“Nao, nanti pulang sekolah mampir ke rumah Reon, ya.” Itu pernyataan, bukan pertanyaan. Reon bahkan tidak menunggu jawaban dari Nao. Dirinya langsung pergi begitu saja meninggalkan Nao dengan mulut yang menganga.
Sebenarnya, beberapa hari yang lalu Nao baru saja menggali kuburannya sendiri. Ingatkah dengan hukuman yang Nao jalani karena kalah bermain batu-gunting-kertas? Ceritanya begini, Nao tidak terima jika ia harus menjalani hukuman yang bahkan tidak memberinya keuntungan. Maka dari itu, dengan perasaan kesal ia menghampiri Reon yang mengajaknya tanding ulang.
“Kalau aku menang, hukumanku nggak berlaku lagi. Tapi kalau kamu yang menang, hukumanku bisa diperpanjang,” kata Nao saat itu tanpa berpikir panjang.
Reon setuju-setuju saja, ia bahkan sedikit tidak mempedulihan siapa pemenangnya nanti. Dan hasilnya sama sekali tidak mengejutkan. Reon memenangkan tanding ulang itu. Well ... mungkin ini memang mengejutkan bagi Nao, tetapi bagi kita tidak.
“HEH, AKU NGGAK MAU, YA!!” teriak Nao sambil berlari mendekati Reon.
“Kenapa? Nao nggak mau jadi teman Reon lagi, ya? Hiks … huwaaaaaa … Papaaaa.” Reon menangis dengan tiba-tiba dan berhasil membuat Nao panik.
“Eh, kok malah nangis, sih?!! Ck, iya nanti aku mampir!” seketika Reon berhenti menangis.
“Hehe, yasudah. Lalalala~” Reon kembali berjalan menuju kantin untuk membeli susu stroberi. Doakan saja semoga Reon tidak tersesat karena selama ini jika ia pergi ke kantin, toilet, perpustakaan, atau intinya pergi sendiri mengelilingi sekolah, ia pasti tersesat.
Pernah suatu ketika Reon izin pergi ke toilet saat pelajaran masih berlangsung. Dengan penuh percaya diri ia menolak bantuan bu guru yang ingin mengantarkannya. Setelah lima belas menit berlalu, Reon belum juga kembali. Ketika dicari, Reon malah asik menatap kepompong yang berada di taman sekolah. Dan saat diajak kembali ke kelas, Reon menjawab bahwa ia belum sempat pergi ke toilet karena lupa jalannya.
“Hih, kalau udah kayak gini aku nggak bisa lari. Bunda pasti juga nggak akan ngelarang aku main ke rumahnya Reon. Lagian kenapa bisa jadi gini, sih? Harusnya aku tuh jadi bosnya Reon, bukan temannya. Reon yang harusnya nurut sama aku, bukannya aku yang nurut sama dia. Awas aja kamu.” Nao pun beranjak pergi.
Benar-benar tidak habis pikir dengan sikap Nao. Siapa suruh dulunya sering menganggu Reon?
Beberapa menit kemudian, bel masuk berbunyi. Sepertinya Nao memang kurang beruntung hari ini karena ia harus berkelompok dengan Reon untuk tugas membuat kerajinan dari barang bekas. Kelompoknya dipilih secara acak oleh bu guru dan ya … Nao dan Reon berada di kelompok yang sama. FYI, satu kelompok berisi dua orang.
“Yeeyy, sama Nao!” kata Reon senang. “Nanti sekalian bikin kerajinan, ya, Nao.” Lagi-lagi, itu sebuah pernyataan.
“Serah,” jawab Nao dengan perasaan lelah.
Kemudian saat jam sekolah sudah usai, Reon dan Nao duduk di halte yang berada di dekat sekolah. Keberadaan halte di sana pun masih menjadi misteri, sang penulis bahkan tidak tahu mengapa ia menambahkan halte pada paragraf ini. Dan juga, bunda Nao tidak perlu repot-repot datang ke sekolah karena tadi Nao sudah menghubungi bundanya menggunakan telepon sekolah.
“Bunda, nanti Nao pulang sama Reon, ya. Nao kepepet, sih, habisnya sial banget dapat kelompok sama Reon.”
“Ha? Eh, bentar-bentar. Maksudnya gimana? Nao pulang sambil dianterin Reon atau sepulang sekolah Nao izin mampir ke rumah Reon?”
“Eh, iya maksud Nao gitu. Nao mau mampir ke rumah Reon mau ngerjain tugas kelompok.”
“Oh, oke. Have fun!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Daily Life Reon Gerald 2 (SELESAI) ✔
Fiksi RemajaReon bersedia untuk berangkat ke sekolah?!! Itu adalah sesuatu yang melegakan. Hanya saja, mampukah little mochi satu ini menghadapi teman-teman sekelasnya dengan tingkah luar biasa mereka? Lantas, bagaimana Reon akan mendapat teman? Apakah ada yang...