Aku sudah terisak-isak saat Mas Gani mengemudikan mobilnya menuju jalan uta. Menyesakkan banget, karena inilah pertama kalinya aku ke RSHS lagi sejak...waktu itu. Dan sekarang gak tau gimana Inyo. Aku takut dia kenapa-kenapa, aku takut dia sakit, aku takut dia tau-tau amnesia trus lupa sama aku kayak di sinetron Indosiar.
Mas Gani jelas shock banget melihatku banjir air mata, tapi dia masih berusaha menghibur. Sebelah tangannya mengusap-usap punggungku, kasih tisu, sambil coba mengucapkan kata-kata menenangkan.
Dia baik banget, bikin aku malah makin histeris nangisnya karena ditambah perasaan sangat bersalah sama Mas Gani.Aku tahu aku harusnya gak segininya.
Aku mestinya cukup ngabarin orang rumahnya aja.
Tapi gak bisa.Ia merangkulku jalan ke depan IGD, nanya ke mbak-mbak di balik meja. Bermodalkan senyum, suara lembut dan kata-kata manis, ia akhirnya diantar mbak suster ke dalam. Mengangkat sebelah tangan menahanku di kursi tunggu, Mas Gani lantas jalan masuk duluan. Aku tahu dia mau cek duluan. Aku juga sadar, dibanding aku panik sendirian di dalam, mendingan Mas Gani dulu aja.
Aku gak suka banget suasana di area IGD. Warna dindingnya, baunya, udaranya yang terasa jauh lebih berat dan menekan, suara dengungan mesin entah apa... Sendirian beberapa menit di kursi aja, aku udah mulai overthinking gak jelas... Meskipun aku kerja di RS, tapi aku mah gak pernah ke IGD juga.
Plus, it's Inyo.
As much as I used to despised him, I don't want anything bad happened to him.Mas Gani muncul di pintu, dan aku nyaris lompat menghampirinya. Ia memegang kedua lenganku dan memberi senyum yang menenangkan, "He's okay."
"Really?" Aku mencengkeram pakaian Mas Gani.
"Tulang bahunya patah, Inyo mesti operasi pasang pen besok pagi. Sekarang dia lagi disiapkan untuk masuk kamar rawat, baru aja sadar dan kaget banget liat aku barusan. Jadi harusnya Inyo gak papa sih, ya. Dokternya tadi tetap mau dia cek kepala secepatnya juga karena sempat gak sadar pas dievakuasi."
Ah. Oke.
"Kamu mau minum sesuatu?" Ia bertanya.
Aku menggeleng.
"Mau pulang aja?"
Aku menggeleng lagi."Hey, no worries. He'll be okay." Mas Gani menarikku ke pelukannya, malah membuatku menangis lagi.
***
Perlu waktu hampir dua jam sampai akhirnya kami bisa masuk ke kamar rawat Inyo. Mas Gani dikasih dompetnya Inyo saat masuk IGD barusan untuk mendaftar ke administrasi sementara aku menelpon Ibu dari ponselnya Inyo.
"Halo..."
"Bu..."
"Eh? Siapa ini...Nda?" It's amazing that she still recognize my voice. After all these years.Aku memberi kabar, dan beliau ternyata lagi di Manado. Ayah Inyo masih di Singapore. Dia bilang akan ke Bandung secepatnya, dan...dia nitip anaknya padaku. Sepupunya Inyo yang akan datang besok. Sebetulnya kondisi Inyo sudah stabil, cuma dia besok harus operasi tulang. Dan aku khawatir kalau dia sendirian.
Saat kami masuk ke ruang rawat yang ternyata luas untuk satu pasien, Inyo sedang tiduran setengah duduk. Kelihatan baik-baik saja, meski lecet-lecet dan bahu kirinya terikat sling.
"Nyo. Ini dompet dan ponsel kamu. Ransel kamu sudah di lemari." Mas Gani berkata, menyimpan barang-barang Inyo di meja samping tempat tidur.
"Makasih Mas." Inyo menjawab, tanpa mengalihkan pandangnya dari aku. "Kalian bisa pulang, udah malam. Aku udah gak papa, kok. Maaf merepotkan ya, Mas, Nda."
"Sakit banget gak?" Aku bertanya, air mata kembali mengalir di pipiku. He looked like a mess.
"Enggak. Aku dikasih obat banyak biar gak sakit..." Inyo mengulurkan tangan bebasnya yang kusambut tanpa pikir panjang, menarikku duduk di kursi samping ranjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tujuh Belas Tahun
RomanceNda dan Inyo, sudah berada di tepi jurang perceraian. Pernikahan keduanya, membosankan dan sangat melelahkan. Saat keduanya harus liburan di tengah-tengah pandemi, beberapa rahasia dan kisah masa lalu muncul, membuat Nda dan Inyo memikirkan ulang se...