. Pria berumur 19 tahun, putih, tinggi, tampan, romantis, humoris, dan mempesona. Rela melakukan apapun demi sang kekasih yang teramat sangat ia cintai itu.

''Hiii.. Pegel tau, Ndai. Aku berasa lagi dihukum sama Bu Ira, deh.'' ucap Bagas memelas, ia mengangkat sebelah kakinya, dengan kedua tangan yang memegang kedua telinga.

''Biarin, siapa suruh kamu nyebelin. Kan aku udah bilang, aku itu takut kecoa! Kamu segala ngerjain pacar kamu sendiri!'' Cindai mengerucutkan bibirnya, membuang muka dari pandangan Bagas. Bagas terkekeh geli, mengingat beberapa jam yang lalu, ia mengerjai Cindai. Mengenggam jemari manisnya dengan kecoa mainan yang sebelumnya sudah ia pegang.

''Tapi kan, itu boongan yeeee!'' Bagas menjulurkan lidahnya, sesekali ia hampir terjatuh karena badannya yang tak seimbang. Miring ke kanan miring ke kiri.

''Ih, bodo. Mau itu beneran, mau enggak. Aku ga peduli, ya?'' sahut Cindai semakin galak. Bagas tersenyum menggoda, Cindai sudah sebal setengah mati pada kekasihnya itu. Kalau sudah begini, rasanya Cindai ingin mengutuknya menjadi Bagas Kundang. Karena ia sama durhakanya seperti Malin Kundang.

''Ih, kamu nyebelin.''

''Tapi ngangenin,''

''Engga.''

''Bener?''

''Tau ah!''

Hening. Cindai masih diam mematung dengan kedua tangan yang masih dilipatkan di depan dada. Bagas benar-benar sudah merasakan pegal yang luar biasa. Rasanya tulang-tulang kakinya ini mau copot termakan cinta.

''Ndai.. Udahan dong, pegel nih aku.. Maaf deh, aku janji ga isengin kamu lagi,'' Cindai tak peduli.

''Aduh.. Ndai..'' Hhhh, gadis itu menghela nafasnya. Lalu membalikkan badan, menghampiri Bagas yang sedang memasang wajah memprihatinkan itu.

''Mukanya gak usah di jelek-jelekin, udah jelek.'' celanya sambil berlalu, setelah menurunkan tangan Bagas. Isyarat bahwa hukumannya telah selesai. Bagas tersenyum senang, lalu berlari dengan tergopoh-gopoh karena kakinya masih terasa pegal. Cindai terkekeh geli, ia rangkul sang kekasih. Merasa tak tega telah menghukumnya.

''Hehehe.. Aku maafin, awas aja kalo iseng lagi. Eh? Kamu kalo lagi kayak gini, mirip sama kakek-kakek abis kecebur got, tau! Hahaha...'' Bagas menjitak kepala Cindai pelan, ''Ngeselin nih kamu! Tapi, aku sayang. Hehe..'' ucapnya sambil mengecup lembut pucuk kepalanya. Wajah gadis itu memerah, sebisa mungkin ia sembunyikan. Ia terus berjalan bersama Bagas, jemarinya saling bertautan satu sama lain. Sang senja kini telah menjadi saksi bisu cinta mereka berdua.


***


''Hallo, Gas. Kamu dimana? Aku udah nungguin dari tadi di Caffe, nih.'' di sebrang terdengar suara gadis yang sangat ia Cintai. Beberapa kali ia meneleponnya, namun tidak Bagas angkat. Baru sekarang Bagas mengangkatnya, itupun karena terpaksa.

''Maaf, aku gak bisa dateng.'' ucapnya singkat, setelah beberapa saat ia terdiam.

''Hloh? Kenapa?'' terdengar begitu jelas, dari suaranya gadis itu nampak kecewa.

''Aku ... Aku sibuk nih! Tugas kuliahku banyak banget. Udah yaaa..'' dustanya, dan KLIK. Bagas memutuskan sambungan teleponnya begitu saja. Ia sangat bingung, harus bersikap bagaimana lagi.

''Abis telponan sama siapa, Gas?'' tanya seorang wanita paruh baya yang menghampirinya dengan membawa segelas susu coklat kesukaannya.

''Gak sama siapa-siapa kok, Ma..'' dustanya, lagi. Bagas segera mengambil segelas susu yang sedang beliau pegang. Lalu mencium kening sang Mama seraya memberikan senyuman paling termanis. ''Makasih, Mama sayang..''

''Sama-sama sayang, oh iya.. Ada Karel tuh, Gas.''

''Eh? Karel? Ngapain dia.. Hmmh, kalo gitu suruh langsung masuk ke kamar Bagas aja, Ma. Bagas males keluar kamar.'' Beliau segera keluar dari kamar Bagas. Lalu menghampiri Karel yang sedang duduk di ruang tamu.

''Langsung naik aja ke atas, Rel.''

''Oh, iya, Tante. Makasih,'' balasnya sambil tersenyum ramah.
Karel segera naik ke atas, menghampiri Bagas yang sedang duduk di teras balkon kamarnya. Tanpa mengetuk pintu, atau menyapa terlebih dahulu. Lagipula, tidak dikunci. Didapatinya sosok Bagas tengah melamun, membuang jauh pandangannya pada hamparan bintang yang bersinar begitu terang.

''Woy!!!'' Bagas terlonjak, sumpah mati ia benar-benar terkejut. Matanya melotot maksimal, ia shock atas keberadan karibnya itu secara tiba-tiba.

''Gas? Ekspresi lo gitu amat? Kaget, ya?'' tanyanya polos. Bagas yang masih dengan keterkejutannya mengerutkan kening atas pertanyaan bodoh yang dilontarkan Karel. Ia mengelus dada, mengetes apakah detak jantungnya masih ada?

''Hahaha.. Jelek sumpah!''

''Apanya yang jelek?'' tanya Bagas heran, Karel tak menjawab, ia malah tertawa terbahak-bahak. Bagas mendengus kesal, rasanya ia ingin mencekik karibnya ini. Lalu membuang jasadnya ke sungai Amazon.

''Ekspresi lo! Jelek banget sumpah! Hahahaah.. Tapi, gak ada yang lebih jelek dari ini, Gas?''

''Weh.. Lo ngeselin nih, dateng-dateng ngagetin gue, terus nyela gue sekarang. Bagus.. Bagus..''

''Hahaha.. Abisan lo sih, ekpresinya gitu amat. Yang ganteng gitu Gas kalo lagi kaget tuh,''

''Lah namana orang kaget emang kudu gimana ekspresinya? Namanya spontan yaa begitu jadinya,'' Karel masih tertawa. Lalu ia mendekatkan wajahnya pada Bagas. Ia berdehem, ''Mau gue contohin? Kaget yang ganteng itu gimana?'' tanyanya dengan mimik wajah yang serius. Bagas mengangguk cepat.

''Wih.. Sok ganteng. Gimana coba?''

''Kagetin gue dulu?'' Bagas mengerutkan keningnya, apakah ia sedang dibodoh-bodohi oleh Karel?

''Oke.. Hmmh.. DOR!!'' Bagas menghentakan kaki dengan keras. Terlihat ekpresi wajah Karel yang dibuat terkejut. Mulutnya sedikit menganga dengan senyuman rekayasa ala Karel. Bagas memicingkan matanya.

''Gimana? Ganteng kan kaget gue?'' tanya Karel beberapa detik kemudian. Seiring dengan pertanyaan Karel, Bagas langsung tertawa sampai guling-guling di kasur. Memegangi perut dengan sebelah tangannya.

''Yaaa..yaaa..yaaa..yaaa...., Bego. Itu bukan ekspresi ganteng, tapi tablo! Hahahahaha..'' Bagas terus saja tertawa, setelah saat sebelumnya ia di tertawakan oleh Karel.

''Hhhh.. Terserah lo ah, lo ketawa guling-guling gitu masa milihnya di kasur. Tawa ya tawa aja, ga usah lari dulu ke kasur. Hahahaha..'' Karel ikut tertawa. Menertawakan atas kebodohan yang ia dan Bagas lakukan.

''Sakit perut gue tawa mulu.. Duhhh.. Eh iya, lo ngapain kesini? Kangen, ya?'' goda Bagas dengan mengedipkan sebelah matanya. Karel bergidig, ngeri.

''Hhh.. Najis. Amit-amit deh, gue normal, yee.. Gue masih demen sama Chelsea,''

''Hahaha.. Lagian ogah amat gue dikangenin lo. Eh, gue serius. Ngapain lo kesini?''

''Yee, kenapa sih? Ga boleh gue ke sini? Gue cuma feeling aja, kayaknya lo lagi butuh temen curhat nih.'' Bagas terdiam, wajahnya berubah murung. Ia membuang pandangannya pada sebuah foto, tentu saja bukan fotonya yang sedang bersama Karel. Tapi, fotonya yang sedang merangkul Cindai dengan setangkai bunga mawar yang dipegang gadis itu erat.

''Yah.. Udah kalo tampangnya udah begini, udah jelas pasti ada masalah. Hhh.. Cerita sini, cerita.''


----


Di tempat lain, Cindai sedang menangis. Tiba-tiba saja Bagas memutuskan sambungan telponnya. Tidak tahukah Bagas, bahwa ia sudah berdandan mati-matian demi dia? Cindai segera keluar dari Caffe pinggir kota. Arah tujuannya kini, entah. Ia bingung harus kemana. Beberapa kali gadis manis ini menelepon Bagas lagi, namun tetap tak diangkat.

''Gue ke taman aja kali, ya? Hhh..'' Cindai berjalan ke arah taman. Tak peduli dengan dandanannya yang sudah berantakan. Ia duduk diujung perosotan. Gelap. Hanya sorotan lampu taman redup yang meneranginya saat ini.

''...I want let these little things sleep out of my mouth..'' Ponselnya berdering, tadinya ia tak berniat untuk mengangkat panggilan masuk itu. Namun, setelah panggilan ketiga, ia angkat juga.

''Kenapa, sih?!'' tanya gadis itu ketus.

''Maafin aku, Ndai. Kamu lagi dimana?''

''Bukan urusan kamu,''

''Hh.. Ndai, aku mau ngomong.''

''Apa? Aku ga punya cukup banyak waktu.''

''Hmmh.. Ndai, nngghh.. Kayaknya hubungan kita cukup sampai di sini aja, deh.'' Cindai tertegun, lidahnya terasa kelu. Apa ia tidak salah dengar?

''Ma-Maksud kamu?'' Cindai mulai terbata, suaranyapun mulai serak.

''Iya, kita putus.''

---

''Apa? Lo di putusin Bagas?!'' Cindai mengangguk lemah, kamarnya berantakan. Penuh dengan tissue, mungkin seharian ini Cindai sudah menghabiskan 3 box tissue. Chelsea yang notebenenya adalah kekasih dari sahabatnya Bagas jelas merasa shock. Bagaimana bisa?

''Kok bisa sih, Ndai? Alasannya apa? Kenapa dia tega banget? Segampang itukah dia putusin lo? Kalian udah hampir dua tahun pacaran, kan? Kok bisa, sih???''

Srooott... Srooott... Hanya suara inguslah yang menjadi sebuah jawaban atas pertanyaan Chelsea. Cindai mengambil satu box lagi, lalu merobek plastik itu dengan paksa. Mengambil selembar tissue lagi, dan.. Srroott.. Srroottt...

''Ewwhhh.. Jorok banget lo sumpah!''

''Lo bilang gue jorok, tapi lo duduk di atas tumpukan bekas ingus gue,'' ucap gadis bermata sembab itu dengan santai. Chelsea terbelalak, melirik ke arah bawah.

''Empuk.. Lembek.. Dan.. Aaaaakkk berlendir!!'' Chelsea kelimpungan sendiri, beberapa tissue menempel pada rok jeansnya, Cindai hanya diam dengan selembar tissue yang menempel di hidung dan sudut mata, menatap kebodohan sahabatnya itu.

''Aakkkk, Cindaiii..,'' Chelsea merengek, Cindai menunjuk ke arah lemari baju.

''Oke, gue pinjem baju looooo..'' Gadis turunan bule ini segera melesat dengan cepat, mengambil baju milik Cindai dan berganti baju di kamar mandi.

Cindai terisak dalam diam, ''Brengsek lo, Gas..'' dilemparkannya tissue itu ke sembarang arah.


---


Hari ini kebetulan sekali hari minggu, dan kemarin adalah hari sabtu. Bagas memanfaatkan hari ini untuk bermalas-malasan, bercumbu dengan bantal dan guling yang sudah bau iler. Seharian penuh Bagas di dalam kamar. Sang Mama sudah berkali-kali mengetuk pintu kamar Bagas, memastikan bahwa Bagas tidak apa-apa. Beliau jelas sangat khawatir, jikalau sesuatu terjadi pada putra sulungnya. Seperti bunuh diri misalnya.

''Gas.. Kamu gapapa kan, Nak?''

''Gapapa, Maa.. Bagas lagi pengen ngebo seharian, Bagas capek.'' ucapnya berdusta, lagi. Benarkah begitu? Mulanya beliau tak yakin, tapi, sudahlah. Mungkin putranya kali ini benar-benar kelelahan. Maka dari itu, beliau meninggalkan kamar Bagas. Tanpa mencoba kembali lagi untuk memastikan keadaannya.

Bagas mengambil ponsel, membuka akun facebook. Sudah seharian penuh pula Bagas tidak online.

''Gue mau apdet ah, biar kayak orang-orang,'' desisinya.

--------------
Ananda Bagas Yudhika

Gue sayang banget sama lo, tapi, gue gak berdaya. #C
--------------

Karel Ketjeh menyukai status anda. Karel ketjeh mengomentari status anda.

''Udah kuliah masih jaman aja pake inisial, langsung frontal ong! Cindai, gitu. Jangan cuma tanda pager terus ada huruf. Cem pager makan Cindai jadinya.''

Bagas mengerutkan keningnya, si bulepotan segala komen sih. Bagas mendumel. Berharap saat itu juga ia musnah, atau mati ditelan kegelapan. Dramatis.

--------------
Ananda Bagas Yudhika

Maafin gue, ya.. Gue ga bermaksud kayak gini, gue juga punya alasan tertentu. Dan, gue ga bisa bilang ini sama lo. Ini terlalu sakit bagi gue.

--------------

Karel Ketjeh dan Cindai Metha A menyukai status anda.

Baru saja Bagas ingin mengirim di wall Karel, tapi diurungkan niatnya karena melihat nama Cindai. Cindai menyukai statusnya, berarti.. Cindai sedang online juga? Dengan hati bergetar, Bagas membuka kronologi gadis itu. Dilihatnya Chelsea menandai foto pada Cindai. Terlihat seorang gadis tengah bertekuk lutut, dengan rambut yang berantakan, kamar berantakan, dipenuhi tissue. Di foto itu tertulis ''Gue kena imbas gara-gara duduk ditumpukan bekas ingus si Pecel!''

''Cindai..,'' batin Bagas menjerit. Merasa tak tega melihatnya, apa ia sejahat itu? Memutuskan telepon, lalu setelahnya memutuskan hubungan mereka?

Terlihat Cindai mengomentari foto itu.

''Wahh.. Sialan lo! Foto gue tanpa permisi! Hapus ga ih. Aib ini, bro!''

Beberapa detik kemudian disusul oleh Karel.

''Wah.. Parah nih si Bagas. Bikin si Cindai jadi cem orang gila.''

Lalu, beberapa detik kemudian Cindai membalasnya.

''Dih? Apaan si lo? Lo yang gila!''

Bagas memberanikan diri mengomentari foto itu. Ia mengetikkan kata demi kata dengan jari yang bergetar. Dan, saat Bagas meng-klik 'Komentar'. Tiba-tiba saja ada pemberitahuan.

Maaf, tautan yang anda buka telah kadaluarsa atau anda tidak memiliki izin untuk membukanya.

Bagas menatap layar ponselnya datar. ''Lah, ko gini?'' karena penasaran, Bagas membuka kembali kronologi Cindai. Dan... Tidak ada. Sudah dihapus sepertinya oleh sang empunya.

