[ 45 ] Hujan Kedua

2.9K 480 146
                                    

Adara bukan seseorang yang biasa mengambil keputusan impulsif. Apalagi bodoh.

Namun, impulsif dan bodoh seringnya adalah deskripsi untuk hal-hal yang Adara lakukan berhubungan dengan Lionel. Seperti siang ini, selepas makan siang dan beramah-tamah di rumah Imel, Adara meminta tolong gadis itu untuk memesankan ojek online, sebab aplikasi itu terlalu besar untuk ponselnya. Alamat yang Adara sebutkan membuat Imel dan Helga membelalakkan mata, kemudian memberikan semangat dan mendoakan yang terbaik untuk Adara. Meskipun Imel mengamati langit berubah gelap saat mereka keluar ke teras rumah, Adara menolak dipesankan mobil.

"It's okay, Ra. It's on me—"

"Imel, please? Nggak apa-apa kok, ojek aja," potong Adara memohon.

Imel menarik napas, mengalah.

Hujan deras itu datang sesuai perkiraan. Pengemudi ojek Adara sampai harus meminggirkan motor sejenak.

"Neng, maaf, nih ..."

Wajah menyesal Bapak Ojek membuat lambung Adara seperti dipelintir. "Gimana, Pak? Ada apa?"

"Jas hujan saya yang bagus lagi dipinjem anak saya kemah sama temen-temen sekolahnya. Keburu-buru banget dia izinnya, saya juga belum sempat beli lagi. Neng mau nunggu sampai reda atau pakai jas hujan seadanya?"

Adara menelan ludah melihat jas hujan dari plastik yang hanya akan menutupi tubuhnya sampai lutut kaki, mungkin kurang.

"Nggak apa-apa, Pak. Pakai itu aja, saya buru-buru," jawab Adara yakin.

Benar, ini adalah contoh keputusan impulsif dan bodoh itu, sebab hujan sangat deras sampai-sampai celana jins yang Adara kenakan sudah basah kuyub seperempat jam kemudian.

Anehnya, Adara tidak memedulikan dingin yang mulai merasuk. Hujan ini mengingatkannya pada hari terakhir ia bertemu Lionel. Apakah Lionel benar-benar mencoba mengakhiri hidup setelah itu? Dengan cara seperti apa? Adara tidak bisa membayangkan skenario lain di mana usaha Lionel tidak tercegah. Ia mungkin akan menyesal seumur hidup.

"Neng? Neng nggak apa-apa?!"

Adara tersentak. Bapak Ojek sampai harus berteriak dan menolehkan kepala memeriksa keadaannya. Ternyata, tubuh Adara turut bergetar seiring ia terisak.

"Nggak apa-apa, Pak!" Adara meneriakkan kebohongan tersebut dengan lantang.

Adara berdiri di depan pagar tinggi rumah Lionel dengan jas hujan plastik yang masih melekat. Bapak Ojek memberikannya untuk Adara sebagai bentuk permintaan maaf.

Adara menekan bel satu kali. Ia bisa mendengar samar-samar bunyi bel itu bergema di dalam rumah. Belum ada seseorang yang merespons. Adara mengerang pelan. Sekarang hari Minggu, sangat mungkin Lionel sekeluarga pergi menghabiskan waktu di luar rumah. Erangan Adara semakin keras ketika ia sadar tidak ada seseorang yang dapat dimintai tolong Adara memesankan ojek saat ini. Benar-benar keputusan impulsif dan bodoh.

... Atau mungkin tidak.

Seorang wanita berlari-lari kecil dengan payung di tangannya. Adara mengenali wanita itu sebagai Mbak Asma.

"Kak Adara?!" Mbak Asma tampak sangat terkejut.

"Hehe, halo, Mbak—" Adara tidak bisa menyelesaikan kalimat sapaannya. Tubuhnya ditarik masuk ke bawah lindungan payung Mbak Asma.

"Ganti baju dulu, ya, Kak. Saya coba tanya ke Ibu, baju yang bisa kakak pakai yang mana."

"Eh, ngg, siapa aja yang ada di rumah, Mbak?" Adara mengikuti langkah Mbak Asma menaiki tangga yang membawanya ke pintu utama. Debar jantung Adara meningkat drastis.

A Mismatch So Perfect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang