Devan POV
"He, ayo ngopi!" Yoga melempar baju kotornya ke arah Devan yang sedang melamun menatap jendela. Lelaki itu heran, bisa-bisanya kakaknya betah di rumah ketika malam minggu.
Devan melempar balik baju tersebut ke arah adiknya yang tetap menyebalkan ini. Bisa-bisanya baju berbau terasi ini mengenai wajah glowingnya.
"Yek, kasian jomblo, gak punya teman lagi," cibir Yoga sambil mengobrak-abrik lemari Devan. Mencari kemeja kakaknya yang sekiranya cocok untuk digunakan.
Devan menoleh, menatap sinis Yoga. Ingin rasanya menghantam perut adiknya itu, entah apalah yang dia pikirkan, sejak kecil hingga sekarang sering mengejek dirinya.
Dan sekarang terjadi lagi. Sebenarnya sih, kalau dibilang jomblo, dia terima-terima saja. Karena kenyataannya memang begitu. Tetapi, jika dikatakan tak punya teman? Sebenarnya dia punya. Hanya saja, teman kerjanya sudah pada berkeluarga. Teman kuliahnya sudah pada sibuk sendiri atau bahkan melupakan circlenya karena terlalu bucin. Sisanya ada yang standby, namun mereka malah mengajak Devan dalam pergaulan tidak sehat.
"Miris aku lihatnya. Ikut gak? Lumayan cuci mata, siapa tau kecantol satu." Yoga berjalan mendekat. "Sabrina sudah nunggu di sana, kasihan kalau kelamaan."
Mengetahui ternyata Yoga mengajak orang lain, membuat Devan segera bersiap. Dia merapikan rambutnya kemudian menyusul Yoga yang sudah mendahuluinya ke mobil.
Di perjalanan, ketika Devan memberhentikan mobilnya saat di lampu merah, membuat seketika dia menyadari satu hal. "Loh, aku jadi obat nyamuk gitu?"
"Halah, nggak usah alay! Lagian, salah sendiri."
"Sama ae kayak mama!" kesal Devan. Mama dan adiknya sama saja, suka mendesak Devan untuk segera mencari perempuan yang akan dijadikan pasangannya. Padahal, saat ini dia kurang minat untuk fokus akan hal itu. Menjalani studi part dua yang bersamaan dengan menjadi staff perusahaan sudah membuatnya sering sakit kepala.
Yoga menaikkan sudut bibirnya. "Anda masih minat sama gitu itu? Mencari lah bro, bukan dicari. Apalagi seumurnya anda gini. Mbak Risa katanya seneng, kok gak dilanjut?"
Duh! Risa lagi, Risa lagi. Risa itu salah satu rekan kerjanya sekantor. Beberapa bulan lalu, perempuan 23 tahun itu mengatakan secara terang-terangan, jika dia tertarik pada Devan. Namun, respon Devan itu tidak seperti yang Risa harapkan. Devan berharap Risa bisa berkelakuan profesional karena mereka masih partner kerja. Devan pun meminta Risa berhenti menjadi cegil premium yang suka mencari perhatian dengan taktik yang lumayan canggih. Selain Devan merasa agak risih, hal yang dilakukan Risa tidak berpengaruh sama sekali terhadapnya. Tidak membuatnya tertarik sedikit pun. Dirinya lebih baik mengurusi coding eror daripada berhadapan dengan kemauan aneh wanita itu.
"Tingkah dia berlebihan Yog. Lagi pula, aku nggak suka sama dia." Devan menghela napas gusar. "Aku berusaha fokus selesaikan studi, gak lebih dari dua tahun. Soalnya dilihat-lihat, makin hari bikin sakit kepala."
"Ah alasan klasik. Dari era anda S1 jawabannya juga gitu. Hati-hati kebablasan ambis, sampai nggak lihat kanan kiri."
Berisik. Satu kata yang menggambarkan Yoga saat ini. Meskipun adiknya sendiri, Devan juga malas dihadapkan dengan sifatnya yang kepo kuadrat itu. Kebanyakan nanya.
"Sudah noleh, tapi sedikit," jawab Devan sekenanya.
"Siapa siapa siapa?" Yoga mengguncang lengan Devan. Jelas excited. Akhirnya kakaknya itu bisa 'melirik' incarannya. "Pasti yang kemarin anda bilang mau dikenalin ke mama kan!?"
"Ada. Nanti juga tahu sendiri."
"Pasti temanku itu, ya kan? Mana ada anda dekat sama perempuan selain dia? Sampai effort nungguin dia pas sakit lagi, cih cih cih." Yoga membungkam mulutnya sendiri. Antara menahan tawa dan berusaha tidak mengatakan fakta-fakta lainnya.
"Heh, kok tahu!?"
Gawat, padahal waktu itu Devan pergi diam-diam tanpa sepengetahuan orang rumah.
"Ya tahu, anda loh bohongnya tidak ahli. Katanya lagi nginep beberapa hari di rumahmu. Ternyata kok kosongan." Awalnya Yoga percaya saja kakaknya itu sedang di sana. Namun, kala itu dirinya tidak sengaja mampir karena berniat meminjam CPU milik Devan. Ternyata, Devan sedang tidak ada di sana. Malahan, dirinya bertemu kakaknya itu saat menjenguk Alicia di rumah sakit.
"Kasihan aku sama dia. Masa apa-apa sendirian. Dia sakit pun gak ada yang nemani. Gini-gini, naluri kemanusiaanku masih berfungsi."
"Halah! Pahlawan kemalaman."
"Berisik Yog, cepetan turun!" Devan menatap tajam Yoga. Dirinya sudah kehabisan kata-kata untuk menghadapi adiknya yang absurd ini.
Sabrina tadi mengatakan sedang menunggu di meja nomor 23. Benar saja, terlihat perempuan itu sedang duduk mojok sendirian. Devan dan Yoga segera menghampirinya.
"Loh, Mas Devan. Tumben ikut?" sapa Sabrina ketika dua laki-laki itu sudah duduk di bangku hadapannya. Jarang-jarang Devan mau ikut Yoga untuk menemuinya.
"Bosan di rumah. Mau pesan apa?" ujar Devan. Dia celingukan melihat daftar menu yang terajang lumayan jauh itu.
"Wah, mas lagi traktir nih?" Mata Sabrina berbinar. Menurutnya, Devan adalah gambaran calon kakak ipar yang diharapkan. Selain baik, royal pula.
"Aman."
"Matcha cheese sama mie goreng seafood," sebut Sabrina.
"Itu aja?" Devan memastikan. Dibalas anggukan oleh Sabrina.
"Ayo bro, lama." Devan menyikut bahu Yoga.
"Anu, makannya samain Sabrina. Minumnya es degan."
"Cari aja tuh degan sendiri." Devan mengusap dadanya. Mana ada cafe yang menyediakan es degan? Dia pikir ini warung pinggir jalan? Duh, salah besar dirinya ikut di sini. Dia segera melenggang dari hadapan mereka mereka keburu malam, selain itu juga keburu amarahnya menjadi-jadi.
Devan pun mendekat ke arah kios yang berjajaran. Dia harus mengantri, cafe ini cukup rame di malam hari begini.
Lelaki itu mengantri dengan sabar sembari mengamati sekelilingnya. Tempat ini di dominasi oleh kalangan muda. Makanya, playlist yang diputar pun lagu-lagu kekinian. Devan cukup menikmati alunan musik yang terdengar sopan di telinga.
Lalu dia tak sengaja menoleh ke kanan, melihat seseorang yang tak asing lagi baginya.
Itu kan Ersya?
Ersya yang terlihat sedang berbincang dengan perempuan yang kini membelakanginya. Yang diajak bicara itu terlihat tak asing baginya. Dia yakin dari perawakannya seperti Alicia. Apalagi, Alicia pernah bercerita jika Ersya lebih suka mengajaknya pergi ketimbang bersama Amira yang biasanya agak resek dan lelet.
Jarak Devan dengan mereka yang tak begitu jauh, membuat lelaki itu mendengar apa yang mereka bicarakan. Dia sedikit syok. Tak ada niatannya untuk menyapa. Devan malah pura-pura tak melihat. Mungkin, mereka juga tak menyadari keberadaannya sebab dia menggunakan masker dan menutup kupluk hoodienya sedari tadi.
Tapi penyamarannya gagal. Dia menyadari Ersya yang menunjuk-nunjuk ke arah dirinya membuat Alicia ikut menoleh ke belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelas Sore ✓
Ficción GeneralAlicia Evalina, seorang karyawan sekaligus mahasiswi kelas sore UNP. Dia merasa menemukan teman seperjuangan di kampusnya. Devan Evander, laki-laki yang dikira merupakan adik kelasnya itu. Dua insan ini memiliki kehidupan berbeda. Hidup Devan yang m...