''Hhhhh..,'' Bagas mendesah pelan. Merasa moodnya makin buruk hari ini. Ia membantingkan diri di kasur empuknya. Melemparkan pandangannya pada sebuah bingkai foto. Ia berdiri lagi, lalu mengambil foto tersebut, dilihatnya cukup lama.

''Aku sayang kamu tau,'' hatinya mencelos, dibuka laci meja. Dan, dimasukkanya bingkai itu dengan posisi terbalik.


* * *

Hari ini Cindai bertekad, untuk tidak bergalau ria lagi! Ia harus kembali menjadi Cindai yang ceria! Ini sudah hari ketujuh, dimana hari-hari sebelumnya ia jalani penuh dengan penderitaan. Dan Chelsea sahabatnya merasa tak tega melihat keadaan Cindai saat itu.

Disisi lain, Bagas sudah merelakan Cindai sepenuhnya. Yakin? Entahlah. Ia kini tengah sibuk menebarkan pesona ke segala penjuru kampus. Padahal, tanpa ia menebar pesona, pun ia sudah mempesona. Membuat semua mahasiswi merasa dimabuk Cinta ketika Bagas mengedipkan matanya, yang pada kenyataannya Bagas sedang kelilipan.

''Gas.. Lo udah move on dari Cindai, ya?'' tanya Karel yang mencoba mensejajarkan langkah kakinya dengan Bagas.

''Udah, dong.'' jawabnya santai.

''Yakin?'' Bagas mengangguk pasti. Karel hanya mengangkat bahu. Keduanya kemudian berjalan beriringan. Seperti seekor itik sedang berjalan bersama induknya.

Bagas memasuki kelas yang mulai gaduh. Banyak para pria sedang bernyanyi sambil bermain gitar. Tak sedikitpula para gadis yang ikut bernyanyi. Dengan tidak tahu diri, Bagas merebut gitar itu. Semua mata memandang aneh, tak suka. Bagas tak peduli, ia mulai memetik senar gitar itu dengan gayanya yang cool.

''... Melewatkanmu di lembaran hariku..
Selalu terhenti di batas senyumanmu..
Walau berakhir.. Cinta kita berdua..
Hati ini tak ingin dan selalu berdusta..

Lupakanmu takkan mudah bagiku..
Selalu ku coba namun aku tak mampu..
Membuang semua kisah yang telah berlalu..
Disudut relung hatiku yang mambisu..
Ku merindukanmu...''

Semua mata kini memandangnya kagum. Begitupun Karel. Gila! Suara si Bagas bagus banget! Gumamnya dalam hati. Semua bersorak dan bertepuk tangan.

''.. Harusnya ku telah melewatkanmu..
Menghapuskanmu dari dalam benakku..
Namun ternyata sulit bagiku..
Merelakanmu pergi dari hatiku..

Selalu ingin dekat tubuhmu..
Namun aku tak bisa..
Karena kau telah bahagia...'' suasana kelas semakin gaduh dan riuh dari sebelumnya, suara Bagas sangat menggelegar. Menghipnotis setiap orang yang mendengarnya, itu membuat dirinya semakin mempesona dimata sang hawa. Membuat tabiatnya sebagai cowok keren dan ganteng. Menjadi cowok Perfect. Yang tidak perlu didecribe lebih detail lagi. Dan lumayan, Karel kecipratan gantengnya. Tiba-tiba semua diam. Bagas tak sadar, dan terus bernyanyi. Sepertinya ia begitu menghayati lagunya.

''Ekhem..,'' ternyata seorang dosen telah memasuki kelas. Namun, Bagas belum sadar juga. Karel sudah mencoleknya berkali-kali namun tetap saja Bagas tak merasa.

''Ekhem!'' dehemnya lebih keras lagi. Bagas tetap tak menyadari, ketika nyanyian sudah diujung akhir. Bagas membuka matanya yang sempat terpejam karena telalu menghayati lagu, dilihatnya semua mata memandang ke arahnya dan ke arah lain secara bergantian. Dengan tatapan tegang.

''Ka-kalian, ke-kenapa?'' tanyanya mulai merasa ada yang tidak beres. Ia melirik ke arah Karel. Bertanya dengan isyarat mata yang seolah mengatakan, Ada-apa-ini? Karelpun menjawabnya melalui isyarat matapula, sorot matanya mengarah ke depan. Bagas yang sedang duduk diatas bangku, segera turun perlahan. Lalu menoleh dengan hati-hati.

''Ee-eh.. Pak Raffi..'' Bagas menelan ludahnya susah payah. Didapatinya sosok dosen super galak itu sudah berada tepat dihadapannya. Bahkan, Bagas bisa merasakan nafas Pak Raffi menerpa permukaan kulit wajahnya. Ia tersenyum ngeri.

''KAMU. KELUAR DARI SINIIIIIIII!'' perintah Pak Raffi tepat di wajah Bagas dengan suara lantang. Membuat sebagian mahasiswa menutup telinganya. Seketika, Bagas merasakan gendang telinganya pecah, dan mulai tak berfungsi lagi.


---


Cindai tengah duduk manis di taman kampus. Menunggu Chelsea yang sedang ke kantin bersama Karel.

''Eh, ada Cindai. Hai, Ndai.'' sapa seseorang. Lantas, Cindai langsung mendongakkan kepalanya yang sempat tertunduk karena ia sedang membaca buku.

''Eh, iya hai, Sha.'' balasnya malas. Sumpah yaa, Shalsa itu memang bukan musuhnya. Ia hanya teman biasa, namun Shalsa sedikit usil dan rese. Membuat Cindai ingin jauh-jauh dari Shalsa.

''Mana Bagas? Ko sendiri?'' tanya gadis itu dengan suara yang diimut-imutkan. Cindai merasa mual mendengarnya.

''Gatau, lagi nunggu Chelsea sama Karel.'' lagi-lagi Cindai menjawab dengan singkat.

''Oh, yaudah, gue duluan ya, Ndai. Daah...'' pamitnya sok akrab. Hhhh, Cindai mendesah pelan. Bahkan, ia masih ingat dengan jelas, saat Shalsa mengucap sumpah. Semoga ia dan Chelsea kecelakaan. Cindai memutar bola matanya mengingat itu semua.

Cindai sudah menunggu Chelsea dan Karel sejak tadi, namun mereka tak kunjung datang. Cindai mendumel, apakah mereka lupa? Bahwa ada Cindai yang sedang menunggu di taman?

''Ndai..'' Cindai menoleh cepat.

''Bagas?'' gadis ini terkejut, lalu ia segera memalingkan wajahnya ke arah lain.

''Emm.. Lo liat Karel?'' tanya Bagas halus.

''Di Kantin.'' balasnya singkat. Bagas menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia bingung. Bukankah tadi Karel menyuruhnya ke taman?

Cindai menarik sebelah sudut bibirnya. ''Ngapain lo ke sini? Mau minta balikan? Sorry ya, gue udah move on dari lo. Hmmmh.. Lo putusin gue? Bisa move on, gak?'' tanyanya dengan PD. Bagas jelas tersentak dengan pertanyaan gadis itu.

''Ha? Apaan? Dih, PD banget lo. Gue kesini mau cari Karel.'' balasnya cuek. ''Emang lo pikir gue ga bisa move on dari lo?'' sambungnya lagi. Kali ini, Cindai yang tersentak, lalu menatap sepasang mata itu.

''Oh, ya? Yakin?''

''Yakin! Liat aja nanti! Gue akan dapetin yang lebih dari lo! Camkan!'' Bagas merasa tersinggung, ia jadi merasa direndahkan. Hhh, terlalu perasa.

''Baguslah,'' ucap Cindai santai.

''Lain kali kalo baca buku yang bener, putus dari gue makin bego aja.'' ucap Bagas yang langsung melengos pergi.

''Hah? Apaan sih maksud dia?'' Cindai memutar bola matanya. Mendengus kesal. Beberapa saat kemudian, ia tertegun. Menatap buku yang tengah ia baca. Aneh? Beberapa saat kemudian lagi, ia tersadar. Ternyata buku yang ia baca terbalik. Hhhhh, pantas saja.

''Bagas..'' lirihnya.


---

Bagas berjalan pelan, menyusuri taman sendirian. Menendang kerikil ke sembarang arah.

''Sialan si Karel, pasti dia ngerjain gue!'' ucapnya kesal. Hari ini sebenarnya jadwal kuliahnya sudah selesai. Tapi, Karel menghilang. Dan itu bencana untuk Bagas, karena kunci motor miliknya berada di Karel.

''Kebiasaan banget ni anak, kunci motor gue di copet mulu. Hhhhh..,''

''Gas!'' Karel tergopoh mengejar Bagas.

''Nah.. Panjang umur..''

''Dari mana aja lo? Gue cariin!'' Bagas menarik sebelah alisnya, menatap Karel kesal.

''Dih? Gue yang nyariin lo! Katanya lo di taman! Sialan lo boongin gue!''

''Kapan gue bilang di taman? Gue bilang di kantin!'' ucapnya membela diri.

''Lo bilang di taman ko!'' Bagas tak mau kalah.

''Kantin!''

''Taman!''

''Kantin!''

''Lo jangan ngerjain gue deh. Lo bilang di taman tadi,''

''Gue bilang di kantin,''

''Au ah terserah, mana kunci motor gue?'' Karel merogoh saku celananya.

''Nih. Sorry, kebiasaan hhehe,'' ucap Karel seraya memberikan kunci motor Bagas. Bagas mengambilnya tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Karel merespon cuek.

Sesampainya di rumah, Bagas langsung mengurung diri di kamarnya. Seperti biasa, ia membuka akun Facebook. Kegiatan selama seminggu belakangan ini, yaitu menstalk Cindai. Dilihatnya gadis itu semakin membaik, statusnya pun terasa bijak. Tidak seperti dirinya yang selalu galau.

''Shalsa Dea Putri.. Cantik,'' gumamnya. Lalu Bagas mengirimi gadis ini pertemanan. Tak butuh waktu lama untuk menunggu, Shalsa sudah mengkonfirmasi pertemanan Bagas. Bagas menginvite pin BB milik gadis itu. Ia tau, kalau Shalsa adalah teman Cindai. Meski mereka tak begitu akrab. Dan, Bagas juga belum pernah bertatap muka dengan Shalsa. Ia hanya tau dari sosmed, dan foto saja.

''Fotonya cantik, imut. Boleh juga nih..'' gumam Bagas. Senyumnya mengembang. Namun, itu tak berangsur lama. Senyumnya kembali pudar, mengingat pesan singkat yang tempo hari diterima Bagas. Ia segera keluar dari akun Facebooknya, lalu membuka draf. Membaca lagi isi pesan itu.

''Hhhh..'' Bagas mendesah pelan. Merasakan sakit pada setiap hembusan nafasnya. Namun, tiba-tiba saja, ada sebuah panggilan masuk.

''Halo?''

''I-iya gapapa tan,''

''Iya, Bagas juga minta maaf, ya?''

''Iya tan, Bagas janji..''

''Oke tan, siang..''

Bagas menatap layar ponselnya tanpa berkedip. Rasanya, ia harus menghubungi Karel sekarang juga.


Karel selalu datang diwaktu yang tepat. Baru saja ia ingin menghubungi nomor Karel, pria itu sudah muncul dihadapannya.

''Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Gue takjub!'' ucap Bagas berbinar-binra. Karel hanya bisa berekspresi bingung dan jijik.

''Ada apa? Gue abis nganter Chelsea malah belok ke rumah lo. Berasa terpanggil gue,'' ucapnya datar.

''Lo kayak... Jin!'' ledek Bagas. Karel membalasnya dengan jitakan andalannya. ''Sialan!'' Bagas hanya terkekeh, ia mengajak Karel untuk segera duduk. Lalu mengambilkannya jus dan sedikit camilan.

''Gue demen yang begini,'' ucap Karel sambil mencomot brownies keju, buatan sang Mama.

''Makan sesuka hati lo dah. Oh iya, Rel. Masa barusan, nyokap Cindai telpon gue,'' Karel tersedak, Bagas segera memberikan airputih kepada Karel.

''Pelan-pelan, norak sih lo,'' cibir Bagas.

''Gue kaget, bego!''

''Huuhhhh...,''

''Ngapain nyokap Cindai telpon lo?'' Bagas mengangkat bahu.

''Mau cabut kata-kata yang kemarin itu looh,'' ucap Bagas datar. Karel tersedak lagi.

''Heuh, norak nih anak. Kayak ga pernah makan aja.''

''Hah? Serius? Terus, gimana??'' kali ini, Karel tak menghiraukan cibiran Bagas. Ia lebih tertarik dengan topik siang kali ini.

Lagi-lagi Bagas mengangkat bahu, ''Gatau.. Bingung,''

''Gila, ya! Ini udah seminggu yang lalu. Dan... Semuanya udah terlanjur kayak gini,''

''Iya.. Semuanya udah terlanjur,'' lirihnya, Karel menepuk pundak Bagas.

''Sabar, bro. Jalan satu-satunya.. Coba lo ajak balikan?'' Bagas tersentak, ia menggeleng cepat. ''Engga mungkin! Semua udah terlanjur,''


---


Hari demi hari, Bagas menjalankan hidupnya dengan amat sangat tidak tenang. Meski kini, Bagas tengah dekat dengan Shalsa. Mereka sering berbalas chatt di Facebook dan juga sering BBMan. Saling memberikan perhatian satu sama lain. Entah itu memang tulus, atau hanya sekedar mencari perhatian.

''Bbm aku off. Kirimin nomor kamu dong, Sha. Aku gamau lost contact sama kamu.'' Bagas mengirimi Shalsa pesan. Yang beberapa menit kemudian dibalas oleh Shalsa.

''Minta ke Cindai aja nmr gw :p haha.'' Bagas diam sesaat.

''Ahhh.. Aku maunya langsung dari kamu Shalsaaaa..''

''Gue maunya lo minta sama Cindaiiii..''

''Ah kamu mah gitu.''

''Usaha dong,''

Bagas mengembuskan napasnya, bagaimana caranya ia meminta nomor Shalsa pada Cindai? Males banget, pikirnya.

''Ayolah, Sha. Kamu mah gitu sama aku ih, ngeselin deh.''

''Emang gue ngeselin, baru tau lo? Haha.''

''Biarin deh, biarpun kamu ngeselin tapi i love you :) mana nomornya ihhhh..''

''Masih aja lo gombal-,- dibilang minta aja sama Cindai!''

''Ih.. Kamu mah ga ngerti perasaan aku, Sha. Aku sayang tau sama kamu.'' Bagas menelan ludahnya susah payah saat mengetikkan kata itu pada Shalsa.

''Ah, masa? Kita belum pernah ketemu loh. Lo cuma tau gue dari foto aja.''

Bagas diam, ia tak membalas. Ia hanya membaca pesan itu, lalu segera keluar dari akun Facebooknya.

Kalo bukan karena gue butuh lo, gue ga bakal sampe mohon-mohon gini deh sama lo. Hhhh.., batin Bagas. Ia merebahkan tubuhnya. Lalu memainkan ponselnya. Dengan tidak disengaja, ia menekan call pada nomor Cindai. Setelah tersambung beberapa detik, Bagas tersadar dan segera mematikan panggilannya.

''Duh.. Hampir aja..'' dan beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar.

From : Ndut sayang

Kenapa misscall? Lagi di charger tadi hpnya.


Bagas tak membalas, ia hampir loncat kegirangan. Mendapati gadis kesayangannya itu mengirim pesan. Meski itu berawal dari ketidaksengajaan. Tangan Bagas bergetar, beberapa kali ia mengetikkan sebuah kata basa-basi. Namun, ia hapus lagi. Hingga pada akhirnya, Bagas membiarkan pesan itu tersimpan. Bukan tak ingin membalas, tetapi karena gejolak dihatinya sedang tidak sinkron dengan pikirannya. Ia khawatir, nanti semua jadi kacau. Dan, Bagas malah salah bicara. Jadi, ia biarkan begitu saja.


---


Keesokan harinya, Cindai berangkat lebih awal. Ia tak ditemani Chelsea kali ini, tapi oleh Bidi. Sahabat karibnya sejak SMA, mereka bertemu sore kemarin, di taman komplek. Menghabiskan sore hari dengan bernostalgia.

''Thank's, Bid. Udah anter gue, makin ganteng aja lo! Hahaha.. Beda sama dulu, dekil dan ga macho. Tapi, kalo sekarang udah beda, secara anak kuliahan, haha..'' ucap gadis itu sambil tertawa. Ia mengucapkannya lurus-lurus saja. Tanpa memikirkan perasaan Bidi yang tengah membuncah.

''Haha iya dong, gue ganteng kan sekarang? Gimana? Lo udah naksir gue belom? Hahha..'' candanya. Tidak, dalam hati Bidi itu bukanlah sebuah candaan.

''Suka dong, suka banget. Lumayan buat di ajak kondangan, tampang lo ga malu-maluin banget. Hahaha..'' balas Cindai lagi. Hati Bidi terasa menjerit. Astaga, andai aja lo suka beneran, batinnya.

''Haha sialan, lo. Eh? Nanti pulang kuliah jam berapa? Mau gue jemput?'' Cindai berhenti tertawa, ia menatap Bidi.

''Hmmm.. Baiknya deh, tumben.. Kangen, ya? Haha.. Boleh, deh. Lo jemput gue jam 2, ya?'' ucap Cindai sambil menepuk bahu Bidi. Memberikan efek yang sangat luar biasa untuk Bidi. Hatinya berdesir hebat. Kakinya terasa lemas.

''Oke, Bye Chubby.'' ucapnya setenang mungkin. Ia memakai helm, lalu menstarter motor ninja biru miliknya.

''Oke.. Hati-hati, Bid.''

''Iya, see you later, Ndai. Belajar yang bener, yaaa..'' pamitnya, Cindai mengangkat kedua jempol tangannya. ''Sipp, dua jempol buat lo. Hati-hati, dah..'' Bidi membalasnya dengan sebuah anggukan. Cindai menyempatkan untuk melaimbaikan tangan pada Bidi, dan di balas cepat oleh Bidi. Ketika Bidi sudah tidak terlihat lagi dalam pandangan Cindai, gadis itu segera melangkahkan kaki, pergi dari tempat itu.

Dan, tanpa disadari. Di ujung sana, terlihat dua pasang mata tengah melihat Cindai dan Bidi.

Ternyata, dua pasang mata itu milik Bagas dan Karel. Mereka tak sengaja melihat Cindai yang datang pagi-pagi dengan diantar oleh pria.

''Kayaknya, Cindai beneran udah move on dari lo,'' Karel beropini.

''Ga mungkin, mana bisa di move on dari gue.'' sergah Bagas. Karel menoleh cepat.

''Tau darimana lo? Dia sendiri yang bilang sama lo waktu itu, kan?''

''Bisa aja itu cuma alibi, pura-pura, padahal didalam hatinya dia masih sayang gue. Namanya juga cewek, pasti gengsi mau bilang masih sayang.'' Karel mengerutkan kening, lalu menarik sudut bibirnya. Menatap Bagas dengan tatapan sinis.

''Itu bukannya lo, ya? Lo lagi ngomongin Cindai, apa ngomongin diri lo sendiri?'' sindirnya, Bagas menatap Karel tajam.

''Maksud, lo? Gue gitu yang ga bisa move on dari dia? Gue yang pura-pura udah move on padahal gue masih sayang dia? Gitu maksud lo?''

''Gue ga ngomong gitu, itu lo yang ngomong ya..'' jawab Karel santai, Bagas terdiam. Karel tersenyum penuh kemenangan.

''Lagian, udah kebukti, ko. Pagi-pagi aja Cindai udah dateng, sama cowok ganteng banget lagi. Sambil wajahnya berbinar-binar gitu. Ya.. Ciri-ciri orang jatuh cinta,'' ucapnya sengaja memanas-manasi Bagas. Yang sedari tadi diam, dingin.

''Gantengan gue kemana-mana kali! Gue juga punya gebetan, tuh! Cantik, satu kampus loh sama kita!'' ucapnya pamer.

''Siapa? Si Shalsa?'' tanya Karel sambil mengangkat sebelah alisnya. Bagas mengangguk bangga.

''Cihh, cewek kenal di pesbuk aja bangga. Itu juga lo kenal dari pesbuknya si Cindai. Belum pernah ketemu. Kayak ga ada cewek lain aja. Mentok-mentok deketin temennya si Cindai!'' komentar Karel enteng. Bagas merengut, ''Lo kayaknya ga seneng amat, sih. Sahabat lo bahagia?'' Karel tak menjawab, ia malah berlalu meninggalkan Bagas.


* * *

Karel dan Chelsea sedang makan siang di kantin, tanpa Cindai dan juga Bagas. Memang sejak mereka putus, Karel dan Chelsea jarang makan besama lagi. Tentu saja jarang, mungkin bahkan tidak pernah. Jarang pasangan yang sudah menjadi mantan itu bisa berteman seperti dulu.

''Cindai beneran udah move on, ya?'' tanya Karel pada gadis bermata sipit itu.

Gadis itu mengangkat bahu, ''Entah, Cindai udah jarang cerita sama aku. Dia lagi deket sama si Bidi. Tapi, setau aku sih, Bidi itu temen SMAnya dia.'' jelas Chelsea sambil menyeruput kuah bakso. Mencicipi apakah rasanya sudah pas, atau kurang sesuatu.

''Emm.. Gitu. Tapi, kalo dari penglihatan aku selama ini, sih. Keliatannya si Bidi itu naksir Cindai. Apa mungkin mereka berdua udah jadian kali, ya? Tanpa sepengetahuan kita?'' ucap Karel menerka-nerka.

''Ga mungkin, Cindai itu kalo jadian sama orang pasti cerita ke aku,'' jawab Chelsea.

''Emm.. Iya juga, ya. Eh, kamu kenal sama Shalsa?'' Chelsea yang mulanya sedang mengunyah, tiba-tiba diam. Menatap kekasihnya curiga.

''Jangan salah paham, aku cuma nanya. Soalnya si Bagas lagi PDKT sama tuh cewek.'' ucap Karel cepat-cepat. Karena risih melihat tatapan Chelsea yang seperti hendak memakannya itu. Terlebih, gadis itu tengah kelaparan saat ini. Dan, gadis itu terkejut dengan pernyataan Karel.

''Serius? Shalsa Dea Putri?''

Karel menerawang, ''Iya itu, kayaknya. Kenapa? Ko kaget banget?''

''Gapapa.. Udah yuk cepetan makannya. Bentar lagi dosen masuk kelas, nih..'' Karel curiga pada kekasihnya, sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan. Ia hendak bertanya, tapi tak enak hati bila harus merusak nafsu makan sang kekasih. Maka di urungkanlah niatnya itu. Lain kali aja deh, pikirnya.


Siang ini, Bagas tidak masuk kelas. Ia bolos dan memilih pulang ke rumah. Entah kenapa, hari ini moodnya sedang tidak bagus. Ia segera mengunci kamar, dan merebahkan tubuhnya di sofa. Bagas membukan akun Facebooknya, ia melihat Shalsa sedang online. Apakah gadis itu tidak kuliah?

''Hai, Sha. Tumben on, ga kuliah?''

''Engga, Gas. Lagi sakit.''

''Kamu sakit apa? Udah makan? Udah minum obat?''

''Sakit hati.''

Bagas mencelos membacanya.

''Aku kira kenapa, kan ada aku. Hehe.. Sal, aku sayang banget sama kamu.. Kamu mau jadi pacar aku, kan?''

''Cinta butuh waktu, Gas. Ga bisa secepat itu. Haha.''

''Please, aku beneran sayang kamu, cinta kamu.''

''Haha masa sih? Yakin? Gue ga enak ah sama Cindai.''

''Ya ampun, beneran. Aku udah 100% move on dari dia.''

''Haha masa sih? Nanti kalo Cindai nya masih suka sama lo gimana?''

''Ya aku tetep pilih kamu lah, mau Cindai masih suka sama aku juga aku ga peduli. Aku sukanya sama kamu, cintanya sama kamu. Aku udah ga peduli sama Cindai.''

''Haha, dia kan mantan lo yang lo sayang banget, kan? Hampir 2 tahun kalian pacaran. Yakin udah move on?''

''Terserah kamu deh Sal, mau percaya aku apa engga. Yang penting I Love You :).''

Shalsa tak membalasnya lagi, gadis itu langsung offline. Sepertinya malas membalas pesan Bagas. Sebenarnya, ia juga menyukai Bagas. Terlebih saat Shalsa melihat foto Bagas. Terlihat bahwa Bagas memang tipenya.
Namun, ia ingin mengetes apakah pria itu benar-benar menyukainya, atau hanya modus saja? Apalagi sekarang sedang marak pria modus dimana-mana. Dan, Bagas terdiam sesaat. Menatap layar ponselnya cukup lama, ia menunggu balasan dari Shalsa. Ia kesal, karena hanya dilihat. Ia benar-benar butuh pelampiasan saat ini. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia masih sangat mencintai Cindai. Namun, apa daya. Ia selalu berkata, ''Semuanya sudah terlambat.'' dan Karelpun selalu berkata, ''Bilang aja gengsi!''

Pria tampan idaman semua wanita itu duduk di balkon. Mencari kesejukan pada setiap angin yang berembus. Hati dan logikanya selalu bertolak belakang. Gengsi dan Cinta selalu berebut tempat, hingga akhirnya gengsi mengalahkan cinta.

''Apa lo beneran udah move on dari gue, Ndai? Kayaknya makin hari gue liat lo makin lengket sama si ninja biru, hhhh..'' Bagas menjambak rambutnya, frustasi.


---


Minggu kedua, Cindai dan Bidi makin lengket. Ada apa dengan mereka sebenarnya? Sepertinya, Cindai benar-benar telah move on. Chelseapun tak tau. Namun, ada satu fakta yang Chelsea ketahui soal keputusan Bagas tempo hari. Saat pria itu memutuskan hubungannya dengan Cindai begitu saja.

''Hah? Jadi, Bagas mutusin Cindai karena disuruh sama Tante Elena?'' tanya Chelsea tak percaya.

''Iya.. Terus seling beberapa hari, Tante Elena telpon Bagas. Minta maaf gitu, terus beliau bilang mau cabut perkataannya.''

''Cabut perkataannya yang nyuruh Bagas Cindai putus, gitu?'' Karel mengangguk. ''Parah! Sayangnya mereka udah putus, hhh... Cindai harus tau..''

''Kalo gitu kita bantu mereka balikan gimana? Mumpung Bagas belum jadian sama Shalsa,'' Chelsea menyetujui saran kekasihnya.

''Lagian, aku ga suka aja Chels. Si Bagas malah deketin cewek-cewek yang bisa di bilang temen Cindai meski ga deket.'' Chelsea tercengang.

''Oh, ya? Serius? Siapa aja?'' Karel tampak menerawang, dahinya tengah berkerut.

''Kayaknya si Bella pernah, Misel pernah, Shalsa ini yang terakhir. Kayak ga ada cewek lain aja tau ga. Idih,'' ucap Karel kesal. Chelsea diam, ia jelas sangat terkejut, bagaimana bisa? Mereka semua satu genk. Chelsea mendengus, ''Hhh.. Bagas! Gila ya tuh cowok!''

---

Terik di siang hari ini begitu menyengat, beberapa kali pria tampan ini menyeka keringat yang bercucuran di dahinya.

''Sumpah, ya. Panas bener daaaah..'' ucapnya sambil mengibas-ngibaskan tangan, berharap ada sedikit angin yang keluar.

''Nih..'' sesorang memberikan sapu tangan. Bagas mendongak, melihat pemilik tangan indah nan mulus itu.

''Cindai?'' gadis itu tersenyum ramah, lalu menatapnya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Bagas membalas senyuman itu, lalu perlahan mengambil sapu tangan yang Cindai berikan. Namun, semakin Bagas mencoba mengambil sapu tangan itu, sosok Cindai semakin menjauh. Sulit untuk Bagas menggapai jemari gadis itu. Ia semakin menjauh.. jauh.. dan jauh.. Bagas menggelengkan kepalanya keras.

''Sial! Gue ngigo!'' Bagas mendengus kesal, ia tersadar bahwa itu hanyalah sebuah khayalan belaka. Bagas menendang kerikil dengan keras. Kesal. Itu yang ia rasakan saat ini.

GUE GA BETAH LAMA-LAMA JOMBLO! Jeritnya dalam hati.

Cindai memperhatikan Bagas dari jauh, akhri-akhir ini gadis itu memang mengikuti Bagas. Mencari-cari aktivitas mantan kekasihnya itu. Dan mengikuti kisah cinta Bagas yang mendapati beberapa penolakan.

Sekarang ngerasain kan? Gimana rasanya dicampakkan? Ucap Cindai dalam hati. Ia tersenyum tipis, lalu berlalu, membiarkan Bagas dengan segala kejenuhannya. Di sepanjang koridor, wajah Bagas membayangi setiap langkah gadis itu. Ia begitu merindukan sosok Bagas, sosok baru dalam hidupnya tidak bisa menganggantikan sosok Bagas.

Cindai terhenti, ada yang menutup matanya dari belakang. Hati Cindai berdesir, biasanya Bagas yang melakukan ini.

''Duh.. Siapapun ini, lepasin dong,'' ucapnya tak bersemangat. Ia tak berani menebak kalau itu Bagas. Karena ia tahu, itu tidak mungkin. Cindai melepaskan kedua telapak tangan itu, lalu membalikkan tubuhnya.

Bagas?! Cindai terbelalak, matanya membulat maksimal. Ditatapnya pemilik kedua mata teduh itu cukup lama.

''Ndai? Hallo?? Ko malah bengong, sih?'' Cindai tersadar, setelah beberapa menit ia terdiam. Matanya mencari sosok itu.

''Kamu nyari siapa?'' tanya pria yang membuat ia tersadar. Itu bukan Bagas.

''Eh? Hai Bid.. Aku kira siapa hehe..'' ucapnya tersenyum hambar. Benar, tadi itu bukan Bagas. Tadi hanyalah bayangan Bagas.

''Kamu kenapa? Keliatannya kurang sehat?'' Bidi menyentuh kening Cindai, lalu menggengam jemari gadis itu. ''Kamu sakit?'' Cindai menggeleng.

''Aku gapapa.. Kamu ko di sini? Ga kuliah?''

''Udah pulang, hhe..,''

''Loh? Ga ada kelas?'' Bidi menggelengkan kepala. ''Ga ada cantik,'' ucapnya seraya mengacak lembut poni gadis itu. Gadis berambut yang sengaja dikuncir kuda itu tersenyum tipis.

''Kamu udah selesai kuliahnya, kan? Pulang yukk,'' ajak Bidi. Cindai mengangguk. Bidi menggenggam jemari gadis itu lembut. Dan, gadis itupun membalasnya.

Cindai memiringkan wajahnya, sepertinya ia melihat seseorang tadi.

** *

Ini sudah minggu ke tiga, Bagas makin tidak tahan dengan kejombloannya. Hari-harinya dijalani dengan suram. Kenangan Cindai melekat erat dihati pria ini. Kemanapun ia melangkah pergi, kenangan itu ikut serta menemani. Membuat Bagas semakin tersiksa, ditambah lagi sang kenangan seringkali terlihat bergandengan dengan sang ninja biru.

''Udah sih, ajak balikan aja si Cindai,'' Chelsea angkat bicara, Bagas hanya diam, tak menanggapi ucapan Chelsea. Setiap Karel dan Chelsea berusaha membicarakan hal ini, seolah-olah Bagas menjadi orang budeg. Wajahnya selalu datar.

''Batu banget sih, lo! Munafik tau ga! Hilangin tuh rasa gengsi lo,'' ucap Karel kasar, Bagas tetap tak menggubris. Ibaratnya, masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Tapi, kalau menurut Karel, Bagas itu menganggap ucapannya masuk lewat mulut, keluar lewat bokong.

''Gue capek jadi jomblo mulu, gue pengen punya pacar. Kalian jauh-jauh dari gue kek. Biar gue ga nyesek-nyesek amat jadi jones,'' akhirnya Bagas angkat bicara.

''Hhhh.. Berulang kali lo ngomong gitu! Gue bosen dengernya,'' desah Chelsea. ''Kan gue udah bilang, kalo emang cinta, lo kejar lagi si Cindai. Lagian kan ini bukan sepenuhnya keinginan lo putusin dia, kan? Daripada lo ngejar si Shalsa yang belum lo tau wujudnya, mendingan lo kejar lagi cinta si Cindai!'' ucap Karel panjang lebar. Bagas diam sesaat.

''Lo mikir dong, Rel, Chels. Si Cindai udah punya pacar!''

''Siapa? Bidi?'' tanya Chelsea. Bagas mengangguk lemah.

''Mereka ga pacaran,'' ucap Chelsea dan Karel bersamaan. Bagas menarik sebelah alisnya, menatap keduanya secara bergantian.

''Kata siapa?''

Tak ada satupun yang menjawab, Kedua psangan ini saling bertatapan. Bingun harus jawab apa. Bagas mendengus kesal.

''Makanya kalo gatau, jangan sok tau!''


Chelsea berniat untuk bertanya pada Cindai, malam ini juga. Merekapun sudah janjian. Dengan tidak ditemani Karel, Chelsea membawa motor matic miliknya. Demi misi yang direncakan bersama sang kekasih, Chelsea merelakan malam minggu ini tanpa Karel.

20 menit kemudian, Chelsea sampai di rumah Cindai. Beberapa kali ia menekan bel, namun tidak ada jawaban.

Ndai, gue udah sampe depan rumah, nih!

Send.

Beberapa menit setelah sms itu terkirim, Cindai keluar dengan muka bantal.

''Loh? Chels, udah sampe?'' tanya gadis itu dengan polos, sesekali ia menguap.

''Dari tadi.'' balasnya singkat, Cindai yang sudah mengetahui sahabatnya ini bete, langsung mengajaknya masuk. Sekarang, mereka sudah berada di kamar Cindai. Kamar yang sudah jauh lebih rapih di banding dengan hari saat pertama kali ia patah hati. Beberapa lama mereka saling terdiam, Cindai banyak melamun, begitupun Chelsea. Hanya suara jam dinding yang mengiringi kebisuan.

''Udah berapa lama ya, gue ga main ke kamar lo,'' Chelsea memecah keheningan di antara mereka.

''Dan, udah berapa lama juga ya, gue ga cerita-cerita sama lo,'' balas Cindai yang masih memandang lurus ke depan.

''Entah, sejak saat itu.. Lo jarang curhat ke gue, lo lebih sering diem. Tapi, gue perhatiin, lo lagi deket sama cwo, ya?'' tanya Chelsea pura-pura tak mengetahui. Kembali pada niat awal, pikirnya.

Cindai tersenyum tipis, ''Bidi maksud lo? Ya, gitu deh. Tapi, kita cuma temen, ko..''

''Hmmmh, Bidi temen SMA lo, kan?'' Cindai mengangguk.

''Gue bingung, Chels.. Gue gatau sebenernya perasaan gue itu kayak gimana sama Bidi. Gue bingung..'' gadis itu kini menundukkan kepala, rambut yang ia biarkan tergerai menutupi wajahnya. Chelsea mendekat, dan duduk di samping Cindai. Lalu, Dirangkulnya sahabatnya itu.

''Gue sayang sama Bagas, sosok Bidi itu ga bisa gantiin posisi Bagas. Gue sama Bagas udah hampir 2 tahun. Menurut gue itu udah lumayan lama, beberapa minggu lagi, gue sama dia Anniv. Lebih tepatnya, Failed Anniv.'' Cindai menutup seluruh wajahnya, ia menangis. Chelsea sangat mengerti perasaan sahabatnya ini.

''Jangan nangis dong, Ndai. Semua masih bisa diperbaiki, kan?'' Cindai menggeleng lemah.

''Ga mungkin, Bagas lagi deket sama Shalsa, kan? Temen SMP kita. Ah, Bagas juga yang putusin gue, jadi ga mungkin.''

Chelsea mendesah, ''Gue tau alasan Bagas putusin lo,'' Cindai menoleh cepat, menatap kedua mata Chelsea. Chelsea tersenyum, siap menjelaskan semuanya pada Cindai. Tanpa melebih-lebihkan, atau mengurangkan kenyataan yang ada.


***


Semua berubah, setelah Cindai mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Bukan bertambah baik, tetapi malah bertambah buruk. Itu membuat Chelsea dan Karel merasa bersalah. Cindai semakin menutup diri, dari siapapun. Bahkan, dari Bidi. Beberapa kali Bidi menemui Chelsea menanyakan kabar Cindai, namun jawabannya selalu sama.

''Ini semua salah aku,'' ucap Chelsea tertunduk lemah. Karel menggenggam jemari gadis sipit itu dengan erat, lalu, menyandarkan kepala Chelsea pada dada bidangnya. Chelsea terisak dalam pelukan Karel.

''Udah, jangan nangis.'' ucap Karel seraya membelai rambut gadisnya itu.

''Kalo aku ga bilang apapun sama Cindai, semuanya ga akan jadi kayak gini,''

''Tapi, kalo ga gini, Cindai ga akan tau yang sebenarnya, kan?'' Chelsea hanya diam, Karel tak tega melihat gadisnya terus saja menangis. Karel mendekap tubuh Chelsea lebih erat, berharap Chelsea akan merasa lebih tenang.

---

Bagas sedang duduk di taman. Sendirian. Upayanya untuk mengejar Shalsa pupus sudah, karena gadis itu sudah memiliki kekasih. Demi apapun, ia tak betah menjadi jomblo. Ia ingin segera punya pacar. Pun ia tau, bahwa hatinya hanya butuh pelampiasan. Beberapa perempuan yang ia dekati, entah kenapa selalu menolaknya. Ia selalu bertanya dalam hati, apakah ia kurang tampan? Sampai-sampai mereka menolaknya, atau... Ia kurang memesona? Tidak, nuraninya berkata tidak. Ini soal hati, Gas. Bukan soal ketampanan atau apapun itu yang berhubungan dengan fisik. Bagas mengembuskan nafas perlahan. Dihirupnya udara di sore hari, rasanya tetap sama, sesak. Segala kenangan indah terputar dengan jelas dalam benaknya, dalam memori otaknya.

''Gue harus gimana sekarang...'' Bagas tersenyum getir, benar kata Karel, ia munafik. Iapun tak mampu berlama-lama bersembunyi dibalik hatinya yang begitu merindukan sosok Cindai.

''Lo kejar Cindai, mumpung dia belum jadian sama Bidi,'' Bagas tersentak, mendapati Karel yang sudah duduk tepat disampingnya.

''Sejak kapan lo di sini?'' tanya Bagas tak merespon ucapan Karel tadi.

''Sejak lo sadar kalo lo itu cowok yang paling bego,'' ucap Karel cuek. Ia membuang pandangannya ke segala arah. Bagas diam membisu, ia bersandar pada bangku taman panjang, tempatnya dulu besenda gurau bersama Cindai.

''Hari ini, lo Anniv ke dua tahun, kan?''

''Failed Anniv,''

''Kesempatan buat lo, bego! Lo bisa ajak dia balikan pas Anniv kalian hari ini. Kalo kalian terus kayak gini, terus kapan selesainya ini masalah!'' Bagas tidak merespon. Karel memutar bola matanya.

''Terserah mau apa ngga, ini kesempatan. Kalo lo mau, nanti malem temuin gue, di rumah gue. Sebelum semua terlambat, Bidi lagi mempersiapkan semuanya buat nembak Cindai, hari ini.'' jelas Karel penuh penekanan. Bagas tertegun, ditatapnya Karel yang sudah pergi menjauh. Ucapan Karel terus terngiang di kepalanya. Diliriknya jam tangan pemberian Cindai itu. Bagas tersenyum, sampai saat ini, jam itu selalu melingkar indah pada pergelangan tangannya.

Pukul 17:15. Bagas segera bangkit, tekadnya sudah kuat sekarang. Ia lawan rasa gengsi yang telah menggerogoti separuh hatinya.

---

Tepat pukul 7 malam, Bagas sudah berada di rumah Karel. Ternyata Karel telah mempersiapkan semuanya dengan baik.

''Nih, pake ini,'' Karel memberikan sebuah gitar pada Bagas.

''Buat apaan?'' tanya Bagas heran.

''Gue tau, meski lo jelek, suara lo bagus. Gue jujur,'' cibir Karel.

''Lo muji gue, atau hina gue, sih? Lagian lo ga jujur namanya. Lo tau gue ganteng, tapi lo ga pernah mau mengakuinya,''

''Jelas engga, lah. Gue kan cowok, masa mau bilang lo ganteng, ewwhh.. Engga banget,''

''Terus? Kalo lo cowok, terus lo bilang gue ganteng apa masalahnya?''

''Masalahnya, gue berarti menghina diri gue sendiri, kalo gue anggep lo itu ganteng.'' Bagas mengangkat bahu tak peduli, dilingkarkan tali gitar itu pada lehernya.

''Gue ke sini, mau mengejar cinta lama gue. Bukan mau berdebat sama bulepotan macam lo!''

''Jadi, sekarang udah ga gengsi lagi, nih? Ga munafik lagi?'' sindir Karel. Bagas membalasnya dengan senyum.

''Engga, dong.''


---

Bagas tengah berada di taman, sendirian, lagi. Karena Karel meninggalkannya. Lilin yang telah di dekorasi sedemikian rupa menambah lengkap persiapannya hari ini. Meski, bukan Bagas yang mempersiapkan semuanya.

Ia telah menyiapkan kata-kata indah untuk Cindai, dan juga lagu yang dulu sempat ia nyanyikan di kelas. Satu jam Bagas menunggu, Cindai tak kunjung datang. Ia tersadar, ia tidak pernah berjanjian sebelumnya dengan Cindai. Ia merogoh ponsel pada saku celanya.

''Halo, Gas? Kenapa?'' ucap Karel disebrang sana. Ternyata Bagas menelpon Karel.

''Gue udah nunggu sejam! Cindai ga ada! Lo ga ngerjain gue, kan?''

''Hah? Masa, sih? Sayang, Cindai udah berangkat, kan? Tuh kata Chelsea udah,''

''Tapi Cindai ga ada!''

Bagas mematikan ponselnya, ia menggerutu, kesal. Kemana gadis itu?

Sudah 3 jam Bagas menunggu Cindai. Ia benar-benar sabar kali ini. Tunggu 1 jam lagi, deh, gumam Bagas. Langit terlihat mendung, meski malam semakin larut, ia tetap bisa mengenali ciri-ciri hujan. Beberapa kali, suara petir menggelegar ditelinganya. Dan ... Hujanpun datang. Bagas berlari ke arah lilin, mencoba melindungi dari hujan. Namun, tetap tak bisa.

''Maaf, Ndai,'' lirihnya. Ia menangis di sana. ''Seharusnya gue tau, lo ga akan dateng, Ndai,'' ucap Bagas.

Ia terduduk ditengah lilin yang sudah padam.

''Melewatkanmu.. Di lembaran hariku..'' Bagas menangis pada lirik pertama, wajah Cindai terbayang lagi. Ia sadar semua sudah terlambat. Namun, ia akan tetap menunggu Cindai. Bahkan, sampai esok haripun ia akan tetap menunggu Cindai.

''Selalu terhenti.. Dibatas senyumanmu..
Walau berakhir.. Cinta kita berdua..
Hari ini tak ingin dan selalu berdusta..

Melupakanmu.. Takkan mudah bagiku..
Selalu ku coba.. Namun aku tak mampu..
Membuang semua.. Kisah yang telah berlalu..
Disudut relung hatiku yang membisu..
Ku merindukanmu..'' Bagas menyanyikan lagu untuk Cindai, meski ia tau itu percuma. Cindai tidak ada di sini.

''Harusnya ku telah melewatkanmu..
Menghapuskanmu dari dalam benakku..
Namun ternyata sulut bagiku..
Merelekanmu pergi dari hatiku..

Selalu ingin dekat tubuhmu..
Namun aku tak bisa..
Karena kau telah bahagia..'' hujan semakin deras, Bagas tak menghentikan nyanyiannya. Dirasakan, sebuah tangan halus melingkar indah pada pinggangnya. Terdengar suara isakan, meski hujan mengalahkan suara itu. Bagas menoleh cepat.

''Cindai!'' Bagas menyingkirkan gitarnya, lalu ditatapnya Cindai tak percaya. Ia menyentuh kedua pipi gadis itu, lalu mendekap tubuh Cindai dengan erat. Terlihat seseorang berjalan menjauh, ternyata itu Bidi.

''Ndai, Maafin aku,'' ucap Bagas seraya membelai rambut Cindai. Ia merindukan hal ini.

''Aku yang minta maaf, udah biarin kamu ujan-ujanan di sini,'' balas Cindai ditengah isakannya. Mereka terdiam cukup lama, menikmati pelukan hangat ditengah hujan, dengan penuh kerinduan.

''Harusnya aku telah melewatkanmu..
Menghapuskanmu dari dalam benakku..
Ooo.. Namun ternyata sulit bagiku..
Merelakanmu pergi dari hatiku..
Selalu ingin dekat tubuhmu..
Namun aku tak bisa.. Namun aku tak bisa..
Karena kau telah bahagia..'' Bagas menyanyikan reff terakhir tanpa gitar, suara Bagas bergetar. Cindai semakin terisak.

''Aku ga bahagia, tanpa kamu, Gas,'' ucap gadis itu dengan suara parau. Bagas melepas pelukannya, meski Cindai menolak. Di tatap kedua mata coklat itu penuh kerinduan.

''Happy Failed Anniv, Ndai. Aku sayang kamu, aku minta maaf, ya. Kalo selama ini, aku ga bisa jadi yang terbaik buat kamu, aku minta maaf, karena udah putusin kamu, aku minta maaf...'' Cindai meletakkan jari telunjuknya tepat di depan bibir Bagas.

''Sstt.. Aku udah tau semuanya, maafin aku yang selama ini malah diam. Maafin aku, aku telat datang ke sini. Maafin aku, udah buat kamu nunggu lama.''

Bagas tersenyum bahagia, masih tak percaya bahwa Cindai sudah berada dihadapannya. ''Aku sayang kamu, kita ulang lagi dari awal, ya?'' Cindai mengangguk, Bagas benar-benar bahagia malam ini. Ia mendekap lagi tubuh Cindai, lebih erat dari sebelumnya. Bagas mengecup lembut pucuk kepala Cindai berulang kali, hujan turut serta menjadi peran pada malam ini.

Dirasakannya, sebuah payung besar melindungi mereka. Mereka mendongakkan kepala secara bersamaan, didapatinya sosok Bidi, Karel, dan Chelsea. Tengah tersenyum.

''Makasih buat kalian,'' ucap Cindai sambil terus menggenggam tangan bagas.

''Jangan peluk kita, ya? Kalian basah,'' jawab Chelsea sambil tertawa. Bidi menatap Cindai, lalu bergantian menatap Bagas.


''Gue seneng liat kalian seneng, gue sadar, Cindai cintanya sama lo, Gas. Cocoknya sama lo, selamat ya buat kalian. Gue ikut seneng,'' ucap Bidi tulus.

''Gue juga seneng, liat lo sama Cindai bersatu lagi. Kalian nyusahin diri sendiri tau, gak!'' ucap Karel, mereka semua tertawa renyah.

''PUTUS? BISA MOVE ON, GAK?'' ucap Bidi, Karel dan Chelsea secara bersamaan. Bagas dan Cindai tertawa, lalu saling menatap satu sama lain. Mereka menarik lengan kedua sahabatnya itu, dan juga Bidi. Mengajaknya menikmati hujan dimalam hari. Meski, mendapati protes beberapa kali.

Cinta, satu kata penuh makna.
Cinta, satu kata penuh rasa.
Cinta bisa datang pada siapapun dan kapanpun. Bisa datang dan pergi kapanpun. Cinta itu merupakan anugerah dari Sang Maha Kuasa, setiap orang mempunyai cara berbeda untuk mengungkapkannya. Jangan takut jatuh cinta pada orang yang sama, kalau memang kau masih mencintainya.



END.

KUMPULAN SHORT STORY dan PUISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang