Jingga
Aku melihatnya ke kanan dan ke kiri, sepanjang permainannya ia tersenyum lebar, terlihat giginya yang sangat rapi, matanya yang bulat berbinar juga ikut tersenyum. Senyumnya yang .... Ahk aku tak sengaja memujinya. Aku malu sekali mengatakan ini, mengapa aku harus grogi saat awal ingin menyapanya. Memujinya dengan sebutan "kamu", kemudian memanggilnya dengan sebutan "kakak".
Saat pertama ia menolongku, ia hanya menyodorkan tanda pengenal yang bertuliskan "Perawat". Maka kutahu, ia tentu bukan pelajar atau mahasiswa. Tapi, jika kau melihatnya kini, di hadapanku sekarang, tentu ia masih cocok memakai seragam yang sama denganku, bahkan ia menjadi yang paling imut di antara teman-temanku yang belasan, meskipun pasti umurnya sudah kepala dua.
Sebenernya aku sudah memerhatikannya sejak lama, dia bahkan sudah kepergok 3X mengarahkan cameranya ke arahku, waktu rambutku sebahu, waktu rambutku cepak, terakhir saat kepalaku botak, saat itu, saat aku terjatuh dan ditolong olehnya.
Ia selalu ke sini sendiri, kecuali saat pertama aku melihatnya sekitar setahun yang lalu. Ia bersama seorang laki-laki duduk di kursi di bawah pohon kamboja. Kemudian ia memberikan sesuatu kepada si laki-laki yang entah apa. Lalu laki-laki itu meninggalkannya.
Jika kuperhatikan, ia ke sini setiap Hari Sabtu, pada jam yang sama, sekitar jam 17.00. Aku memang sangat hapal, karena memang aku ke sini setiap hari, semenjak pandemi, sore selalu kuhabiskan di taman ini.
Setiap kali ke sini, pada Sabtu di akhir bulan, ia selalu membawa bunga, bunga yang selalu ia tinggalkan di kursi bawah pohon kamboja. Bunga yang akhirnya selalu kubawa ke rumah, yang mengundang tanya mama dan papa, "Bunga dari taman lagi?"
Aku bilang kepada mama dan papaku, bahwa di taman setiap Hari Sabtu di akhir bulan aku selalu menemukan bunga, bunga yang hanya setangkai, yang tampaknya sudah penuh di pojok kamar.Jelegerrrrr...
Terdengar suara petir bergemuruh, gerimis turun, dan ya Tuhan... Ternyata, bukan hanya dua mataku yang berfokus pada permianannya, ada banyak pasang mata laki-laki bahkan perempuan yang memerhatikannya. Aku langsung mencari tempat untuk berteduh, di sini tidak ada lagi tempat untuk berlindung ketika hujan selain di bawah JPO Soedirman. Sementara itu, Matahari berbeda dengan yang lain, ia satu-satunya yang tetap asyik dengan permainannya.Hujan bertambah lebat, bajunya mulai basah, kemudian ia berjalan menenteng skateboardku, tampak sekali bahwa dia newbie. Semua orang di bawah jembatan memerhatikannya, sampai akhirnya ia memanggilku dengan cukup keras, atau lebih tepatnya berteriak sambil menghampiriku, "Jingga."
Semua mata pun tertuju pada kami berdua. Ia menggigil, giginya beradu, suaranya tak beraturan, tapi wajahnya selalu tersenyum.
"Teee.. Riii.. Makasih yah."Aku yang menenteng jaketku dengan cepat langsung kuletakkan pada badannya. Aku tak memerhatikan orang-orang lagi, karena tertunduk malu dan terkejut dengan suara rusuh, "Ciyeee. Dunia terasa milik berdua."
Kami semua menunggu hujan reda, sekitar kurang lebih satu jaman, tanpa basa-basi dan suara berisik sama sekali, kecuali suara petir yang beradu dengan suara kawan-kawanku. Habis kepalaku yang baru dibotak dijitak oleh mereka.
"Jingga. Sekali lagi terima kasih yah. Oiah, ini jaketnya basah gi... ?"
Belum selesai ia berbicara sambil berusaha mengangkat jaketku, aku menahan lengannya.
"Dibawa aja. Sabtu ke sini lagi kan?!"