Chapter 2

6 0 0
                                    

•Arion•

"Mah. Yang tadi siang nggak beneran kan?" Tanya Arion sambil menyandarkan punggungnya ditembok.

"Hm..."

"Dia adek kelas Rion Ma.
Nggak mungkin lah Rion mau belajar sama dia. Lagipula dia itu anak IPA,  Rion anak IPS. Jadi ya nggak mungkin nyambung lah!
Sama Pak Rafi yang emang udah jelas prestasinya aja Rion tolak. Apalagi dia cihh.." Decih Arion diakhir kalimatnya.

Arion menerawang kenangan beberapa hari yang lalu saat Ia masih memiliki guru les privat yang sudah sangat terkenal di seluruh Ibu kota. Dewi sudah dengan susah payah membujuk Guru les terpercaya itu untuk mengulang Arion, Rafi namanya.

Saat Rafi sudah dapat ditaklukkan, giliran Arion yang sulit dijinakkan. Bagaimana Dewi tidak pusing dengan kelakuan anaknya yang bisa dibilang tidak tahu diri, pernah suatu hari, Arion dengan mudahnya membiarkan guru les privat-nya datang jauh-jauh, sedangkan dia sendiri malah sibuk memainkan PS dikamarnya.
Hingga akhirnya Rafi memutuskan untuk tidak melanjutkan pekerjaannya setelah lima hari bertahan dengan sifat Arion yang sudah tidak dapat dideskripsikan. Arion sedikit tertawa mengingat hal itu.

"Mama tau kan. Rion itu nggak suka diajarin. Nggak suka diatur. Dan nggak suka disuruh-suruh. Jadi.." Arion mengangkat bahunya keatas dengan bibir dilengkungkan kebawah. "Nggak salah dong kalo Rion nolak mereka semua yang katanya asik tapi pada kenyataannya ngebosenin." Lanjut Arion sambil mengikuti kemanapun Ibunya pergi.

"Hm.." Lagi-lagi Dewi hanya menanggapinya dengan deheman saja. Dan dengan polosnya Arion masih tetap menyerocos.

"Rion itu sebenernya Pinter mah.. ya cuma, Rion nggak mau disebut sombong aja kalo sampe temen-temen Rion tau kalo Rion itu pinter.. makanya Rion ngalah jadi ranking paling belakang. Eh tapi nggak paling belakang juga sih, masih ada Bayu." Ucap Arion dengan nada bangga.

"Hm.."

Arion baru menyadari jika daritadi Dewi tidak menjawab apa-apa selain deheman. Seperti sedang menyanyikan lagu vokalis grup band gambus yang sedang viral itu.

"Mama dengerin nggak sih?"

"Denger." Sahut Dewi singkat.

"Terus kenapa daritadi jawabnya cuma ham-hem-ham-hem doang? Mau nyaingin Nisa sabyan?" Tanya Arion menirukan cara menjawab Ibunya tadi.

Dewi menghentikan aktivitasnya kemudian menghadap ke Arion sepenuhnya. "Terus kamu mau mama jawab apa?" Tanya Dewi sambil meletakkan tangannya dipinggang.

Arion menggaruk lehernya yang sedikit gatal. "Ya apa gitu kek." Jawabnya dengan pandangan kesana kemari.

"Apa." Ucap Dewi yang sengaja menggoda anaknya.

"Ya nggak gitu juga Mah.."

"Rion." Panggil Dewi dengan raut wajah serius. Arion menatap Dewi dengan alis terangkat.

"Kalo sampe tahun ini kamu nggak bisa ningkatin nilai kamu. Terpaksa, mama sama papa bakalan cabut semua fasilitas kamu termasuk handphone kamu." Ucap Dewi dengan serius. Arion sontak menyembunyikan ponselnya dibelakang tubuh.

"Ya jangan dong! Nanti Rion kalo mau nelpon anak-anak gimana? Pake telepati? Terus nanti kalo mau bayar cireng, masa pake daon? Terus kalo kesekolah, naik angkot? Yang bener aja Ma.. mana ada angkot nge-Tem depan komplek?" Sahut Rion melebih-lebihkan.

"Ada kok! Kata siapa nggak ada?
Oh iya ada satu lagi."

"Apa.." Tanya Arion dengan suara melemah karena menundukkan wajahnya lesu, karena Ia tidak pernah menang setiap kali berdebat dengan ibunya.

ARIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang