16. Pengakuan Gladys

885 117 35
                                    

"Jay...."

Gue tersenyum melihat Ning yang bisa membuka mata, perutnya yang sakit sudah diberi obat oleh dokter. "Ada apa, hm?"

"Maafin aku. Pasti... pasti semua orang jadi membenci kamu. Aku... udah mempermalukan kamu, Jay. Maafin aku...." Ning kembali terguncang membuat gue dengan sigap mengelus puncak kepalanya.

"Biar Papa yang beresin. Itu mah gampang buat dia."

"Bener kata kamu, kalau malam itu aku nggak ngegoda kamu, aku pasti—"

"Shh, Ning, gue nggak suka lo bilang hal yang nggak berguna itu. Gue nggak pernah menyesal melakukannya dengan lo." Gue mengecup keningnya. "Tadi emangnya lo ngapain sama Gladys? Kok bisa kalian berantem?"

Ning menatap mata gue lama. Perasaan gue mulai nggak enak, tapi Ning kembali tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Cuma masalah kecil kok. Jangan khawatir."

Gue mengangguk lalu tangan gue terulur buat mengambil makanan yang gue pesan dari Grab. Seporsi nasi dengan ayam bakar madu ditambah sup ceker ayam. "Sekarang kita makan, yuk?"

"Kandunganku nggak kenapa-kenapa, kan? Nggak ada masalah, kan?" Ning mendadak bertanya. Saat diperiksa dia memang diberi bius dulu. "Kalau memang ini keguguran, aku udah ikhlas kok."

Ning emang cewek yang punya tingkat kepasrahan setipis tisu. Dia selalu aja gampang menyerah, kayak nggak ada prinsip di hidupnya. Gue menghela napas kemudian menggeleng. "Nggak. Mereka baik-baik aja."

"Me... reka?"

Yap, dokter bilang kemungkinan ada dua bayi kembar di dalam perut Ning setelah dilakukan USG. "Ada dua bayi, Ning. Anak kita kembar." Gue nyengir. "Sumpah, kalau cowok bakal gue masukin klub taekwondo, biar dia kuat dan bisa lindungin mamanya."

Ning menutup mulutnya, terkejut. Senyum bahagia tercetak di bibirnya. "Serius?"

"Iya, Sayang." Gue mengecup pipi Ning. "Bayi kita baik-baik aja, dan pendarahan yang tadi lo alami itu cuma efek setelah melakukan hubungan badan. Miss V lo luka." Gue nggak bisa nahan tawa sekarang. Gue tergelak saat melihat wajah Ning bersemu. "Tadi malam main gue—"

"JAY IH!" Ning mencubit tangan gue. "Kamu kalau bahas itu semangat banget, ya!"

Gue berusaha menetralkan tawa. "Maaf. Dah, sekarang lo harus makan. Gue nggak mau makanan yang gue beli jadi mubazir."

"Oke." Ning setuju. Gue mengambil kotak makanan itu dari plastik. "Jay, kalau emang cowok, kamu mau ngasih nama apa?"

"Hm... Neymar sama Messi, boleh nggak?"

"Ngaco aja ih!"

Gue terkekeh. "Ya gue belum kesampaian mikir ke situ. Nikah aja belum, kan?"

Ning terdiam lesu.

"Renang gue jelas terdiskualifikasi. Tapi, buat ngeraih peringkat paralel pertama gue bakal berusaha keras. Soalnya duitnya lumayan. Rencananya kalau dapat, bakal gue pakai buat nyicil beli rumah. Nah, gue maunya nikahin lo di bulan besok, tanggal 20 April. Setelah ujian semester."

"20 April ulangtahun kamu, kan?"

Gue mengangguk. "Iya. Gue mau di tanggal itu karena menurut gue cukup lo aja yang jadi kado berharga di hidup gue. Dan ketika gue ingat ulangtahun gue, gue juga bakal ingat tanggal pernikahan kita." Gue udah bikin skenario seperti itu. "Nggak masalah kalau kita cuma nikah diam-diam, yang penting gue sama lo bahagia selamanya."

"Ah, kalau kamu lagi lembut begini aku rasanya pengen nangis terus!" Ning mengusap jemari gue. "Makasih ya Jay, udah nerima aku apa adanya."

Gue mengangguk singkat. Kali ini benar-bena menyuapinya. Tak berselang lama, seseorang mengetuk pintu dari luar. Gue membuka pintu saat tahu orang itu Langga.

Matahari Sebelum Pagi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang