Enlightment Pt. 1

10.6K 1.8K 394
                                    

Kami tiba pada satu kesepakatan kalau aku akan mikir untuk beberapa waktu dan Inyo akan menerima keputusan apapun yang kubuat. Fair enough. Meskipun tanpa deadline, sepanjang jalan aku sudah mulai berpikir. Langit mulai gelap, hujan turun, dan Mas Gani chat untuk ngecek aku pulangnya gimana. Biasanya aku pakai motor Ijas, tapi pagi tadi aku males dan ngangkot ke kantor. Aku jawab dianter pulang, dan...udah. Dia mah santai.

"Mas Gani?" Inyo menebak saat aku simpan ponsel ke tas.
"Yap."

"Is he taking a good care of you?" Inyo bertanya sambil berdehem.
Aku mengangguk sambil tersenyum.

"Kamu akan cerita sama dia soal kita ketemu hari ini?"
"Iyalah, Nyo."
"Dia akan marah sama kamu gak, kira-kira?"
"Aku salah, kok. Wajar kalau dia mau marah. Kamu jadi dia, mungkin aku ditinggal kabur lagi. Yakin 100%."

Inyo melirikku sebel dengan ekspresi yang membuatku ketawa puas.
Yha.
Untuk pertama kalinya ngerasa bisa ngobrolin ini...dan lega! Aku tuh gak cerita sama siapapun soal putus sama Inyo, alasannya, gimana ceritanya...bahkan ama Ijas pun enggak.

It's a good ice breaker. Kami jadi lanjut cerita-cerita normal. Rasanya...kayak ketemu sahabat lama, yang bikin berubah jadi diri sendiri di masa-masa otak enteng belum ada pikiran soal ngatur duit, kerjaan numpuk dan mager gaul keluar.

Inyo cerita tentang sekolahnya, kerjaannya saat ini, orangtuanya, teman-teman, solo travelingnya kemana-mana, juga tentang Pak Basuki yang jadi klien tetap sejak dia masih jadi mahasiswa. Aku...gak banyak cerita, karena gak ada yang bisa diceritain.

"Kamu kenapa gak pernah main sama teman-teman kita lagi, Nda?" Inyo bertanya.

Aku mengangkat bahu. Males ketemuan mereka, karena bikin ingat hubungan kami yang singkat padat dan menyakitkan. Tapi gak mungkin bilang kan.

"Nyo, habis ini apa?" Aku bertanya balik.
"Ha?"
"Setelah kamu antar aku ke rumah, lalu apa?"
"Lalu aku akan meneror tiap hari untuk nanyain apakah kamu pilih aku atau Mas Gani."

Jawaban yang membuatku kelepasan banget mengacak rambutnya.

"Should be me, though." Ia menambahkan, stubborn yet funny.

"Kamu sok-sok'an banget padahal gak punya nomor telpon aku."

"Punch it in." Ia mengeluarkan ponsel dan menyerahkannya padaku, "Save-nya pakai nama panjang ya."
Aku mengikuti keinginannya sambil tertawa, dan menelpon nomorku sendiri.

***

Tapi saat kami mendekati rumah dan aku menyadari ada mobil Mas Gani parkir...dan aku deg-deg'an merasa bersalah.
Aku berniat jujur sejujur-jujurnya sama dia, tapi tetap aja gak siap kalau mesti bilangnya sekarang.

"Ada Mas Gani, Nyo." Aku berkata saat mobil parkir.

"Okay." Inyo mematikan mesin. Lah. Dia tadinya cuma mau ngedrop. Dengan gerakan cepat, Inyo lantas keluar mobil untuk bukain pintuku.

"Aku antar sampai ketemu dia." Inyo menambahkan, mengulurkan tangan membantuku keluar mobil, dan menggandengku sampai pintu.
Sumpah hari ini ya. Latihan kardio seumur hidup rasanya gak pernah sampe segini beratnya deh...

Inyo mengetuk pintu beberapa kali.
Aku mengingat-ingat siapa yang ada di rumah. Ini baru jam 7.30an malam, tapi Ambu udah mulai ekspedisi sambal, Ijas baru mau berangkat ke Kalimantan minggu depan tapi entah masih di rumah apa sudah ke kostnya di Jakarta, Abah...kayaknya di rumah sih.

Pintu terbuka dan Mas Gani berdiri di sana, dalam kemeja kerja yang sudah dilipat lengannya hingga siku, kancing atas terbuka beberapa, dan rambut sedikit acak-acakan. Yet he still looks decent.

Tujuh Belas TahunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang