15. Pendarahan

1K 117 54
                                    

Sikap Jay jadi dingin. Aku datang ke sekolah bersamanya, tapi tak ada satu patah katapun keluar dari mulutnya. Dia sengaja kelu, seakan dia benar-benar menjadikanku objek yang tidak memberi manfaat apa pun untuk hidupnya. Aku tidak pernah mengira percakapan kemarin berakhir seperti ini. Hatiku menjerit pilu, karena biasanya Jay akan memegang tanganku dan mengantarku ke kelas. Sekarang dia malah meninggalkanku berjalan sendirian.

Aku ingin mengejarnya, tapi urung karena Gladys yang entah dari mana datang dengan gestur malu-malu. Aku melihat jelas Jay seperti memeriksa keadaan Gladys, seperti khawatir. Satu hal yang membuatku bertambah sedih ketika Jay membiarkan Gladys melingkarkan tangan di pinggangnya.
Ini menyakitkan. Aku menghela napas dengan tatapan nelangsa, apakah akhir kisah aku sama Jay seperti ini?

***

Bel istirahat berbunyi. Tanpa aku duga, Weri dan Bobi datang ke mejaku sambil menyentuh keningku. Terkesiap, aku menatap mereka berdua.

"Lo sakit, Ning! Badan lo panas banget!"

"Iya! Aduh gue nggak mau deh princess kesayangan gue sakit begini!" Bobi mengelus bahuku. "Ke UKS, yuk?"

Aku menggeleng malas. "Aku nggak sakit, Bob, Wer... I'm fine," tandasku.

"Tapi badan lo panas! Sejak masuk tadi lo nggak pernah keliatan fokus sama ucapan guru!"

Aku tersenyum sumir. Mereka berdua belum tahu kalau aku sedang hamil. Apa aku harus cerita pada mereka berdua, ya? Namun, aku sungguh tak kuasa jika harus melabeli mereka sebagai teman karena aku jarang sekali tenggelam dengan kebahagiaan mereka. Apalagi akhir-akhir ini, aku tak pernah bersama mereka. Aku sibuk memikirkan masa depanku, juga sibuk ngebucin dengan Jay. Aku malu.

"Kalau nggak mau ke UKS, biar gue beli makanan kesukaan lo. Mau makan apa sekarang?"

"Sekalian beli teh panas, Wer. Kalau bisa minta paracetamol ke UKS."

"Lah, tugas lo apa dong? Ngapain lo nyuruh gue semua buat beli?"

"Gue bawa bekel, Wer! Gue nggak ada keperluan buat ke kantin!"

"Idih! Lo itu cowok, Bob! Seharusnya lo yang beliin ke situ!" Weri mencubit lengan Bobi. "Jangan bilang lo takut digodain sama cowok-cowok di sana?"

Bobi mendecak. Dia menghentak kaki kesal. "Pokoknya—"

"Gue nggak mau tau, Bob! Lo harus temenin gue sekarang!"

Aku menangis saking terharu melihat mereka berdua yang tak pernah lupa untuk peduli padaku.

"Ya Allah, Ning... kenapa nangis?"

Aku buru-buru menyeka air mata.

"Aku cuma terharu aja sama kalian, padahal aku nggak pernah main bareng kalian lagi."

Weri langsung memelukku. "Duh, Ning, bagi gue lo itu tetap teman. Sekalinya teman ya teman sampai kapanpun!" Weri mengusap air mataku. "Berhenti nangis. Jangan pikir panjang. Lo harus sembuh biar bisa lihat Jay tanding renang nanti."

Aku membulatkan mata seketika. "Jay nanti tanding renang? Di mana? Lawan siapa?"

"Sumpah demi apa lo nggak tau, Ning?!" Bobi kaget karena aku tidak tahu apa-apa tentang Jay. Aku menggeleng dan itu membuat Bobi geram padaku. "Oh My God! Ada poster segede gaban di mading dan lo belum liat? EVEN nggak tau karena nggak dikasih tau sama si oknum?! SUMPAH ya, gue gedek banget liat tu cowok! Sebenernya dia niat nggak sih pacarin lo?"

Aku mengode Bobi untuk diam karena ucapannya mulai membuat penghuni kelas terganggu.

"Itu tandingnya cuma internal kok. Jay bakal tanding lawan Kevin dan anak renang lain, tapi ada hadiahnya juga! Katanya sih itu penentuan buat siapa yang bakal diutus ke olimpiade renang tahun ini." Weri menjelaskan. "Dahlah, gue cabut dulu. Lo pasti lagi mau roti bakar sekarang. Ya, kan?"

Matahari Sebelum Pagi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang