Ini tak pernah terbayang dalam benakku. Tidak dalam mimpi maupun angan-angan tergilaku.Baju pengantin seperti ratu, dekorasi mewah yang hanya aku lihat dalam majalah-majalah mahal atau infotainment, tamu-tamu dengan busana mewah, dan dandanan sekelas artis. Dimana ini? Aku mungkin sedang berada di negeri dongeng?
Ah, tidak. Ini kenyataan. Inilah pesta pernikahan aku dan Deva.
Semuanya indah, hampir sempurna.
Hampir sempurna jikalau saja Ibu mertuaku itu mau sedikit saja tersenyum.
Tapi wajah itu nampak begitu kaku. Semua orang tahu, ia disini karena terpaksa. Matanya tak pernah menatap langsung padaku. Baik ketika acara akad, sungkeman, hingga saat ini.
Tapi inilah konsekuensi yang aku dan Deva telah sepakati. Sama sekali tak masalah buatku.
Aku mengamati hamparan tamu yang jumlahnya sekitar... entahlah. Mungkin 500 orang? Secara undangan yang kami--maksudku Deva--sebar sekitar 2000 helai. Dan setiap tamu yang datang semua membawa pasangan atau keluarga. Jadi, berdiri selama 8 jam menyalami ribuan orang adalah sesuatu yang luar biasa jika tak ingin dibilang musibah. Tapi rasa pegal ini cukup terobati kala melihat dan bersalaman dengan beberapa artis ibukota yang hadir.
"Ssst, kamu kenal dimana?" Aku menyikut Deva ketika salah satu penyanyi kenamaan baru saja selesai menyalami kami.
Deva mengedikkan bahu. "Ibuku."
Sebelah alisku terangkat. Luar biasa sekali Nyonya Wulandiara ini, benar-benar sosialita sejati. Tidak sembarang orang bisa mengundang artis kawakan yang baru saja berlalu tadi.
Aku melirik ke sebelah kanan, di mana orangtuaku duduk dengan risih. Pandangan mereka beradu membagi kegelisahan dan rasa kikuk. Terlihat tetap sederhana meski pakaian mewah disematkan pada keduanya. Ingin sekali aku memeluk mereka, tapi prosesi ini masih tersisa satu jam lagi.
Deva dan orangtuanya melamarku seminggu sebelum pernikahan kami. Semua serba kilat. Aku dan orangtuaku pikir, sesuatu yang serba kilat akan sangat sederhana. Namun tidak dengan keluarga ini. Uang bisa mewujudkan apapun bahkan dalam sekejap mata.
Kali ini, aku melirik ke sebelah kiri, dimana orangtua Deva duduk bersanding diliputi aura ningrat yang sulit ditutupi. Om Suharta dan tentunya ibu mertuaku tercinta, tante Wulandiara yang terlihat sangat menawan meski dengan wajah suram.
Seperti tahu kalau aku sedang memerhatikannya, sejurus kemudian matanya tepat membidik ke arahku. Kaget, aku membalasnya dengan senyum ala menantu idaman. Percuma, ia malah melengos.
It's okay.
******
Dua minggu sebelumnya....
Matahari baru saja lengser dari peraduannya di puncak sana. Teriknya mulai samar, juga kadang tertutup oleh awan yang melintas. Aku menyaksikan itu semua dari balik dinding kaca, duduk menunggu di pojok ruangan dengan segelas capuccino yang telah diblender bersama butiran es.
Kafe 24 jam full AC yang ruangannya tertutup rapat ini sangat kontras dengan keadaan di luar sana yang membakar. Peluhku yang berkejaran tadi ketika turun dari angkutan umum, perlahan mengering tanpa perlu repot-repot kuseka. Kulitku yang putih membuat berubah menjadi kemerahan.
Pintu kafe terbuka dan seorang pria mengedarkan pandang ke seluruh ruangan sebelum matanya tertumbuk padaku, lalu mulai berjalan ke arahku.
"Hani," Deva menarik kursi sebelum menaruh dirinya di sana sambil menghirup napas dalam-dalam menghalau lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Pernikahan Cinderella
RomanceRahania Calandra, terpaksa menjajakan ginjalnya dengan harga 150juta kepada para pengusaha, untuk membayar kehilangan mobil perusahaan ekspedisi di mana ia bekerja dan bertanggungjawab. Namun, alih-alih membeli ginjalnya, seorang pengusaha muda bern...