Tumbler

24 2 0
                                    

Matahari

Tinung.

Dm instagram masuk.

@jinggaaa
"Assalamu'alaikum. Jingga. Accept. Folback."

"Confirmation."

Kemudian kusentuh foto profilnya, lalu kusentuh lagi "follow".

Aku tak membalasa dm-nya, hanya mengikuti perintahnya. Accept dan folback.

Kini kami berteman di instagram. Jingga dan aku. @jinggaaa bukan @jiiingga. Jingga yang @jiiingga sudah menonaktifkan akun instagramnya beberapa minggu sebelum ia meninggal.

Kulihat berandanya, ada banyak foto ia bersama teman-temannya, tidak ada fotonya yang sendiri apa lagi selfie. Dia anak satu-satunya. Mamanya seorang dokter dan papanya seorang hakim. Ia tampak seperti cucunya. Tidak ada foto bersama perempuan kecuali bersama mamanya. Aihhh.. Mengapa aku harus membahasnya.

Ada yang menarik, komentar di postingannya, rata-rata perempuan. Ada yang memberikan lambang love merah, bunga mawar merah, bahkan emot peluk dan cium. Menjijikan.

Di storynya, ada yang tak asing dengan mataku. Sebuah foto perempuan memakai ransel dengan judul story lambang bunga matahari. Kusentuh foto itu. Ada mawar merah, putih, salem, pink, melati, aster, krisan, semua bertengger rapi di meja pojok kamarnya. Ya Tuhan... Ini adalah bunga-bunga yang selalu kutinggalkan di kursi bawah pohon kamboja Taman Dukuh Atas. Kemudian terakhir fotoku tampak dari belakang saat menggunakan ransel.

Kemudian kulihat ada story bergambar skteboard, dan rasanya aku tak asing dengen foto-foto di situ, orang yang sama dengan 3 macam rambut yang berbeda. Maksudku 2, karena yang ketiga tidak ada rambut di kepalanya.

Bagaimana mungkin?!

***

"Suts.. Melamun aja!" Widi memukul lengan atas kananku.

"Aahhh.. Kau selalu mengagetkanku."

"Ada apa?"

"Hemmm.. Hanya masalah kecil."

"Baiklah."

***

Tidak terasa, sampai juga di Hari Sabtu, aku kembali ke taman ini lagi, membawa paper bag coklat berisikan jaket Jingga yang sudah kucuci.

"Kaaaaak?!" Ia memanggilku dengan sangat kencang sambil meluncur dengan skateboardnya, kaosnya entah di mana, ia bertelanjang dada, melihatkan perutnya yang berotot dan keringatnya yang bercucuran.

"Oh ya, Jingga. Ini. Terima kasih banyak." Aku menjawabnya sambil melangkahkan kakiku mundur, takut-takut ia menabrakku.

"Sama-sama, kak." Kemudian ia meluncur kembali ke teman-temannya.

Aku pun kembali ke kursi di bawah pohon kamboja.

Kemudian, skateboard meluncur ke arahku, skateboard milik Jingga, lalu kutahan alat itu dengan kakiku. Kulihat ia tersenyum dari jarak kurang lebih 5 meter. Ia bersama dengan teman-temannya yang lain, teman-temannya yang asyik dengan minuman di botolnya masing-masing.

Kemudian, kudorong dengan kakiku skteboard itu ke arahnya. Lalu .... Adegan itu berulang, sampai yang ketiga kalinya, kutaruh tumblerku yang belum diminum sama sekali di atas skateboardnya dengan secarik kertas "Belum diminum sama sekali. Hasil swab PCR kemarin negatif."

Skateboard itu kemudian menyentuh sepatu Vansnya, lalu ia mengambil tumblerku, membaca secarik kertas kecil itu, kemudian memerlihatkan tumbler ke arahku sambil tersenyum lalu menegak minuman yang ada di dalamnya.

Langit sudah gelap, aku bersiap-siap bergerak cepat karena sudah masuk waktu sholat.

Ia berlari ke arahku, "Kak.. Ini?!" Ia mengangkat tumblerku lebih tinggi dari tubuhnya. Jarak kami kurang lebih 5 meter.

Aku setengah berteriak, "Sabtu ke sini lagi kan?!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 27, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Senja di Taman KotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang