2. Seatap Dengan Mertua Killer

17 2 1
                                    


"Kamu tidak usah menjual ginjalmu. Menikah saja denganku. Aku sedang mencari calon istri."


Pria itu begitu percaya diri. Tak bisa kututupi, aku merasa sangat terhina. Dipikirnya, aku wanita yang bisa dibeli. Aku hanya menjual ginjalku, bukan seluruh bagian anggota tubuh!


"Maaf, perlu anda ketahui, ada hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. Mungkin banyak wanita di luar sana yang bisa anda beli, tapi itu bukan saya." Susah payah, aku mencoba tenang.


"Jangan salah sangka. Ini hanya untuk sementara. Saya berjanji, tidak akan menyentuhmu. Enam bulan, bagaimana?"


Aku menyipitkan mata berusaha mencerna kalimatnya. Enam bulan dan tidak sekalipun ia akan menyentuhku?


"Kenapa anda melakukan itu?"


Ia mengangkat bahu sekilas. "Klise. Menghindari perjodohan."


Pertemuan kami singkat saja. Deva membebaskanku untuk berpikir dan memberikan jawaban kapan pun. Namun ancaman customer yang hendak memenjarakanku jika tak bisa bertanggung jawab atas ganti rugi mobilnya yang hilang, membuatku tak mempunyai banyak waktu.


Dua hari setelah pertemuan itu aku memberikan putusan kepada sang pengusaha muda berusia 27 tahun tersebut.


I said, i do.


*********


'Tinitinitinitinitinitintinit.....'


Suara alarm membangunkanku. Sebetulnya aku tahu betul bahwa ini bunyi alarm yang ke sekian. Berdering selang sepuluh menit sekali. Namun bunyi nyaringnya kalah telak oleh kantukku yang maha dahsyat. Selepas menunaikan kewajiban tadi shubuh dengan setengah sadar, aku kembali menggelepar di atas kasur dengan masih mengenakan mukena.


Kira-kira pada dering ke seratus tujuh puluh enam barulah aku sanggup membuka mata. Secara sembarang, aku meraih jam digital yang masih meraung. Mengintipnya melalui mata yang masih setengah terpejam. Pukul 9 lewat 10 menit.


Perlahan kutegakkan tubuh yang terasa kaku, lalu melihat sekeliling.


Rupanya pernikahan mewah tadi malam memang nyata, dan semua masih sama. Aku pun tak berubah menjadi Upik abu.


Aneh sekali rasanya sendirian di kamar besar ini. Entah Deva sudah bangun sejak pukul berapa.


Sedikit malu, aku beringsut menuju kamar mandi. Mengingat perkataan ibu mertuaku semalam, bahwa di rumah ini tak pernah ada yang tidur pagi hari. Tapi justru pagi pertama di rumah ini aku tidur bagaikan mayat.Ibu mertuaku yang terhormat bisa semakin membenciku kalau seperti ini.

(Bukan) Pernikahan CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang