7. Tembok Pembatas

79 27 2
                                    

Sepertinya Tuhan tidak mengizinkanku bersantai barang sejenak. Aku seolah terus-terusan dipaksa untuk bangkit dari posisi rebahku. Fakta baru bahwa pembunuhan kembali terjadi di Distrik sebelah, membuatku melongo keheranan. Bagaimana mungkin temuan di lokasi pembunuhan tersebut persis sama seperti yang ditemukan di sini. Di rumah susun ini. Hal inilah yang kemudian memaksaku jiwaku tergugah.

Korbannya adalah anak seorang anggota parlemen. Tentu ini bukan kasus remeh. Ini akan menjadi kasus besar yang melibatkan permainan besar. Berarti yang terjadi di sini hanyalah sebuah permulaan. Atau bahkan bagian dari rencana seseorang yang sudah dipikirkan secara matang. Mengungkap kasus ini dengan keterbatasan orang, akan tidak mudah sepertinya. Apalagi hanya Bromo seorang diri yang bekerja, bahkan aku terkadang hanya bisa mengambat proses penyelidikannya dengap sikap-sikap abaiku. Kami tidak punya tim. Tetapi aku yakin dengan sedikit tekad dan kesungguhan, kami akan mampu menyelesaikannya.

Tetapi pembunuhan ini, Apa motifnya? Apakah ini ada hubungannya dengan gadis yang beberapa hari ini kerap muncul di sekitaran sini untuk memberi makan kucing-kucing liar di jalanan? Atau ini hanya kebetulan saja?

Seharusnya, jika kejadian kemarin hanyalah sebuah permulaan, tentu si pembunuh sedang menunjukkan peringatan kecil kepada pihak tertentu yang menjadi target rencana besar ini. Tetapi, rupanya peristiwa di rumah susun ini tak cukup dijadikan bahan kewaspadaan oleh mereka. Mereka tidak peka, bahkan tidak peduli. Karena memang korbannya hanyalah warga miskin biasa. Bukan kalangan elit atau tokoh bintang.

Bahkan kasus yang menimpa Mas Bondan tidak masuk berita, baik di media cetak maupun televisi. Sementara pembunuhan yang menimpa anak pejabat terkemas secara cepat dan rapi. Begitu istimewanya sehingga memotong acara utama melalui Breaking News. Aku yakin sampai sebulan pun berita ini akan tetap hangat diperbincangkan dengan berbagai macam cara-cara penggorengannya. Medi Sosial pun akan dibuat geger oleh viralnya kasus pembunuhan anak pejabat. Apalagi momentumnya sangat tepat dengan pemilihan walikota pekan depan.

Aku bangkit dari sofa. Aku semakin penasaran dengan kemajuan kasus ini. Rasa malas ini harus segera ku kalahkan agar cepat selesai prosesnya. Kemudian aku kembali menemui Bromo yang masih berada di Rumah Mbak Rina. Namun, sesampainya di tempat, aku tidak menemukannya. Kemana dia? Jangan-jangan dia menyerah untuk menyelesaikan kasus ini? Atau mungkin dia dipanggil oleh klien baru untuk menangani kasus pembunuhan yang menimpa anak pejabat itu?

Tetapi tidak mungkin. Dia sendiri pernah bilang kalau dia hanya dibutuhkan ketika ada kasus-kasus kecil saja. Ah... Tidak mungkin! Dia tidak kemana-mana. Mungkin dia hanya keluar sebentar untuk mencari makan. Jendela masih terbuka menganga, lampu pun masih menyala. Meninggalkan sesuatu dalam keadaan belum beres adalah hal yang tidak akan dilakukan oleh seorang yang menggilai tanggung jawab seperti Bromo.

Aku iseng menatap keluar jendela. Melihat pelataran rumah susun dengan kondisi yang masih berantakan akibat sampah kering berserakan. Hampir semua tempat sampah yang dipasang di tiap-tiap sudut tembok pembatas, tumpah ruah tanpa ada yang memperbaiki posisinya kembali. Tentu saja alasan tumpahnya ini adalah karena kucing-kucing liar yang semakin hari semakin beringas.

Tatapanku kini lebih fokus ke arah tempat sampah paling besar sendiri yang letaknya di dekat gerbang. Ada peristiwa yang benar-benar di luar nalarku. Bagaimana mungkin kucing itu menjadi sangat buas mencabik-cabik tembok, batang pohon, tiang listrik, bahkan bak sampah yang kerap kali menjadi tempat mereka berteduh di kala hujan. Apakah ini ada hubungannya dengan pengaruh obat yang membuat mereka berhalusinasi atau mengalami apa yang biasa dialami oleh para pengguna narkoba? Sebab, dari penjelasan-penjelasan Bromo tentang kandungan pada piring bekas makanan kucing itu, terdengar masuk akal.

Jangan-jangan, gadis yang kerap kali muncul untuk memberi makan kucing liar itu memang ada motif tertentu. Lantas, kenapa korbannya harus dua orang yang memiliki latar belakang status sosial yang kontras? Siapa sebenarnya dia? Sejak kemunculannya, sudah terjadi dua kali kasus pembunuhan di kota yang sama. Apakah ini hanya kebetulan semata? Atau memang dia bagian dari rencana? Bahkan apakah dia sendiri si pelaku utama? Atau bahkan kedua kasus ini pun hanyalah awal dari kasus-kasus besar berikutnya? Dua hari berturut-turut dua nyawa melayang. Besok siapa lagi?

Itu hanya bisa dijawab oleh bukti-bukti konkret. Sabar... Prosesnya masih dilakukan oleh Bromo yang saat ini entah di mana keberadaannya. Meski terkadang dia cenderung membuatku sebal dan marah oleh sikap-sikapnya yang melambungkan ego setinggi langit, pada dasarnya aku membutuhkannya. Aku sangat berharap agar dia cepat-cepat menyelesaikan kasus ini. Seperti yang sudah ku katakan, dia adalah orang yang sangat bertanggungjawab.

Tunggu...! Gadis itu! Dia muncul di bawah sana. Sambil mendekati tempat sampah besar yang berada di dekat gerbang. Dia tidak membawa makanan kucing kali ini. Dia hanya terlihat kebingungan mencari-cari sesuatu. Mungkin piring yang biasa ia gunakan sebagai wadah makanan itu. Yang kini ada di atas meja di dekatku. Bromo telah menyelamatkan benda ini sebagai barang bukti.

Lho? Kenapa tiba-tiba ada Bromo di bawah sana? Rupanya sedari tadi dia sedang mematung dibalik tembok pembatas. Warna pakaian membantunya berkamuflase dengan warna tembok tersebut. Sehingga aku pun tidak menyadari keberadaannya. Sedang apa dia? Apakah dia sedang menanti kedatangan gadis itu? Jika benar, hebat sekali dia bisa memprediksi. Gadis itu benar-benar datang. Sungguh penyamaran yang sempurna. Tetapi apa yang akan dia lakukan?

Dia berjalan tenang mendekati gadis itu. Kehadiran Bromo seperti mengagetkannya. Bromo agaknya mengatakan sesuatu, namun gadis itu keburu lari sebelum sempat ucapannya diselesaikan. Terlihat Bromo pun turut berlari mengejar. Aku harus melakukan sesuatu. Aku tidak boleh tinggal diam. Aku wajib membantu Bromo mengejarnya.

Dengan menuruni tangga cepat-cepat, aku sudah tidak peduli dengan telapak kaki yang tanpa alas, serta piyama yang masih aku kenakan. Gadis itu harus segera ditangkap. Jika aku ataupun Bromo berhasil menangkapnya, maka kemungkinan kasus ini selesai bisa semakin cepat. Pasti dia lah pelakunya. Jika memang dia tidak bersalah seharusnya tidak perlu lari.

Padahal hari masih terlalu pagi, Tukang sayur belum muncul, ibu-ibu masih sibuk menjemur pakaian, tukang bubur ayam masih mangkal, bahkan matahari saja belum sampai menyinari pemukiman kami karena cahayanya masih terhalang oleh gedung-gedung tinggi kota Megakarta. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin segera hidup tenang. Masalah ini harus segera diselesaikan.

Melewati sebuah gerbang rumah susun. Aku mempercepat lariku. Para warga pemukiman sekitar yang melihatku berlarian mengenakan piyama dan tanpa alas kaki merasa aneh. Mereka seolah saling berbisik menceritakan apa yang mereka lihat. Aku yang biasanya menghindari sekumpulan para pemuda yang nongkrong di pos ronda pun terpaksa harus ku lewati mereka. Jalan lain perlu memutar jauh. Entah seberapa nyaring sorakan dan siulan mereka yang mencoba menggoda. Tapi aku tetap berlari tanpa memedulikan apapun yang mengganggu.

Sampai ujung gang menuntunku ke jalan raya. Ke arah mana harus ku tuju? Ke kanan atau ke kiri? Bromo maupun gadis itu, tak satupun dari mereka yang menampakan diri. Mungkin ini saatnya aku mengandalkan keberuntungan. Aku menebak ke mana arah larinya mereka. Akhirnya aku memilih arah kanan. Karena arah kiri adalah kantor polisi. Tidak mungkin orang bersalah akan merasa tenang jika melewati bangunan tersebut.

Kaki telanjangku menginjak-injak trotoar yang sudah tak mulus lagi. Pecahan batu split bekas cor-coran yang menyumbul keluar menusuk-nusuk telapak kakiku. Aku yang tidak terbiasa melepas alas kaki ini sungguh tersiksa. Untuk itu aku agak menjinjitkan langkah.

Setelah cukup jauh berlari, ku temui kerumunan orang di seberang sana. Ada apa? Jangan-jangan gadis itu telah berhasil ditangkap. Atau tertabrak kendaraan ketika mencoba kabur. Aku, dengan rasa penasaranku mencoba mencari tahu. Dengan penuh hati-hati aku menyebrangi jalan. Lalu ku dekati kerumunan itu.

"Permisi... Maaf...," kataku merangsak menembus sekumpulan orang. Dan begitu terkejutnya apa yang ku saksikan ini.

"Bromo...!" Aku berteriak. Bagaimana ini? Satu-satunya orang yang menjadi harapanku dalam menuntaskan kasus ini, kini tergeletak dengan penuh luka di wajah dan sekujur badannya. Darah mengalir pada dahi dan pelipisnya.

"Mana orang yang nabrak, Pak?" tanyaku kepada salah satu warga yang turut berkerumun.

"Bukan, mbak. Dia bukan ditabrak. Tapi diserang."

"Diserang siapa?" tanyaku

Orang itu terdiam tanpa menjawab. Juga orang-orang di sekitar yang mencoba untuk diam.

"Diserang siapa!?" Aku mengulang pertanyaan dengan nada meninggi. Sembari ku pangku kepala Bromo di pahaku. Matanya terpejam, Dia tidak sadarkan diri tetapi angin tipis-tipis masih berembus dari hidungnya. "Diserang siapa...!?"

"Gerombolan kucing liar..." jawab salah satu warga seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu.

***

Misteri Si Gadis KucingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang