24. Terpesona

777 34 0
                                    

Raline terpekur sendiri di sofa panjang ruang tengah penthouse mewah. Jemarinya saling menaut dan mengetuk. Acap kali dia menggit bibir mamaksa otaknya yang sedang carut marut berpikir. Meragu pada perkataan Ares saat di rumah sakit tadi, Raline tak bisa menampik hal itu telah menggerogoti otaknya.

Ting

Bunyi lift terbuka membuat Raline menoleh. Wanita itu terkejut mendapati lelaki berwajah kusut dan berantakan. Dilarikannya pandangan kepada buku-buku tangan lelaki itu yang merembeskan cairan merah kental. Raline tak bisa menebak apa yang baru terjadi tapi sepertinya itu bukan hal yang baik.

Sedangkan Ranu, laki-laki itu baru saja pulang dari kantor. Harinya rusak sebab perkataan seorang pria berhasil membuat darahnya mendidih. Sadar sedang dipandang resah oleh Raline, membuat dahinya berkerut.

"Sudah pulang?"

Merasa respon Ranu hanya berupa anggukan samar membuat Raline mencekal pergelangan tangan pria yang hendak berlalu tiba-tiba.

Ranu melirik cekalan itu sekilas lalu berpindah pada muka gelisah di depannya, meminta penjelasan.

"Ranu..." panggilnya pelan. Raline tidak mau terlalu gegabah dan membuat spekulasi buruk.

"...ada yang ingin aku tanyakan."

"Apa?"

Raline menatap Ranu dalam. Ia ingin masuk lebih jauh mengetahui apa yang laki-laki itu sembunyikan tanpa perlu bertanya. Namun naas, ia hanya manusia biasa yang tak mampu melakukan hal sesakral itu.

Oke baiklah. Masalah ini tidak akan selesai hanya dengan saling menatap. Raline menarik napas dalam lalu menghembuskannya pelan.

"Apa kau tahu panti asuhan Bashiru?"

Ranu tertegun. Darah dalam nadinya seperti berhenti mengalir. Raline, tahu? Secepat ini?

"Apa kau sudah mengenal Abah Imran sebelumnya?"

Kembali, pertanyaan lain menumbuk.

Ranu mendesah panjang lalu mengangguk.

"Apa kamu orang yang ingin membeli tanah panti itu?"

Cairan bening melapisi bola matanya ketika pria berwajah pias itu mengangguk.

Jadi, Ranu adalah...

Tidak. Mungkin saja ini salah. Raline tak bisa langsung menyimpulkan tanpa tahu kejelasan dari mulut laki-laki itu sendiri.

Senyum paksa dilengkungkannya.

"Aku tahu kamu sebenarnya orang baik. Jadi ngga mungkin kamu membunuh seseorang, kan?"

Kali ini Ranu tidak bersuara ataupun menggeleng.

"Ranu, jawab... kamu bukan iblis yang membunuh Bahrudin kan?"

suara halus wanita bergetar. Tak sedetik pun Raline berpaling dari netra gelap di depannya.

Laki-laki itu masih terdiam, mematung.

"Kenapa diam? Bilang kalau mereka salah."

Raline meraih kedua bahu Ranu lalu mengguncangnya pelan. Harap-harap laki-laki itu mengatakan bahwa apa yang Ares katakan salah.

'Benar, mereka benar.' ah ingin mengatakan itu kenapa sulit sekali.

Tidak, ini bukan Ranu yang biasanya. Lidahnya jadi kaku,  tidak tega melihat wanita itu mulai berlinang. Sisi kelamnya lamat-lamat akan tercium busuk juga. Ia memang iblis. Sangat sadis dan tak punya perasaan. Pada akhirnya, ia memang tak layak bersanding dengan siapapun.

If Something Happens I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang